Oleh : Faizul iqbal, Malang.
Kondisi global saat ini menunjukkan semakin kompleks atau rumitnya dampak kemajuan teknologi informasi komunikasi. Penyampaian informasi terjadi begitu cepat dimana setiap orang dapat dengan mudah memproduksi informasi, dan informasi yang begitu cepat tersebut bisa disalurkan melalui berbagai media sosial seperti facebook, twitter, ataupun pesan telpon genggam seperti, whatsapp.
Yang kesemuanya tidak dapat difilter dengan baik.
Informasi yang dibuat baik orang perorang maupun kantor media dan disebar melalui media sosial ketika telah terkirim dan dibaca oleh banyak orang dapat mempengaruhi emosi, perasaan, pikiran bahkan tindakan seseorang atau kelompok.
Sangat disayangkan apabila informasi yang disampaikan tersebut adalah informasi yang tidak akurat terlebih informasi tersebut adalah informasi bohong (hoax), dengan judul yang sangat provokatif menggiring pembaca dan penerima kepada opini yang negatif.
Opini negatif, fitnah, penyebaran kebencian yang diterima dan menyerang berbagai pihak dapat membuat orang menjadi takut, terancam dan dapat merugikan pihak yang diberitakan sehingga dapat merusak reputasi dan bahkan menimbulkan kerugian materi.
CNN Indonesia menyebutkan bahwa dalam data yang dipaparkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech) (Pratama, 2016).
Kemkominfo juga selama tahun 2016 sudah memblokir 773 ribu situs berdasar pada 10 kelompok. Kesepuluh kelompok tersebut di antaranya mengandung unsur pornografi, SARA, penipuan/dagang ilegal, narkoba, perjudian, radikalisme, kekerasan, anak, keamanan internet, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dari jumlah itu, paling banyak yaitu unsur pornografi (Jamaludin, 2016).
Hoax nampaknya dalam beberapa tahun terakhir memasuki stadium akut “penyakit” masyarakat baru. Hoax atau fake news dewasa ini bahkan semakin “berevolusi” menjadi mesin penyebar keresahan dan ujaran kebencian dalam masyarakat.
Teknologi pun tak lepas jadi media paling ampuh dalam mendukung penginformasian. Massifnya hoax menjadi “trending” tak lepas dari kondisi masyarakat yang kurang paham akan bahaya dan sebaran hoax yang mudah masuk dalam berbagai konten internet terutama media sosial.
Evolusi Hoax yang kian beragam bentuk dan metode kian menyulitkan masyarakat memilah dan menangkap suatu informasi yang kredibel,akurat dan terpercaya.
FREEDOM OF SPEECH DAN PERGESERAN NILAI DAN NORMA
Seringkali, individu penyebar hoax atau fake news keblinger akan perspektif kebebasan mengemukakan pendapat dalam muka publik. Freedom of speech yang dimaksud ialah kebebasan akan seorang individu untuk mengemukakan segala hal tanpa pernah memahami akan literasi dan referensi yang kredibel.
Pemaknaan akan suatu kebebasan tanpa diiringi pengetahuan akan batasan-batasan dinilai menjadi salah satu faktor terpenting mengapa hoax kian marak “berserakan” di media sosial.
Selain faktor diatas, degradasi moralitas melalui sekularisasi nampaknya juga perlu perhatian serius, khsususnya bagi generasi “pragmatis”. Pergeseran nilai-nilai luhur bangsa dan moralitas masyarakat kian memperkeruh kondisi saat ini.
Ekspansi budaya barat yang bersifat free fight freedom seperti gagasan J.J Rosseou di revolusi prancis secara perlahan merambat masuk menggeser jati diri bangsa, khsususnya masyarakat milenial kita. Eksodus budaya tampaknya bukan sekedar isapan jempol dan fiktif belaka jika melihat fenomena hoax yang kian mengkhawatirkan bagi keberlangsungan integrasi bangsa.
ILUSI VALUE FREE
Kode etik seorang dalam memuat berita ialah harus se-objektif mungkin dalam pembuatan berita dari suatu peristiwa atau fenomena. Mencari ke objektifan suatu berita sangat penting mengingat berita ini akan disuguhkan kepada publik sebagai informasi yang benar adanya.
Aturan ini bukan dibuat sebagai pembatas atau pembatas akan hak hak individu,melainkan justru aturan ini ditujukan demi tingkat kepercayaan dan keprofesionalan seorang jurnalis akan bebas nilai dalam memuat berita.
Kebalikan dari value free ialah, subjektifitas nilai. Ketika suatu berita yang disinyalir berisi hoax atau fake news, konten yang dicantumkan cenderung sarat akan subjektifitas mutlak yang berujung fitnah, SARA dan kebencian.
Berita hoax hanya dibuat oleh orang yang bernalar pendek, berwatak keras dan pastinya miskin literature atau paham kesemuanya namun tidak peduli pada dampak buruk dari ulahnya.
Variable dalam suatu berita pun tak begitu diperhitungkan asal eksistensinya dikenal. Dampaknya pun terasa mengerikan. Hoax yang sulit dibentengi memunculkan ketidakpercayaan dalam masyarakat mengenai berita apapun yang masuk.
SABER HOAX
Keresahan masyarakat akan tumbuh pesatnya penyebaran hoax membuat masyarakat mulai memunculkan gerakan literasi media dan budaya internet sehat. Gerakan literasi dianggap sebagai benteng terkokoh akan penyebaran hoax yang kian sulit terbendung.
Gerakan ini dinilai akan memicu semakin cerdasnya masyarakat dalam bersikap dan memilah suatu berita. Semakin tumbuh kembangnya budaya literasi berupa membaca, menulis dan diskusi dalam masyarakat, diharapakan juga dapat menumbuh kembangkan saber hoax di sekitar kita, khususnya di media sosial.
Tentunya saber (sapu bersih) hoax diperlukan edukasi yang lebih massif dan kerjasama dari semua unsur dalam kesatuan masyarakat bersama-sama memberangus dan membabat habis otak “cingkrang” dan nalar dangkal penyebar hoax.
: