Dua hari terakhir, dunia kampanye politik kita diramaikan video tiga orang ibu-ibu melakukan ‘kampanye hitam’. Di Karawang, Jawa Barat, trio juru kampanye ini mensosialisasikan bahwa kalau salah satu pasangan Capres menang, maka ‘tidak lagi ada azan, pernikahan sejenis diperbolehkan dan bla, bla, bla.”
Tidak perlu lama, berkat videonya yang menyebar (disebar) di kalangan netizen, trio ibu-ibu juru kampanye ini langsung ditangkap Polres Karawang. Berdasar berita terbaru, ketiganya dijerat:
“Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.”
Sedikit mundur ke belakang, kita tentu masih ingat kasus murid SMP di Gresik berinisial AA yang viral sebab menantang gurunya, Nur Khalim, untuk berkelahi di dalam kelas. Kasus ini tidak sampai masuk ke ranah pidana, sebab setelah mediasi, kedua pihak sepakat berdamai.
Dua kasus yang tentu berbeda latar belakang, namun diketahui publik dengan pola yang sama; direkam oleh orang-orang terdekat, diunggah ke internet dan media sosial, kemudian mendadak populer (viral) sebab unik, aneh, atau terutama melanggar norma hukum dan kesopanan.
Tentu sudah sangat banyak yang terkena imbas ‘negatif’ dari kecepatan daya sebar konten di internet dan media sosial.
Dalam bentuk yang lain, ada kasus dimana seorang pria bernama Sigit Priambodo (25) divonis oleh pengadilan Negeri bandung dua tahun penjara sebab kasus penyebaran foto pose intim seorang perempuan berpakaian PNS. (AntaraNews, 2015)
Sigit dijerat pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 44 UU no. 11/2008 tentang Informatika dan Transaksi Elektronik.
Hikmah sederhana yang bisa diambil dari kasus-kasus tersebut dan segudang kasus sejenis:
- Jangan mengambil foto dan video ketika telanjang. Apapun alasannya. Apalagi sekedar bukti keseriusan hubungan dengan pacar atau suami.
- Jangan berbicara dan bertindak ngawur, terutama berisi fitnah dan pencemaran nama baik pribadi pun instansi, sambil direkam atau sekedar dijadikan bahan story Instagram dan Whatsapp.
- Jangan merekam tindakan penganiayaan dengan alasan apapun. Misalnya sekedar gaya-gayaan, atau pengen memberi efek jera pada orang lain. Seperti yang kapan hari viral dilakukan seoran pemuka masyarakat.
Kita tentu merayakan kehadiran internet dan media sosial mampu memberikan dampak ekonomi bagi UMKM, memberikan akses pada kreator konten menjadi terkenal dan kaya, memfasilitasi orang biasa-biasa untuk mengaktualisasikan diri dan merasa seolah artis dengan begitu banyak pengikut.
Kita sering mendengar istilah: “Di internet, siapa saja bebas menjadi apa saja.”
Namun, disisi lain, kasus-kasus diatas memberi pelajaran bahwa ada norma yang sedikit banyak perlu dipahami dan nanti perlu ditaati koridornya ketika memiliki ponsel cerdas.
Ibu-ibu penyebar hoax kampanye hitam tadi, diketahui direkam oleh salah satu dari mereka bertiga. Dimana menurut polisi, dua orang bertugas sosialisasi, satu lagi bertugas merekam dan menyebarkan di internet dengan mengunggah ke media sosial dengan akun miliknya @citrawida5. (Merdeka.com, 2019)
Saya ndak paham, apa yang terlintas pada pikiran mereka dalam aksi tersebut? Sekedar supaya calonnya menang? Atau sudah sampai ubun-ubun membenci calon dari kubu lawan?
Kasus murid menganiaya guru di Gresik, tentu direkam oleh teman sekelasnya. Orang yang sehari-hari duduk dalam satu ruangan dengan pelaku, berani (tega) menyebarkan tindakan bodoh pelaku pada masyarakat maya (netizen).
Kasus penyebaran foto dan video pribadi dalam kondisi bugil atau telanjang, tentu jamak terjadi. Seringkali sebab merasa sakit hati diputus pacar atau suami, ‘koleksi goblok’ ketika mereka masih berbunga-bunga setia, disebarkan pada publik. Dengan tujuan sepele: efek jera, mempermalukan dan menghinakan.
Lama-lama, kita perlu hati-hati pada teman dekat, rekan kerja atau orang yang hampir sepenuhnya kita percayai, jangan-jangan ketika sedang membicarakan keburukan orang lain, ghibah, tanpa sadar dan tanpa persetujuan; mereka merekam tindakan kita.
Yang bakal berdampak panjang apabila sampai tersebar di internet dan media sosial. Siapa tahu suatu saat kita putus hubungan, batal relasi bisnis, bermusuhan sebab satu dan lain hal.
Hati-hati, atau meminjam istilah penceramah ‘menjaga lisan’ tentu lebih baik daripada keseleo lidah, menajadi viral lalu mendapat perundungan (bully) oleh netizen, apalagi sampai dilaporkan pidana mencemarkan nama baik.
Pada praktiknya, banyak kritik ditujukan pada UU ITE, negara kita. Misalnya Globe International (2008) menerbitkan publikasi berjudul “Are Defamation and Insult Crime?” menelaah bahwa ketidakjelasan Pasal 27(3) UU ITE tertera pada teks pasal itu sendiri.
Pasal pencemaran nama baik, berbeda dengan pasal pencemaran nama baik negara-negara lain, tidak memiliki definisi dan batasan yang jelas dari apa itu yang termasuk aksi pencemaran nama baik. Pasal 27(3) tertulis sebagai berikut:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Tanpa adanya penjelasan lebih lanjut dalam bagian penjelasan UU tersebut, pasal ini menjadi pasal yang sangat mudah untuk diinterpretasi dan ditarik makna serta batasannya.
Jauh kebelakang, banyak korban bermunculan sebab ‘pasal karet’ ini. Misalnya kasus Ahmad Dhani, kasus Prita Mulyasari vs. RS Omni Internasional, kasus Ira Simatupang dengan sesama dokter RSUD Tangerang, kasus Benny Handoko dilaporkan melakukan pelanggaran Pasal 27(3) oleh Misbakhun Anam (seorang politisi Partai Golkar).
Dampak ambiguitas ini yang banyak kita sebagai publik internet tidak paham, mana ucapan atau status yang bisa disebut mencemarkan, mana yang tidak. Sikap hati-hati tentu penting, namun secara umum, kita dihantui oleh chilling effect, secara sederhana terjadi dalam bentuk: tindakan self-censorship oleh pembicara/pemilik akun untuk menghindari dikasuskan dalam pengadilan.
Ya, ditengah dunia internet yang oleh salah satu providernya diiklankan: “dunia dalam genggamanmu..!”. Dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Leslie Kendrick (2013) dalam jurnal berjudul “Speech, Intent, and the Chilling Effect” menjelaskan, chilling effect cenderung terjadi ketika suatu hukum memiliki 2 karakter; (1) jika definisi ekspresi yang dilarang oleh hukum tidak jelas (ambiguous rules) dan (2) jika terdapat suatu kecenderungan untuk adanya penyalahgunaan dan/atau kesalahan penerapan hukum (erroneous applications).
Dikarenakan kedua hal ini, calon pembicara akan lebih memilih untuk tidak berbicara (melakukan self-censorship) daripada mengambil risiko dipenjara akibat pernyataannya divonis oleh persidangan sebagai aksi pencemaran nama baik.
Biaya peradilan tentu sangat mahal. Diputuskan bersalah dan dipenjara, tentu lebih mahal lagi.
Mending hati-hati.
Terakhir: “Jangan bugil, jangan ngomong dan bertindak ngawur, di depan kamera.!”