PENDAHULUAN
Sebagian besar kita masih meyakini bahwa pengembangan sektor pertanian adalah gagasan paling rasional untuk diberi perhatian khusus di negara ini. Lebih daripada pengembangan industri di sektor lain.
Sektor pertanian, selain merupakan roda penggerak ekonomi nasional, terbukti masih sangat mampu memenuhi hajat hidup masyarakat.
Hal ini terbukti jika dilihat dari sisi produksi, pertanian merupakan sektor kedua paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, setelah industri pengolahan. Posisi sektor pertanian masih di atas sektor lainnya, seperti perdagangan maupun konstruksi. (Data BPS, 2017)
Pemerintah melalui Kementrian Pertanian juga mencanangkan beberapa program guna mewujudkan swasembada sejumlah komoditas pertanian strategis.
Seperti diberitakan Harian Kompas (30/09/2017) pemerintah telah mencanangkan visi Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia pada 2045. Berdasarkan peta jalan lumbung pangan dunia, tahun 2017 ini Kementerian Pertanian menargetkan swasembada jagung, dilanjutkan tahun 2019 swasembada bawang putih dan gula konsumsi.
Pada 2020, komoditas yang ditargetkan mencapai swasembada adalah kedelai, tahun 2024 gula industri, tahun 2026 daging sapi, dan pada 2045 diharapkan Indonesia sudah menjadi lumbung pangan dunia.
Secara global, perlunya perhatian khusus terhadap pertanian juga dilatarbelakangi data bahwa saat ini seperlima penduduk dunia hidup dalam kondisi sangat miskin, bahkan 870 juta diantaranya dikategorikan malnutrisi.
Dan hampir 24 ribu orang di belahan dunia mati karena kelaparan, 18 ribu diantaranya adalah anak-anak. (data PBB, di akses dari http://www.mongabay.co.id) Kondisi ini semakin memprihatinkan sebab data masih saja menunjukkan adanya impor pangan dari negara berkembang, seperti Indonesia, ke negara-negara maju.
Namun jika melihat kondisi sektor pertanian saat ini, jalan menuju kearah sana masih sangat jauh. Dari sekian banyak permasalahan dalam dunia pertanian kita sampai saat ini, ada dua masalah besar yang masih sering ditemui.
Pertama, kepemilikan lahan yang luar biasa kecil. Riset yang dilakukan Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef), menunjukan bahwa rata-rata kepemilikan lahan oleh petani di Indonesia hanya mencapai 0,8 hektare.
Angka ini masih kalah jauh dibandingkan dengan Jepang sih saat 1,57 hektare, Korea Selatan 1,46 hektare, Filipina 2 hektare, dan Thailand 3,2 hektare.
Dengan kepemilikan sekecil itu, usaha untuk mewujudkan produktifitas dan efisiensi tentu masih jauh dari harapan. Salah satu sebab mengecilnya rata-rata kepemilikan lahan adalah proses konversi lahan pertanian untuk kepentingan lain, misalnya pabrik, perumahan, perkantoran, bandara dan sebagainya.
Kedua, Kondisi dimana sektor pertanian (petani) masih selalu sebagai pihak yang kalah dan tersingkirkan. Berhadapan dengan alam, teknologi dan lembaga pemerintah, petani hampir selalu ada di posisi subordinat. Kondisi ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya:
(1) besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk membayar tenaga kerja,
(2) petani dirugikan sebab output yang anjlok di pasaran dan input yang naik tinggi, atau sebab keduanya sekligus,
(3) Sewa bagi hasil maupun sewa tunai supaya petani mendapat akses mengelola lahan,
(4) pendapatan petani direnggut sebab buku bunga yang lebih tinggi dari harga pasar nasional maupun sebab pajak tidak langsung dari negara. (Ellis, 1998: 55)
Diluar dua masalah tersebut, konflik agraria juga masih sering terjadi di berbagai daerah. KPA (Konsorsium Pembaharu Agraria) mencatat sedikitnya telah terjadi 450 konflik agraria sepanjang tahun 2016, dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Jika di tahun sebelumnya tercatat 252 konflik agraria, maka terdapat peningkatan signifikan hampir dua kali lipat angkanya. (http://www.kpa.or.id)
Dari luas wilayah konflik 1.265.027 hektar, perkebunan menempati urutan pertama dalam luasan wilayah, yakni 601.680 hektar. Disusul berturut-turut sektor kehutanan, sektor properti, sektor migas, sektor infrastruktur, sektor pertambangan, sektor pesisir, dan terakhir sektor pertanian.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan dua kali lipat luasan wilayah konflik di sektor perkebunan.
Kondisi di lapangan tersebut menyebabkan masih rendahnya indeks nilai tukar pertanian (NTP). (Yustika, 2014:303) Yaitu instrumen yang mengukur rasio antara indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani.
Hal ini menunjukan kesejahteraan petani masih belum terwujud dengan baik. Dimana NTP nasional Juni 2017 sebesar 100,53 atau naik 0,38 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik sebesar 0,60 persen lebih besar dari kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar 0,22 persen.
Kenaikan yang tidak begitu signifikan ini menggambarkan kesejahteraan petani belum begitu baik diperbaiki. (https://www.bps.go.id, rilis Agustus 2017)
PEMBAHASAN
Dari berbagai problematika diatas, pemerintah sebagai pengelola negara khususnya dalam bidang pertanian perlu membuat kebijakan atau regulasi yang mampu menjadi solusi praktis meupun strategis.
Pertama
Reformasi tanah. Fakta bahwa penguasaan lahan di Indonesia masih sangat timpang, membuat pemerintah harus mewujudkan dan mengawal penuh kebijakan reformasi tanah.
Struktur kepemilikan lahan yang masih timpang membuat kontrol kegiatan ekonomi dimonopoli segelintir orang. Termasuk dalam model ini adalah model sewa lahan yang mencapai ratusan hektar di sektor perkebunan dan pertanian.
Selain mengurangi ketimpangan pemilikan tanah oleh individu seperti diatas, pemerintah juga bisa mendistribusikan tanahnya supaya bisa secara produktif dikelola petani terutama yang tunalahan.
Reformasi lahan yang secara sederhana bisa diartikan proses mendistribusikan ulang kepemilikan lahan bisa memiliki banyak tujuan, misalnya: mengingkatkan produktifitas pertanian, mampu mendongkrak produktifitas dan efisiensi produksi, dan sebagai sarana mendistribusikan kesejahteraan ekonomi dengan adanya pembagian aset produktif kepada petani.
Jika di amati, sepanjang tahun 2016, Pemerintahan Jokowi-JK belum secara maksimal mendorong implementasi reforma agraria. Meski menjadi salah satu janji politik dalam Nawacita dan telah diterjemahkan kedalam RPJMN, tapi selama tiga tahun, pemerintah masih minim memberi perhatian pada pelaksanaan reforma agraria.
Proses redistribusi 9 juta hektar sebagai salah satu terjemahan program reforma agrarian tak kunjung berjalan di lapangan masih kalah dengan agenda lain dari pemerintah.
Kedua,
Reformasi pertanian. Kondisi petani yang seringkali kalah dalam dunia pertanian, mengindikasikan kesalahan proses struktural dan sistematis.
Hal ini berupa ketidakberdayaan petani berhadapan dengan pelaku ekonomi yang berada di sektor hilir yang berkuasa absolut untuk menentukan harga dan waktu penjualan atau pembelian komoditas pertanian. Sehingga petani harus menanggung biaya transaksi yang lebih tinggi. (Yustika, 2014:311)
Hal ini ditengarai sebab kondisi jaringan distribusi dan pemasaran produk pertanian masih dikuasai pelaku sektor hilir, sehingga peningkatan harga tidak pernah dinikmati oleh petani sebab semua berada ditangan distributor dan tengkulak.
Hal inilah yang perlu segera dibenahi supaya terbangun kesepakatan kelembagaan yang lebih efisien antara koperasi, pedagang, asosiasi, tengkulak, industri hilir dan petani sendiri.
Ketiga,
Meningkatkan nilai tambah produk pertanian dengan strategi pengolahan pasca panen. Rendahnya kesejahteraan petani ini dikarenakan rendahnya nilai tambah produk yang dinikmati oleh petani. Petani menjual produk pertanian hasil panen begitu saja tanpa mengolahnya menjadi produk yang memiliki nilai tambah lebih tingi.
Hal ini disebabkan:
(1), keterbatasan modal.
(2) keterbatasan kemampuan tata kelola.
(3), keterbatasan informasi. Dalam memaksimalkan nilai tambah yang diperoleh, petani perlu analisis yang matang berdasarkan informasi untuk masing-masing output yang dikeluarkan.
(4), keterbatasan dalam pemasaran. Petani memiliki keterbatasan akses terhadap pasar hasil pertanian. (Warta penelitian dan pengembangan pertanian, 2008)
Petani sering dihadapkan pada kondisi “tidak ada pilihan” dalam menentukan jenis produk yang akan mereka lepas. Untuk produk padi, misalnya, mereka tidak dapat menjual dalam bentuk beras karena keterbatasan terhadap akses pasar beras.
Oleh sebab itu, mereka tidak punya pilihan lain kecuali menjual dalam bentuk padi ketika masih di sawah.
Dalam contoh Jepang, petani berhasil memperoleh nilai tambah dari produk pertanian dengan baik. Oleh sebab itu, petani jepang memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif baik.
Mereka didukung oleh Koperasi petani di Jepang yang bukan sekedar meyediakan fasilitas pengolahan pasca panen, namun mereka mampu mengembangkan produk-produk baru.
Hasil pengembangan produk tersebut selanjutnya dapat dipasarkan ke seluruh negeri dengan memanfaatkan kemampuan koperasi pertanian (Japan Agriculture, JA) dalam memasarkan produk ke konsumen baik secaralangsung maupun melewati jalur distribusi retail yang ada. (Awaludin, 2014)
KESIMPULAN.
Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara kelembagaan ekonomi solusi yang bisa diambil pemerintah adalah membuat kebijakan tidak langsung (indirect policies) yaitu dengan memperbaiki infrastruktur sektor pertanian yang tidak layak.
Ketidaklayakan ini bisa diartikan ketidaksepadanan antarpelaku ekonomi, baik sebab kemampuan nilai tawar maupun kepemilikan aset produktif yang tidak proporsional.
Secara teknis bisa dilaksanakan dengan (a) menerbitkan statuta atau aturan main atar pelaku ekonomi yang lebih menjamin kesetaraan, (b) memberi ruang akses ekonomi kepada pelaku ekonomi di sektor hulu atau petani kecil (c) transparansi dalam pembuatan kebijakan sehigga tidak ada ruang bagi pelaku ekonomi besar untuk melakukan kecurangan.
Juga dengan melakukan reformasi sektor pertanian dengan cara perbaikan infrastruktur dasar misalnya jalan, jembatan, pengairan.
Mendesain sistem keuangan yang sesuai dengan kebutuhan petani, dan sistem pasokan input maupun output lokal. Serta menggandeng pelaku ekonomi swasta guna pengolahan dan pemasaran komoditas pertanian suapaya memiliki nilai tambah lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS), 2017.
Ellis, Frank. 1998. Peasant Economic Farm Household and Agrarian Development. England: Cambridge University Pres.
Yustika, Erani. 2014. Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Warta penelitian dan pengembangan pertanian vol. 30, no 4. 2008. Meningkatkan
Nilai Tambah melalui Agroindustri. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Internet
Awaludin, Rohadi. Meningkatkan Kesejahteraan Petani dengan Meraih Nilai Tambah. 2014.(https://berandainovasi.com)
Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF). 2017. (http://indef.or.id/)
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). 2016. KPA Launching Catatan Akhir Tahun.
(http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatan-akhir-tahun- 2016/)
Wihardandi, Aji. 2012. Laporan PBB: 870 Juta Penduduk Dunia Kurang Gizi, 100 Juta Diantaranya Balita.
(http://www.mongabay.co.id/2012/10/19/laporan-pbb-870-juta-penduduk-dunia-kurang-gizi-100-juta-diantaranya-balita/)
Koran
Kompas, 30 September 2017