Bulan november 2017, majalah Fobes merilis: “The 25 Most Powerful Female Political Leaders 2017”. Dari ke-25 sosok perempuan penting tersebut, Angela Merkel menempati posisi pertama. Disusul Theresa May dan Hillary Clinton di peringkat kedua dan ketiga.

Banyak yang tahu, Merkel adalah adalah Kanselir Jerman, yang memegang peringkatnya setelah memenangkan pemilihan yang diperebutkan tahun 2017 lalu. Berada di pemerintahan sejak tahun 2005, Merkel berusaha untuk menjaga agar koalisi Eropa tetap utuh dan mencegah pengaruh dari partai Alternatif untuk Jerman (AfD), yang telah memanfaatkan semangat anti-imigran.

Kekuatan Merkel di Jerman masih solid berkat rendahnya tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi Jerman yang kuat, yang mencapai PDB 3,5 juta dolar pada 2016, menurut Bank Dunia. Jerman adalah ekonomi terbesar keempat di dunia dengan PDB dan terbesar yang dipimpin oleh seorang wanita.

Di awal artikel versi online-nya, Caroline Howard dari Forbes menuliskan:

Kurang dari 10% anggota negara bagian U.N memiliki pemimpin wanita, namun tahun ini mereka memiliki pengaruh luar biasa terhadap banyak kejadian di dunia. Tiga wanita teratas dalam daftar tahunan wanita paling berpengaruh di dunia versi Forbes berhasil membuat beberapa kebijakan atau keputusan  yang dapat mempengaruhi jalannya sejarah.”

Di Indonesia, kita mengenal Megawati Sukarnoputri. Anak perempuan Bung Karno yang pernah menjabat presiden wanita petama di Indonesia. Sampai saat ini, kekuatan atau power Ibu Megawati juga belum luntur, partai yang di ketuainya berhasil memnangkan kursi presiden.

Dan beberapa hari lalu telah mendeklarasikan ‘kader terbaiknya’ untuk diajukan lagi dalam kontestasi Piala Presiden a.k.a pemilihan presiden.

Dalam belantika politik nasional, peran perempuan sudah cukup menjadi perhatian. Telah hadir beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin peningkatan keterwakilan perempuan di kursi DPR.

Peraturan ini dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang di dalamnya juga mengatur pemilu tahun 2009.

UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.

Angka ini didapat berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik.

Kemudian, dalam UU No. 10 Tahun 2008 ditegaskan bahwa partai politik baru dapat mengikuti setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.

Peraturan lainnya adalah dengan menerapkan zipper system yang mengatur bahwa setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008. Kedua kebijakan ini bertujuan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik.

Sebagian dari kita tentu masih berharap, suatu ketika akan hadir pamimpin perempuan yang memiliki power sebesar Merkel di Jerman dan dunia.

Dari 34 provinsi di Indonesia, tidak ada satupun gubernurnya adalah perempuan. Terakhi adalah ratu Atut Chosiyah di banten. Sementara, di tingkat kabupaten dan kota memiliki sudah cukup banyak pemimpin perempuan, misalnya Widya Kandi Susanti di Kendal, Rukmini Bukhori di Kota Probolinggo dan lain-lain.

Dalam riset melalui wawancara penulis dengan seorang narasumber, tentang bagaimana prospek perempuan meminpin daerah di Indonesia kepada Putri (23 tahun, mahasiswa pascasarjana di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Malang.) ditemukan hasil yaitu:

Pertanyaan: “Kenapa perempuan jarang yang jadi bupati atau pemimpin di Indonesia?”

Jawaban: “Sebab belum semua terbuka untuk kesetaraan, emansipasi.”

Pertanyaan: “Menurut pengalaman dan pengamatanmu, masih banyakkah orang yang punya pandangan perempuan tidak layak jadi pemimpin?”

Jawaban: “Kalau di kampungku masih banyak yang ragu, meremehkan. Cuma kalau mereka sudah berpendidikan setingkat kuliah, sudah cukup terbuka. Walaupun kemudian tidak memberikan ruang sebab konflik kepentingan dengan mereka sendiri, terutama yang cowok.”

Pertanyaan: “Sebagai orang yang paham bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki potensi kepemimpinan juga peduli pada isu kesetaraan, apakah jika ada calon pemimpin (bupati dan walikota) perempuan kamu akan otomatis memilihnya?”

Jawaban: “Tidak juga. Selain mungkin saya bangga kalaun ada perempuan maju dalam kontestasi politik, saya perlu lihat latar belakang organisasi, partai dan kinerjanya dulu. Jadi gak langsung pilih.”

Sehingga, menurut opini penulis, posisi utama yang ditampilkan Megawati dalam dunia politik nasional beberapa tahun terakhir dan tren semakin besarnya pengaruh pemimpin perempuan dalam mempengaruhi kebijakan internasional, bisa jadi katalisator keterbukaan pemikiran masyarakat Indonesia terhadap potensi kepemimpinan perempuan.

Juga meminggirkan sekat-sekat gender dalam dunia politik dan kepemimpinan.