Penulis Cerpen: Faruq Bytheway (Malang)
Ma, sudahkah kau menyelesaikan isak tangismu? Matamu lebam, bibirmu memerah, wajahmu memucat, akibat tak kunjung redanya air matamu jatuh diatas pangkuanmu. Bahkan mentaripun tahu, ketika kamu belum usai dengan tangismu. Akhir-akhir ini ia selalu padam, ia sering kali remuk-redam dan juga ia selalu mengundang awan hitam untuk menemaninya turut serta meratapi apa yang sedang kau alami.
Kau tahu, Ma? Bukankah bulan ini sebenarnya merupakan awal dari datangnya musim kemarau? Seharusnya musim hujan sudah waktunya sirna. Namun entah kenapa hujan selalu turun dengan begitu deras dan tiba dengan semena-mena. Hujan kali ini telah membanjiri perumahan, menumbangi pepohonan, bersamaan dengan aliran tangismu yang bermula dari matamu lalu bermuara pada bibirmu hingga meluap pada pangkuan lututmu.
Ma, aku tahu, kamu masih saja berdiam diri di tempat itu, di depan surau rumahmu, menghadap ke arah timur. Tiap pagi kamu akan memaksakan diri menguras air matamu bersamaan dengan terbitnya mentari. Aku tahu, Ma, meskipun baru tahu, kabar dan berita tentangmu selalu saja bertebaran di kota dingin ini. Kemarin, salah satu sahabat karibmu mengirimi aku sebuah foto. Foto itu bergambar empat perempuan dan salah satunya, itu adalah kamu; yang sedang cemberut di layar ponsel Whatsappku, kemudian diketerangan foto itu ia bertanya “apakah kau lupa dengan perempuan ini?”
Sontak aku langsung terperanjat dengan pertanyaan sahabat karibmu itu, Ma. “Nyatanya masih banyak orang-orang diluar sana yang masih meragukan kemurnian cintaku padamu, Ma.” Gumamku. Entah meski sebenarnya aku belum tahu jelas pertanyaan itu berlatar belakang apa sebenarnya. Apa mungkin hanya ingin sekedar bertutur sapa? Atau memang benar, ia ingin mempertegas hubungan kita yang sebenarnya belum ada kata usai? Aku tidak paham, hanya sahabatmu yang mengerti arah pertanyaan itu menyudut kemana.
Jujur, Ma. Aku masih mematung. Tanganku gemetar, ponselku seketika itu jatuh. Entah apa yang harus aku jawab. Bibirku kelu, lidahku kaku. Terasa aliran pernapasanku beku untuk bisa menjawab pertanyaan itu. Aku masih berpikir panjang, hati dan pikiran sedang berkecamuk, sama-sama ingin memberikan tanggapan yang baik dan dewasa, kira-kira apa jawaban yang tepat untuk mampu menetralisir semuanya. Aku tidak ingin ia tahu akan perasaanku yang tetap padamu, Ma. Namun di sisi lain aku tidak mampu membohongi perasaan itu, yang telah sekian tahun aku simpan dengan rapi di dalam laci dadaku.
Aku sengaja pergi dengan begitu jauh, Ma. Jarak kita yang perlu ditempuh dengan ratusan kilo meter, nyatanya tak mampu membuat namamu terombang-ambing dalam dadaku. Aku sempat berfikir bahwa ini adalah jalan satu-satunya yang perlu kita relakan bersama. Kau yang menerima permintaan orang tuamu untuk bersamanya, lalu kau kemudian akan pergi ke jakarta dan aku dengan sebuah alasan belajar serta merantau, yang kata kebanyakan orang, pergi berlayar di kota wisata pendidikan. Kau tahu sendiri kan, Ma? Selain orang tua dan kerabat dekatku yang selalu men-support diriku untuk tetap terus menempuh pendidikan yang lebih jauh, di balik layar itu semuanya tidak lepas dari dukungan senyummu yang selalu membuatku gigih dalam belajar, tangguh dalam menghadapi cobaan.
Apalah dayaku tanpamu, Ma. Dulu kita hanya dibatasi oleh satu ruang kelas namun masih dalam satu lingkup lembaga sekolah. Apakah kau masih ingat, Ma? Ketika kita bersama-sama di ruang perpustakaan sekolah dengan buku yang seadanya, lalu kita membaca buku bersama, kau duduk menghadap ke arah timur dan aku menghadap ke arah barat, kita seyogyanya saling berhadap-hadapan. Kau sempat menafsirkan posisi duduk kita kenapa demikian.
“Kau tak perlu terlalu khawatir, Far, apa yang kau miliki saat ini tak akan pernah lepas dengan begitu saja, apapun itu, aku menilai; dengan pola dudukmu yang seperti itu, kau sedang bertarung dengan kecemasanmu. Kau selalu meratapi arah barat, mentari tak akan pernah tiba-tiba terbit dari arah barat jika tanpa kehendak tuhan. Sama halnya seperti apa yang menjadi kecemasanmu. Namun jika kamu masih mencemaskannya, suatu saat selain membebani pikiranmu yang seharusnya fokus pada pendidikan, kecemasan itu akan menjadi kenyataan, Far.” Ungkapmu, aku masih ingat itu, Ma. Saat kita duduk berdua enam tahun yang lalu.
Waktu itu, kemudian kau kembali khusyuk dengan buku yang kau baca, seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Ucapanmu baru saja menyatu dengan pembulu darah dadaku. “Kau benar, Ma. Aku sangat mencemaskanmu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Sebab mataku selalu bermuara pada matamu. Jujur saja, meski sebenarnya kita saat ini sedang bersama-sama dan saling berhadapan. Aku rindu padamu, Ma. Entah apa yang di maksud rindu itu sebenarnya? Ucapan yang paling sederhana bagiku tidak ada yang lain kecuali rindu, Ma.” Khayalku.
Dan itu benar-benar terjadi, Ma. Baru kali ini aku berani mengungkapkannya. Empat tahun yang lalu, kakakmu tiba-tiba menelponku, entah ia dapat dari mana nomor ponselku, barangkali dari teman dekatnya atau memang ia sengaja melacak nomorku. Dan tidak akan mungkin kamu sendiri yang memberikan nomorku padanya.
“Halo… Assalamualaikum,”
“Waalaikumussalam wr, wb.” Aku tidak menyangka, Ma. Ia akan menelponku. Suaranya parau, pertanda ia akan berbicara serius padaku.
“Ini Farhan? Saya masnya Najma. Jadi begini dik, Najma akan di pinang oleh seseorang. Ia berasal dari jakarta. Dan saya dapat kabar Najma sedang memiliki hubungan denganmu. Agar tidak terjadi kesalah-pahaman, bila dik Farhan memang serius dengan Najma, tolong temui kami sebelum orang lain termasuk pria yang dari jakarta itu terlebih dahulu melamar Najma.” Pungkas kakakmu yang sangat lugas dan tegas itu, Ma.
Seketika itu aku tidak hanya mematung, namun seakan-akan aku telah mati rasa, dadaku seakan di himpit oleh beban yang sangat berat. Aliran pernapasanku berdenyut kencang. Aku tidak bisa menanggapi apa yang dikatakan oleh kakakmu, Ma. Aku segera mungkin mendiamkan ponsel itu. Kakakmu sepertinya masih bersuara.
“Halo..”
“Halo..”
“Halo.., Farhan?”
Ponselku kemudian mati dengan sendirinya, dan pada saat itu juga, Ma. Pikiranku buntu, tidak ada yang lain dalam benakku yang berkecamuk, selain sebuah pertanyaan-pertanyaan tentangmu.
“Apakah kamu akan mengiyakan lamaran itu, Ma? Bagaimana jika kemudian kamu benar-benar menerimanya, Ma? Apakah kau tega seperti itu? Kenapa kita harus bertemu, Ma? Benarkah kau akan mengambil jalan setapak, Ma? Kenapa kita harus memulai jika pada akhirnya akan segera usai?” pikiranku berkecamuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah sama sekali aku harapkan, Ma.
Ma, andai kita tak pernah berjumpa, apakah rasa sakit yang perih ini akan tetap menjelma?
PENULIS:
Faruq Bytheway, penyair, aktivis, sastrawan asal Madura. Penulis Buku Nanti Ketika Di Malang (2021), anggota komunitas penulis muda malam reboan Kota Malang. Finalis Lomba Cipta Puisi (LCPN) 2018 dengan judul Puisi; Gua gua kecil.
Email: faruqbytheway98@gmail.com
Ig : @faruq_btw
Fb: faruq btw
Twitter: @faruqbytheway2
Telepom/WA: 085940712428