Salah satu pos biaya hidup yang harus ditanggung bagi penduduk di perkotaan adalah biaya parkir. Ambil contoh misalnya di Kota Malang, dengan tarif parkir sepeda motor Rp. 2000,- di setiap lokasi anda harus mengeluarkan uang Rp. 4.000,- sampai Rp. 6.000,- ribu perhari untuk dua kali sampai tiga kali keluar. Atau setidaknya Rp. 100.000,- perbulan untuk anggaran parkir.
Untuk meminimalisirnya juga susah, tukang parkir hampir ada di setiap sudut keramaian. Mulai minimarket, mesin ATM, warung makan, beberapa warung kopi, di taman. Bahkan di minimarket bertuliskan ‘bebas parkir’ juga masih sering ditemui tagihan parkir.
Disisi lain, bisnis parkir liar ini luar biasa menggiurkan. Dengan jumlah pendatang dari luar yang hampir setiap tahun bertambah, otomatis pendapatan mereka juga bertambah pesat. Ditambah lagi juga semakin hari semakin banyak dibuka tempat-tempat keramaian, terumata di bidang kuliner. Warung makan dan kafe.
Parkiran identik dengan kerja dan penguasaan wilayah oleh preman. Atau beberapa menamakan diri dengan karang taruna, bahkan beberapa menggunakan klaim ormas. Sering penolakan untuk membayar biaya parkir jadi sumber konflik, adu mulut sampai fisik.
Hal ini juga diungkapkan dalam penelitian Agusniar Rizka Luthfia membahas tentang Kuasa Aktor dalam “Dunia” Parkir Liar (Studi Kasus Kuasa Aktor dalam „Dunia‟ Parkir Liar di Sekitar RSUP Dr. Sardjito dengan menggunakan Perspektif Foucauldian dan Gramscian).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa aktor dalam dunia parkir liar telah memainkan kuasa yang dimiliki untuk membentuk masyarakat parkir liar dengan segenap aturan yang sedemikian rupa.
Adanya kekuatan sistematis (oleh kelompok preman ini) yang dikembangkan sehingga menjadikan masyarakat parkir liar lebih homogen, kompak dan senantiasa waspada. Dibuktikan dengan penentuan tarif parkir, identitas dan atribut yang sama dari kelompok parkir liar tersebut.
Kerugian bagi masyarakat terkait parkir dalam beberapa contoh sederhana misalnya: ketika menaruh sepeda motor sebentar saja guna mengecek saldo di mesin ATM, anda harus tetap membayar Rp.2000,-. Kalau kurang dari Rp. 2000,-? Otomatis mereka memaksa untuk memenuhi.
Kalau menolak membayar dengan alasan cuma sebentar?
Dijawab: “Sebentar atau lama sama saja, mas. Terlanjur naruh disitu kamu.”
Atau bahkan jika datang berdua, anda masuk ke lokasi dan teman anda tetap menunggu di motor, tanpa turun sama sekali, anda bakal tetap di tagih ‘pajak preman’ aka biaya parkir.
Alasannya jelas: “kalau gak mau ditarik, jauh-jauh disana berhentinya.”
Parkir liar juga menyebabkan hilangnya Pendapatan Asli Daerah. Dalam jurnal penelitian Aditya Wisnu Priambodo tentang Analisis Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum di Kota Semarang tahun 2012-2013, masalah parkir liar telah menjadi penyebab hilangnya pendapatan daerah.
Dimana juru parkir liar menerapkan tarif parkir tidak sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) yang telah ditetapkan, menyebabkan kemacetan, adanya campur tangan dari pihak ketiga pada wilayah parkir tertentu dan berganti-gantinya sistem pengelolaan yang diterapkan menambah kompleksitas dunia parkir liar.
Dan tentu saja problem yang paling kelihatan adalah terjadinya kemacetan, sebab badan jalan secara seenaknya saja digunakan untuk lahan parkir.
Beberapa kali Pemerintah Kota Malang (misalnya sebagai contoh) mengatakan akan menata parkir, toh problem ini tidak selesai juga. Parkir seharusnya menjadi bagian dari pelayanan publik dan semestinya harus mendapat perhatian serius.
Bandingkan misalnya, ketika beberapa hari lalu penulis masuk ke Rumah Sakit Nasional Diponegoro, di gerbang masuk CCTV akan memotret identitas fisik pengendara dan motor yang digunakan.
Dengan pengendara tinggal memencet tombol supaya kartu parkir keluar dari mesin. Biayanya? Jika anda di dalam tidak lebih dari sejam, anda tidak perlu membayar.
Dengan penggunaan teknologi seperti ini, resiko kehilangan rendah dan biaya juga adil.
Atau jika tidak, bisa Pemerintah Kota bisa menerbitkan Peraturan Daerah, guna mematok harga parkir yang lebih ‘manusiawi’. Misalnya ambil contoh di Semarang, berdasarkan Perda No.3 Tahun 2012 tentang retribusi jasa usaha (Tempat Khusus Parkir)
- Sepeda Motor atau Kendaraan Roda Dua : Rp 1000
- Kendaraan Roda Tiga : Rp 1500
- Kendaraan Roda Empat : Rp 2000
- Kendaraan Roda Enam : Rp 4000
- Kendaraan beroda lebih dari enam : Rp 7000
“Kenaikan tarif diatas sudah berlaku sejak 1 juni 2012. Jika ada oknum tukang parkir yang sedianya melebihi tarif di atas, sebaiknya anda datang melapor ke pihak kami.
Nanti kami akan menindaklanjuti laporan tersebut,” kata Kasi Penataan dan Pengembangan Dishubkominfo Kota Semarang, Poniman kepada Tribun Jateng, Rabu (15/5/2013).
Menata ulang manajemen parkir tentu menjadi hal yang mendesak bagi banyak pemerintah daerah, Malang misalnya. Supaya tidak semakin banyak pihak yang dirugikan, termasuk pemerintah sendiri. Beberapa tindakan yang bisa di ambil misalnya:
- Pemasangan informasi tarif parkir yang telah disepakati dalam Perda di banyak tempat
- Memberikan layanan cepat tanggap melalui telepon dan sejenisnya jika masyarakat menemukan pelanggaran.
- Melakukan operasi secara berkala serta membentuk tim pengawas. Misalnya bekerjasama dengan Satpol PP.
- Menentukan aturan main parkir, misalnya terkait karcis dan seragam tertentu.
- Mengangkat para pemilik lokasi parkir tersebut menjadi pegawai UPT Perparkira Hal ini dilakukan agar dapat memberikan kontrol terhadap para pemilik lokasi parkir tersebut.
- Dan banyak lagi.