Penulis: M. Faqih Bramasta (Pekalongan)

Setiap negara pasti memiliki ideologi masing masing, tak terkecuali indonesia. Indonesia sendiri memilih Pancasila sebagai ideologi negara yang sah. Dalam pemilihan tersebut, para pendiri negara harus melalui proses yang sangat panjang dan berliku. Dijadikannya Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia setidaknya memiliki dua sifat, yakni sifat teoritis-filosofis dan praktis-aplikatif.

Sifat yang pertama bermakna bahwasanya Pancasila mengandung butir-butir filosofi yang begitu mendalam. Hal ini dibuktikan dengan adanya kurikulum yang dimasukan dalam satuan kurikulum pendidikan di Indonesia.

Hal tersebut dilakukan tidak lain guna menanamkan butir-butir Pancasila kepada warga negara dengan harapan akan menjadi warga negara yang baik dengan wujud mengimplementasikannya dalam hidup bernegara. Inilah yang dimaksud dengan sifat praktis-aplikatif.

Sifat praktis-aplikatif inilah yang menjadi bukti bahwa seseorang telah menjadi warga negara yang baik. Hal ini terlihat pada perilaku setiap individu warga negara apakah sudah mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam hidup bernegara atau belum. Sebab tanpa disadari ketika nilai-nilai Pancasila sudah tertanam dan terrealisasikan, maka Pancasila telah menjadi akhlak warga negara tersebut.

Tentu akhlak yang dimaksud disini adalah akhlak terpuji, akhlak yang telah menjadi karakter. Ketika Pancasila sudah menjadi karakter dalam diri warga negara, tentu hal tersebut akan menciptakan interaksi sosial yang sangat indah, dimana kekeluargaan antar sesama warga negara akan harmonis, dimanapun dan kapanpun yang kita dapati hanyalah perdamaian tidak ada lagi pertikaian, permusuhan, bahkan pembumi hangusan.

Betapa indahnya Indonesia ini ketika seluruh warga negaranya memiliki karakter Pancasila dalam diri masing-masing. Dengan terbangunnya karakter Pancasila juga, cara pikir dan perilaku ‘jahiliyah kontemporer’ akan hilang dengan sendirinya.

Kebodohan dalam diri pernganut kepercayaan akan hilang dengan adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kebodohan akan kesenjangan sosial akan terpecahkan dengan sila keadilan sosial. Kebodohan atas adanya tembok pembatas antara satu suku dengan suku yang lain akan runtuh dengan adanya sila persatuan.

Namun, tidak jarang kita temui oknum-oknum yang tidak memiliki karakter Pancasila dalam dirinya. Mereka masih melakukan kekerasan, masih melakukan perbedaan antara si kaya dan si miskin misalnya.

Bahkan ada pula yang berkeinginan untuk merubah ideologi bangsa ini, dengan alasan ideologi Pancasila ini tidak relevan lagi dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di era dewasa ini.

Padahal seharusnya kita ingat bahwa pada 30 September 1960, Ir. Soekarno pernah menggemparkan dunia dengan pidatonya di gedung PBB, New York. Dalam pidatonya dengan durasi kurang lebih 90 menit, pada intinya beliau menyampaikan gagasannya untuk mencantumkan Pancasila ke dalam piagam PBB.

Dengan penuh keyakinan bung Karno mengatakan bahwa dengan diterimanya kelima prinsip itu dan mencantumkannya dalam piagam PBB, akan sangat memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Beliau pun yakin bahwa Pancasila akan menempatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejajar dengan perkembangan terakhir dari dunia. Lantas mengapa masih ada oknum-oknum yang ingin merubah ideologi Pancasila ini?

Tak lain dan tak bukan, hal ini bisa terjadi dikarenakan ketidak pahaman mereka terhadap unsur teoritis-filosofis dari Pancasila itu sendiri. Hal ini menunjukkan bagaimana pentingnya penanaman butir-butir Pancasila, baik dalam bentuk satuan kurikulum pendidikan ataupun yang lainnya. Namun yang tidak kalah penting adalah aplikasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.