Beberapa waktu yang lalu, topik mengenai ‘wisata halal’ ramai dibicarakan pengguna internet. Hal ini dipicu oleh pernyataan Sandiaga Uno. Sebagai calon orang nomor dua di Indonesia, Dia berencana menjadikan Bali sebagai tujuan wisata halal.
Sebagaimana ditulis dalam media berita Tirto.id, berikut pernyataan Sandi di Denpasar, Bali, Minggu (24/2/2019):
“Prabowo-Sandi fokus memberdayakan UMKM. Di Bali sendiri kami harapkan pariwisata akan lebih baik dan multiplayer-nya banyak sekali kepada UMKM. Salah satunya juga pariwisata halal. Banyak potensinya, dan sekarang diambil oleh Bangkok,”
Publik kemudian menanggapi secara beragam. Pihak yang kontra menyatakan bahwa Bali, sebagai salah satu lokasi wisata paling populer di Indonesia, tidak perlu diberi label halal. Mereka khawatir banyak aspek khas budaya Bali yang akan hilang sebagai dampak dari pemberian label halal tersebut.
Misalnya disampaikan oleh kata Yuniartha (Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali), bahwa selama puluhan tahun yang ditonjolkan Bali adalah pariwisata budaya yang tak melulu selaras dengan ajaran agama tertentu, Dan pariwisata jenis ini terbukti mampu menarik minat jutaan wisatawan.
Sementara itu, Sapta Nirwandar, Chairman Indonesia Halal Lifestyle Center dalam artikelnya di Sindonews (Maret, 2019) memberikan dukungan pada gagasan wisata halal. Ia menuliskan:
“Seharusnya tidak perlu dipertentangkan antara wisata halal atau disebut juga muslim friendly dengan adat budaya dan agama yang ada di Indonesia, karena esensinya adalah pelayanan bagi yang membutuhkan dan terbuka bagi masyarakat untuk menjadikan peluang bisnis bagi siapa pun, tidak selalu harus muslim, sepanjang sesuai dengan aturan dan nilai Islam.
Banyak pemilik produk, hotel, dan restoran halal yang nonmuslim, apalagi untuk mengonsumsi produk halal tidak ada batasan, halal adalah bagi semua manusia seperti diamanahkan dalam Alquran (Al Baqarah ayat 168), tidak eksklusif untuk kaum muslim, karena halal diakui sebagai healthy dan safety bagi produk dan jasa.”
Lalu apa dan bagaimana sebenarnya wisata halal. Kami mencoba membedah beberapa referensi yang tersedia.
LATAR BELAKANG DAN DEFINISI
Battour dan Ismail (2016) dalam sebuah jurnal berjudul “Halal tourism: Concepts, practises, challenges and future”, memberikan pengantar bahwa pelaku dan pengamat Industri pariwisata menemukan adanya peningkatan minat terhadap pariwisata halal baik dari perspektif praktisi maupun peneliti.
Mereka yang terlibat dalam industri pariwisata menekankan fakta bahwa strategi apa pun untuk mengembangkan atau memasarkan layanan produk pariwisata halal harus dipandu oleh hukum Islam (Syariah). Minat yang meningkat pada pariwisata halal ini bisa jadi disebabkan oleh pertumbuhan populasi Muslim di seluruh dunia.
Saat ini, istilah yang paling sering dipakai untuk mendefinisikan topik ini adalah ‘Halal tourism’ dan `Islamic tourism’. Jafari dan Scott (2014) mendefinisikan pariwisata Islam sebagai “Suatu dorongan bagi wisatawan yang memiliki kecenderungan untuk selalu memenuhi berbagai aturan hukum Syariah”.
Definisi tersebut berfokus pada hukum Islam dan persyaratannya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, tetapi mengabaikan agama wisatawan (Muslim) dan dimensi lainnya. Definisi Jafari dan Scott lebih tepat untuk ‘Pariwisata halal’ daripada ‘wisata Islam’
Carboni et al. (2014) mendefinisikan pariwisata Islam sebagai “pariwisata yang sesuai dengan Islam, yang melibatkan orang-orang Muslim yang tertarik untuk mempertahankan perilaku keagamaan pribadi mereka saat bepergian atau berwisata”.
Definisi ini mempertimbangkan hukum Islam, target pelanggan (Muslim), dan lokasi kegiatan, tetapi produk dan layanan yang ditawarkan (yaitu makanan, fasilitas) diabaikan.
Singkatnya, pariwisata halal adalah “segala objek atau tindakan pariwisata yang diizinkan menurut ajaran Islam untuk digunakan atau dilibatkan oleh umat Islam dalam industri pariwisata”.
Definisi tersebut mempertimbangkan hukum Islam (syariah) sebagai dasar untuk memberikan produk dan layanan pariwisata kepada pelanggan sasaran yang sebagian besar Muslim, seperti hotel halal (hotel yang sesuai syariah), Resor Halal, restoran halal, dan perjalanan halal.
Definisi tersebut juga mengklaim bahwa lokasi kegiatan tidak terbatas pada dunia Muslim. Oleh karena itu termasuk layanan dan produk yang dirancang untuk wisatawan Muslim di negara-negara Muslim dan non-Muslim. Selain itu, definisi menganggap tujuan perjalanan belum tentu religius. Mungkin salah satu motivasi umum pariwisata. (Battour dan Ismail, 2016)
PRAKTIK WISATA HALAL SAAT INI
Akhir-akhir ini tercatat bahwa pelanggan Muslim menjadi lebih peka terhadap produk dan layanan konsumtif yang sesuai dengan Syariah. Selain itu, kesadaran di kalangan Muslim terus meningkat dalam memilih opsi Halal untuk kebutuhan mereka dibandingkan pilihan produk umum yang ditawarkan di pasar (Battour & Ismail, 2014).
Oleh karena itu, beberapa destinasi wisata non-Muslim seperti Jepang, Filipina, dan Brasil menawarkan solusi atau opsi ramah Muslim untuk berbagai layanan wisata yang dianggap bermasalah oleh wisatawan Muslim.
Misalnya, Kamar Dagang di Jepang dan Asosiasi Agen Perjalanan Filipina (The National, 2014; TTG Asia, 2014) menyelenggarakan seminar untuk melatih industri pariwisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim. Selain itu, ruang sholat sudah banyak dialokasikan di bandara utama dan berbagai restoran di Jepang menawarkan Makanan Halal. Juga disediakan panduan wisata yang muslim friendly di berbagai destinasi untuk menunjukkan lokasi makanan halal dan tempat ibadah.
Baru-baru ini pula, berbagai praktik yang berkaitan dengan pariwisata halal telah dijalankan. Praktik-praktik ini yang telah diterapkan di beberapa tujuan wisata dapat digunakan sebagai tolok ukur (benchmark) untuk tujuan wisata lainnya, guna menargetkan turis Muslim atau untuk memasarkan destinasi wisata dengan label ‘ramah Muslim’.
Sebagai contoh, jumlah hotel yang sesuai syariah tumbuh di beberapa destinasi wisata Muslim dan non-Muslim. Berbagai destinasi wisata ini mempromosikan hotel-hotel ini yang mengklaim ‘Sesuai dengan Syariah’ sebagai ‘Hotel yang ramah-Muslim’ (Carboni et al., 2014).
Hotel ramah Muslim memberikan tamu Muslim berbagai layanan yang sesuai dengan ajaran Islam seperti Arah Kiblat, makanan halal, minuman bebas alkohol, dan ruang sholat dengan panggilan untuk sholat.
Menurut laporan Euromonitor International (2015, hlm. 16), penjualan makanan halal meningkat di Eropa, khususnya di gerai layanan makanan konsumen disebabkan peningkatan turis Muslim yang berkunjung ke Eropa. Oleh karena itu, diharapkan bahwa investasi di pasar makanan halal akan tumbuh di destinasi wisata non-Muslim karena pertumbuhan pariwisata halal.
Sebagai contoh, pengeluaran Muslim secara global untuk Makanan dan Makanan (F&B) telah meningkat 10,8% hingga mencapai $ 1.292 miliar pada 2013. Pengeluaran ini diperkirakan akan meningkat menjadi pasar $ 2.537 miliar pada tahun 2019 dan akan mencapai 21,2% dari pengeluaran global.
Selain itu, restoran cepat saji dan makanan cepat saji timur tengah yang menyajikan makanan halal bagi wisatawan Muslim sangat lazim di Perancis, Jerman dan Inggris dan beberapa pelanggan mereka mungkin sering non-Muslim.
Thailand bisa menjadi contoh menarik dalam memanfaatkan pasar perkembangan pasar ini. Sebagai negara pariwisata nomor tiga penghasil devisa di dunia, dengan jumlah perolehan devisa lebih dari 50 miliar dolar pada 2017 kunjungan wisman muslim ke Thailand sekitar 5,2 juta orang.
Bahkan Thailand menjadi negara pengekspor produk makanan olahan halal, sekitar 25% dari total ekspornya. Thailand sangat sigap walaupun jumlah penduduk muslimnya hanya 5% (sekitar 6 juta) dari total penduduk.
Thailand menjaring pasar wisatawan mancanegara muslim dunia dengan menyediakan hotel halal dan restoran. Sebagai contoh hotel Al-Meroz Bangkok, hotel bintang 5 yang mem-branding hotelnya sebagai The Leading Halal Hotel, selanjutnya di daerah pariwisata yang mempunyai daerah pantai “hot spot” seperti Phuket dan Pattaya tersedia hotel dan restoran halal. Tentu yang tidak halal juga tersedia, itu hanya soal pilihan.
PROSPEK WISATA HALAL DI INDONESIA
Berkaca dari perkembangan wisata halal di negara tersebut, Indonesia sebagai negara yang mempunyai potensi besar mengembangkan wisata halal, lebih jauh lagi halal industri.Tidak hanya untuk wisman muslim tetapi juga wis non muslim yang jumlah kunjungannya 275 juta. Tentu sebagian besar membutuhkan pelayanan hotel, restoran halal, tempat ibadah bagi wisatawan muslim.
Ditambah wisatawan mancanegara muslim yang juga ingin berkunjung ke Indonesia karena dikenal mempunyai penduduk muslim yang besar, sejarah, adat dan budaya yang beragam.
Dari catatan Global Islamic Economy Report yang disusun Dinar Standard wisatawan muslim itu mempunyai spending terhadap produk halal yang cukup tinggi, mencapai USD2,101 triliun pada 2017 dan diperkirakan akan mencapai USD3,007 triliun pada 2023, untuk sektor pariwisata atau halal travel sendiri mencapai (USD177 triliun) dengan jumlah kunjungan sekitar 131 juta orang.
Potensi ini tentu menjadi peluang bagi Indonesia, namun dalam prosesnya memang tetap memerlukan banyak persiapan juga bagaimana mengakomodir ciri khas destinasi wisata lokal supaya tidak mengurangi nilai yang telah lama dikelola oleh pelaku industri dan penduduk.