Penulis: Fajar Dewantoro. (Mahasiswa dan Pegiat Literasi, Malang)
Fenomena berlomba-lomba mendapatkan nilai tinggi biasa ditemui di Indonesia. Terbukti dengan keberadaan Ujian Nasional yang diterapkan mulai tingkatan SD hingga SMA, di tingkat perguruan tinggi ada Skripsi dan segala ujian semester.
Sehingga seolah-olah masa depan anak didik ditentukan dengan ujian akhir dan nilai skripsi mereka, bahkan nilai Ujian Nasional menjadi penentu di kampus mana mereka akan diterima dan pekerjaan apa yang akan mereka dapatkan.
Apalagi di tingkat perguruan tinggi, skripsi dan ujian kampus seolah menjadi penentu kadar kesuksesan mahasiswa.
Proses pendidikan selama 12 tahun di tingkat sekolah dan empat tahun di perguruan tinggi hanya dilihat dari beberapa hari saja waktu ujian. Jika mendapat nilai jelek seolah-olah anak didik tersebut dianggap orang yang paling bodoh dan tidak punya masa depan.
Saya tertarik waktu membaca surat yang ditulis seorang kepala sekolah di Singapura dan ditunjukan kepada orang tua murid dan guru mereka yang isinya:
“Kepada orang tua murid yang terhormat sebentar lagi ujian akan dilaksanakan, saya tahu anda semua akan cemas dengan hasil ujian anak anda tapi tolong ingatlah diantara anak-anak yang duduk mengerjakan ujian ada seniman yang tak perlu matematika.
Ada juga pengusaha yang tak perlu sejarah dan sastra, ada musisi yang tidak memperdulikan nilai kimia, ada olahragawan yang lebih mementingkan kesehatan fisik ketimbang nilai fisikanya, jika anak anda mendapatkan nilai tinggi itu bagus jika tidak, tolong jangan hilangkan martabat dan kepercayaan diri mereka.
Katakan pada mereka tidak apa-apa ini hanya sebuah ujian.
Yakinkan pada mereka ujian hanyalah sebagian hal kecil dalam hidup dan masih banyak yang lebih besar yang bisa diperjuangkan. Beritahu mereka berapapun nilai mereka anda akan tetap mencintai mereka dan jangan pernah mengutuk mereka tolong lakukanlah dan jika sudah tunggu lah suatu saat anda akan menemui anak anda menaklukkan dunia dengan bakat-bakat nya.
Yakinkan bahwa satu nilai jelek tidak akan menyingkirkan talenta dan mimpi mereka. Dan berhenti berpikir bahwa dokter dan insinyur adalah orang yang paling bahagia di dunia”
Dari surat ini kita dapat belajar bahwa menghakimi anak atas satu kegagalan akan sangat berdampak besar pada masa depan mereka.
Sudah seharusnya ujian akhir tidak menjadi momok bagi anak didik. Peran orang tua dan guru sangatlah penting disini. Jangan pernah membanding-bandingkan kesuksesan satu orang dengan orang lain jangan tanamkan bahwa satu nilai ujian akan berpengaru sangat besar bagi masa depan anak, karena setiap anak sudah dibekali potensi atau Fadhilah masing-masing oleh Allah SWT.
Albert Einstein pernah berkata:
“ Semua anak jenius dan tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya. Tetapi jika anda menilai ikan dari cara nya memanjat pohon maka dia akan menghabiskan seluruh hidupnya percaya bahwa mereka bodoh dan jika monyet anda nilai dari cara mereka berenang maka dia juga akan menghabiskan hidupnya dengan perasaan bahwa dia bodoh”.
Allah SWT berfirman “ Inna kholaqnal insaana fi ahsani ttaqwiim” yang artinya “ Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk”.
Sehingga manusia di bekali dengan software akal dan hati agar mereka senantiasa berfikir dan bertindak sesuai dengan kecenderungan potensi masing-masing. Proses pencarian potensi sudah seharus nya didik mulai dari orang tua hingga sekolah, penanaman stigma berjuang tanpa takut salah sudah harus ditanamkan sejak dini.
Bahkan Allah SWT tidak pernah mempermasalahkan hasil perjuangan hambanya, selama ia mau berjuang juga berproses mencari jati diri. Pada akhirnya, anak-anak didik nantinya tak hanya menjadi manusia yang inferior dan tidak percaya diri dan suatu saat mereka bisa menjadi pelopor pada zamannya, bukan lagi pengekor.