Ditengah proses menghadapi Revolusi Industri 4.0, masyarakat kita masih sering terjebak informasi palsu dan berita bohong yang tersebar di internet.

Dikutip dari laman Kompas.com, hasil survei CIGI-Ipsos 2016 menunjukkan, sebanyak 65 persen dari 132 juta pengguna internet di Indonesia percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya tanpa cek dan ricek.

Menurut Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, fenomena tersebut terjadi karena peningkatan pengguna internet belum dibarengi dengan peningkatan literasi digital. (Kompas.com, 2017)

Ya, literasi digital dirasa penting dijadikan bekal bagi masyarakat guna menghadapi gempuran era teknologi informasi saat ini.

Literasi digital akan berguna untuk memeriksa akuntabilitas dan kebenaran dari sebuah informasi. Namun lebih dari itu, literasi digital adalah kompetensi esensial yang wajib dimiliki dan dikuasai oleh pengakses internet.

Dengan datangnya era internet untuk segala (Internet of Things), yaitu perluasan koneksi internet ke pelbagai barang, tanpa kemampuan literasi digital pengguna internet akan kesulitan memanfaatkan informasi yang mereka dapatkan dan bahkan teralihkan fokusnya pada notifikasi-notifikasi yang mengganggu produktivitas mereka.

Menurut Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy (1997), literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 2017, mengutip Bawden (2001) menawarkan pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada literasi komputer dan literasi informasi. Literasi komputer berkembang pada dekade 1980-an, ketika komputer mikro semakin luas dipergunakan, tidak saja di lingkungan bisnis, tetapi juga di masyarakat.

Masih berdasarkan edaran berjudul ‘Materi Pendukung Literasi Digital’ terbitan Kemendikbud tadi, yang perlu diperhatikan adalah bahwa literasi informasi baru menyebar luas pada dekade 1990-an manakala informasi semakin mudah disusun, diakses, disebarluaskan melalui teknologi informasi berjejaring.

Dengan demikian, mengacu pada pendapat Bawden, literasi digital lebih banyak dikaitkan dengan keterampilan teknis mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi.

Senada dengan perkembangan dunia digital di atas, Soegiono, Agie Nugroho (2019) dalam esainya di laman TheCoversation.com berpendapat bahwa terminologi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi semakin ambigu dan memerlukan pendefinisian ulang hari ini. Betapa tidak, saat ini benda-benda seperti jam tangan, mobil, lemari es, hingga spot area parkir juga dapat menghasilkan data dan informasi dalam format digital.

Walau fungsi utama benda-benda ini bukan sebagai alat komunikasi, mereka sekarang juga dapat saling “berbicara” satu sama lain. Misalnya, lampu lalu lintas dapat secara otomatis mengatur durasi pergantian lampu berdasarkan sensor jalan. Jam tangan kita dapat bergetar bila masakan di dapur telah matang.

Dengan fitur kecerdasan yang saling berinteraksi ini, fungsi automasi dan interoperabilitas (kemampuan saling bekerja sama) dari sebuah teknologi akan semakin menguat. Hal ini sekaligus memengaruhi manusia untuk semakin bergantung dan mencandu ponsel pintar mereka.

Notifikasi-notifikasi dari aplikasi pengingat, email, atau obrolan yang terus bermunculan sepanjang waktu akan mentransformasi bagaimana manusia, baik secara individu atau organisasi, berperilaku, bekerja, dan membuat keputusan).

Strategi Implementasi Literasi Digital

Douglas A.J. Belshaw dalam tesisnya What is ‘Digital Literacy‘? (2011) mengatakan bahwa ada delapan elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital, yaitu sebagai berikut:

  • Kultural, yaitu pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital;
  • Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten;
  • Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual;
  • Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital;
  • Kepercayaan diri yang bertanggung jawab;
  • Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru;
  • Kritis dalam menyikapi konten; dan
  • Bertanggung jawab secara sosial.

Sementara itu, Soegiono (2019) memberikan kritik bahwa literasi digital cenderung dipahami secara sempit yang terbatas pada penguasaan dalam penggunaan teknologi saja.
Literasi digital semestinya juga meliputi aspek-aspek kritis lain seperti:

  • Kesadaran data (data awareness), yaitu memahami bahwa Data menjadi sebuah komponen vital dalam setiap sistem aplikasi yang saling berinteraksi dan bertransaksi dalam dunia siber. Hanya dengan mendaftarkan diri ke sebuah platform, data kita akan secara otomatis disinkronisasikan ke dalam sistem. Misalnya, ketika mensinkronkan aplikasi WhatsApp ke Facebook, Anda harus sadar telah mengizinkan segala data percakapan dari akun Anda untuk dapat diakses oleh kedua platform media sosial tersebut.
  • Kemampuan analisis data, yaitu memahami data yang masuk agar menjadi informasi yang berguna. Pada era internet untuk segala, menjadi tantangan tersendiri untuk mencerna data yang masuk dengan volume, kecepatan, dan varietas yang besar. Analisis data berarti bagaimana kita berusaha menerjemahkan kondisi dari data yang ada dan membuat keputusan dengan lebih akurat.
  • Kemampuan untuk fokus (deep work), yaitu mengantisipasi supaya ponsel jangan sampai digital yang seharusnya membantu manusia untuk meningkatkan dan mempercepat produktivitas malah menjadi penghambat kinerja. Ketidakmampuan masyarakat untuk fokus ini diperkuat oleh studi lembaga riset Qualtrics and Accel yang menemukan bahwa rata-rata generasi milenial mengecek telepon pintar mereka sebanyak 150 kali setiap hari. Perilaku ini menjadikan mereka tidak bisa fokus untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di depan mata.