Internet dan media sosial awalnya diharapkan dapat memperbarui demokrasi, melawan hegemoni dan monopoli media penyedia berita dan mengantar kita semua ke dalam komunitas global yang terbuka.
Namun dalam perjalanannya dalam beberapa waktu terakhir, gagasan itu telah dirusak oleh fenomena baru yang menunjukkan bahwa demokrasi, pada kenyataannya, terbengkalai oleh berkembangnya internet: terutama oleh berita palsu (hoax).
Mulai ditinggalkannya media maintream tentu bisa berdampak negatif bagi masyarakat, terutama dengan hadirnya situs-situs media yang tidak kredibel. Namun, Angela Phillip dalam situs World Economic Forum menunjukkan bahwa di Inggris, BBC dan media arus utama masih menjadi sumber informasi utama kami baik secara offline maupun offline.
Penelitian selama kampanye referendum Uni Eropa misalnya menemukan, bahwa dari semua tautan Twitter yang dianalisis, 63,9% retweet yang disebar berasal dari organisasi berita profesional. Berita sampah mengisi sekitar 5% prosentase.
Menurut Angela Phillip, profesor dari University of London, berikut beberapa mitos media sosial dan fenomena sesungguhnya yang terjadi:
Internet dipercaya telah memperbaiki demokrasi
Internet diharapkan mampu memperbaiki demokrasi dengan cara memecah monopoli media arus utama dan memberi kebebasan setiap orang untuk bergabung dalam percakapan yang mereka suka.
Namun bagaimanapun internet selalu meningkatkan popularitas topik tertentu, sehingga media besar penyedia berita masih jadi pilihan utama untuk dibaca. Sebab disisi lain media berita kecil dan baru masih sibuk berjuang mencari dana.
Lebih dari 200 surat kabar lokal telah ditutup di Inggris sejak tahun 2015, namun kekhawatiran terbesarnya adalah bahwa saat ini orang-orang di seluruh dunia lebih memilih untuk menonton video ringan dan komedi daripada membaca berita. Inilah yang menyebabkan banyak perusahaan media tutup.
Mitos bahwa sekarang kita semua adalah wartawan
Saat ini, kita bisa dengan mudah melakukan siaran (misalnya live Instagram dan Facebook, dll) dari smartphone kita, tapi kebanyakan yang kita siarkan bukan hal-hal penting sebagaimana produk jurnalistik yang dihasilkan wartaawan.
Saat ini bisa dikatakan jumlah jurnalis profesional telah turun, namun siaran via smartphone dan sebagainya tidak akan bisa menggantikan produk berita yang dihasilkan wartawan profesional.
Di sisi lain, internet telah menciptakan orang-orang dengan status “influencer” media sosial. Mereka mengubah diri mereka menjadi “merek” yang bisa mereka gunakan secara online untuk merekomendasikan atau menjual mulai dari make-up hingga mobil mewah. Sebagai gantinya, mereka menerima fee atau pembayaran dalam bentuk barang atau uang tunai.
Pendapat mayoritas selalu benar
Buku berjudul The Wisdom of Crowds memberi kesan bahwa internet akan mengarahkan kita pada bentuk demokrasi langsung yang sesungguhnya, dengan alasan bahwa semakin banyak jawaban atau afirmasi yang diberikan orang lain atas pertanyaan anda, maka kebenaran jawabannya akan lebih meyakinkan.
Tapi optimisme naif ini tidak memperhitungkan berbagai cara di mana orang (atau dalam kasus ini data mereka) dapat dimanipulasi. Di negara-negara yang tidak memiliki sumber berita utama yang andal dan terpercaya, orang menghasilkan uang dengan membuat cerita tentang ketakutan dan prasangka, yang dikemas dengan jebakan klik di internet.
Kasus sindikat Saracen dan Muslim Cyber Army bisa menjadi gambaran.
Internet telah menghasilkan ‘desa global’
“Desa global” adalah gagasan ilmuwan media Amerika Marshal McLuhan yang – pada awal tahun 1964 – menjelaskan gagasan bahwa di era elektronik, setiap orang akan memiliki akses ke informasi yang sama melalui teknologi. Hal ini tampaknya telah wadahi oleh internet.
Namun, bukti menunjukkan bahwa kecenderungan pemusatan monopoli media global semakin meningkat. Sejumlah kecil perusahaan termasuk Facebook dan Google sekarang menjadi penjaga gerbang informasi di seluruh dunia – dan mereka hampir semua orang dimiliki oleh Amerika.
Dan, di negara-negara berkembang dan negara-negara otoriter, harapan untuk mendemokratisasi gerakan sosial mengalami hambatan yaitu meningkatnya propaganda pemerintah ke dalam ruang online.
Internet mempermudah interaksi manusia
Ada banyak hal yang patut disyukuri karena internet dan media sosial memungkinkan kita berkomunikasi secara lateral. Dibutuhkan hanya beberapa detik untuk berkomunikasi dengan ribuan orang melalui WhatApp dan notulen untuk menghasilkan sebuah petisi dan mengunggahnya ke Facebook.
Kekurangannya, media sosial gagal untuk menyatukan orang-orang melintasi batas-batas afiliasi pribadi dan untuk mendorong perdebatan yang sesungguhnya. Sehingga yang ucapan serta dukungan ditampilkan di media sosial berbeda dengan apa yang sesungguhnya mereka pikir dan kehendaki.
Selain itu, periset Amerika Michael Beam, Myiah Hutchens dan Jay Hmielowski mencoba membedakan berbagai efek dari membaca koran online dan berbagi materi di media sosial. Mereka menemukan:
“Bahwa membaca secara online, sama halnya membaca secara offline, mampu meningkatkan pengetahuan – namun, di media sosial, orang mungkin berbagi (share) tanpa membaca.”
Sehingga beberapa ilmuwan khawatir bahwa polarisasi politik berjalan seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial. Misalnya di Indonesia dengan dua kubu utama, kecebong versus kaum bumi datar.
Tidak ada yang mempercayai media arus utama
Ketika ditanya apakah masyarakat mempercayai media, kecenderungan di banyak negara adalah mengatakan tidak – tapi ketika ditanya apakah mereka mempercayai berita favorit mereka, tingkat kepercayaan meningkat secara dramatis.
Namun di Eropa utara, satu faktor menonjol: orang mempercayai media tradisional mereka lebih dari mereka mempercayai sumber berita media online dan media sosial. Yang lebih penting lagi, masyarakat sana masih percaya bahwa penyiaran publik cenderung dipercaya melintasi spektrum politik yang mempersatukan masyarakat bukan malah memisahkannya.
Kehadiran ‘Generasi digital’ baru
Inilah mitos terbesar dari semuanya – bahwa ada generasi digital baru yang tidak mempercayai berita utama dan sibuk menciptakan masa depan yang lebih demokratis, tidak banyak di kontrol, dan memberi ruang yang bebas untuk “aktualisasi diri sendiri”.
Hal ini memberikan keyakinan bagi mereka untuk berpikir bahwa generasi muda memiliki jawaban yang akan mengantarkan pada dunia yang lebih baru dan lebih baik, yang gagal diwujudkan generasi sebelum mereka. Tapi tak satu pun dari kita terlahir laangsung mengenal dunia digital.
Eksplorasi generasi muda (yang tanpa prinsip dan pegangan nilai) dikhawatirkan tidak akan mampu menemukan cara bagaimana memilah informasi yang benar dan keliru, dan memilah propaganda dari fakta. Sehingga mengantarkan mereka pada banyak problem baru nantinya.