oleh Luthfi Hamdani

Mudik telah menjadi ritual bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Arus perpindahan penduduk yang begitu deras dari desa ke kota menjadi penyebab lahirnya budaya tahunan ini. Sebagaimana kita tahu, perputaran ekonomi kita masih dominan berada di kota-kota besar. Hal tersebut lumrah saja, versi sebuah istilah klise: “dimana ada gula, disana ada semut.”

Berbondong-bondonglah masyarakat desa berpindah ke kota. Berharap mencari pendidikan dan penghidupan yang jauh lebih baik. Di desa tidak banyak yang bisa diolah selain lahan pertanian, yang semakin hari nilai yang diperoleh petani semakin berkurang saja, tergerus biaya, tenaga dan kesusahan menjual hasil tani mereka.

Bagi saya, mudik memiliki banyak makna. Pertama, interaksi langsung antara saya dengan orangtua memang sangat terbatas. Ketika lulus SD, bapak membonceng saya dengan sebuah kardus dan dua tas berisi pakaian serta beberapa jajanan untuk bekal. Perjalanan dari Trenggalek ke Kediri menuju ke pesantren adalah sekat yang harus rela saya tempuh. Di lingkungan baru, dengan suasana baru, teman baru dan tentu saja lumayan jauh dari orangtua (banyak teman saya berasal dari luar Jawa, terutama Sumatra).

Maka saya akan menjumpai waktu pulang cukup lama ketika libur kenaikan kelas, dan ketika idul fitri. Masing-masing kurang lebih selama dua minggu. Begitu terus terulang selama enam tahun. Sebelum akhirnya saya pindah ke Malang.

Ketika berada di salah satu kampus negeri di Malang, sialnya waktu liburan saya untuk pulang juga terbatas banyak kesibukan. Singkat cerita, jika mudik maka yang akan sangat saya syukuri adalah bisa kumpul bersama dengan ketiga adik saya serta menikmati masakan yang diolah ibu, bapak, saya dan adik perempuan. Termasuk saya juga.

Jika bulan ramadhan, kami akan mulai masak dan mempersiapkan segala keperluan buka puasa sejak sekitar setengah 4. Walaupun ada di desa, bapak saya juga akan menjadi bagian penting dari proses masak-memasak. Tidak ada istilah memasak dan mencuci adalah domain perempuan, atau istri. Kami bisa saling bergantian melakukan semua tugas rumah, tanpa memisahkannya berdasar: “ini tugas pria, ini tugas wanita”.

Hal kedua, yang saya syukuri dari mudik adalah saya bisa meninggalkan segala pertikaian yang dinikmati masyarakat kota sebagai makanan sehari-hari. Baik di dunia nyata maupun dunia maya. Berdasar pengamatan saya, dan mungkin juga anda temui, orang-orang kota yang mendaku diri dengan istilah modern sebab persentuhannya yang tinggi dengan teknologi, akhir-akhir ini semakin meningkat keinginan atau hasratnya untuk bertikai dengan sesamanya.

Darimana pernyataan tersebut bisa muncul?

Begini, bagi anda yang menjadi pengguna smartphone dan meng-install berbagai aplikasi media sosial sebagaimana saya, coba sempatkan sesekali melihat-lihat ribuan bahkan jutaan posting atau kiriman provokatif secara senagaja dikirim oleh berbagai pihak, untuk menjatuhkan pihak lain, untuk memfitnah tokoh tertentu (misalnya presiden dan beberapa kyai NU), untuk menyalahkan berbagai macam hal. Apapun yang bisa dikomentari.

Dan jika membaca komentar-komentar yang mucul, maka akan semakin tampak banalitas masyarakat kita. Dunia maya jadi ajang ekspresi ‘kebebasan sesuka hati’ sebab misalnya di Instagram dan Twitter, kita bisa mendaftarkan diri dan tampil menggunakan akun palsu. Sesuka hati.

Maka salah satu pesan Gus Dur yang sangat saya ingat, bahwa: “siapapun yang memberikan pernyataan di depan publik, maka harus berani bertanggunjawab secara moral dan keilmuan.” tidak bisa kita temui di dunia maya kita saat ini.

Saya pribadi, mungkin juga anda, beberapa kali tentu sempat merasa tertekan secara psikologis mengamati bagaimana kengawuran pertikaian bisa terus terjadi dan bahkan meningkat. Saling fitnah, saling hujat, saling menyalahkan, saling merendahkan antar sesama manusia, sesama anak bangsa.

Maka kembali ke Trenggalek, kampung halaman saya, adalah sekaligus terapi bagi kedamaian personal-psikologis. Saya membatasi diri menggunakan handphone dan membatasi diri melihat berita tentang politik elektoral, lalu ikut menikmati hidup kebanyakan tetangga yang menjadi petani.

Pagi berangkat ke sawah, siang istirahat shalat dhuhur. Sore mandi dan menjelang magrib sudah berada di masjid untuk menikmati kiriman takjil dan nasi disana.

Jarak antara maghrib ke isya akan dihabiskan dengan berbagai kegiatan di lingkungan masjid. Membicarakan sungai yang mengairi sawah, membicarakan kejadian dan guyonan lokal. Bukan tentang konflik SARA, kelompok kampret versus kecebong, pembangunan infrastruktur, pertemuan Trump dengan Jong Un serta segala bahan obrolan teman-teman di kota yang bahkan sejentik pun kami tidak pernah menyentuhnya. Sebab berat dan jauh dari rutinitass kami. Namun anehnya saya selama di kota suka saja membicarakan perkara-perkara yang ‘jauh’.

Sawah, gunung, pantai dan jalanan desa yang sepi adalah oase yang luar biasa menyegarkan ditengah kemacetan jalan-jalan utama di Semarang, Malang, Surabaya dan Yogkarta. Tempat-tempat yang beberapa tahun terakhir paling banyak saya kunjungi.

Maka pesan utamanya adalah: “Jika segala kompetisi dan rutinitas hidup di kota terasa begitu memuakkan, jadikanlah pulang ke desa sebagai terapi. Mengisi ulang energi dan membersihkan kotoran jiwa.”