TUGU MUDA

Deru mesin truk itu menggeram dan bergetar di jalanan,
menerbangkan debu kala mengangkut kayu panjang,
Hal-hal yang beraroma amis menyelinap,
ketika angin sepoi-sepoi menghembus mobil pick-up di belakang,
Dan dari sana, orang-orang mengangkat mata,
coba menghitung berapa hitungan lampu berubah hijau.

Satu gedung bersejarah berdiri di ujung jalan,
matahari terbenam jauh di Tugu Muda,
Bocah-bocah kecil berlari ringan,
harus menanggung beban; jaket lusuh, setumpuk koran.

…tidak ada lagi yang terjadi, tak jua pembeli:
hari belum selesai.

Di atas jok motor, jari-jari kulambaikan,
untuk menyenangkan bocah itu,
dengan memberinya dua keping uang logam,
seorang anak lelaki berlari riang,
begitu berarti ketika pergi,
adiknya berdiri di sampingnya, di tepi pos polisi.

Duduk melingkar, merogoh saku dan menumpuk
keping-keping uang; artinya makan malam,
Teriakan ceria bocah itu adalah tawa yang menyedihkan.
Ya, kehidupan ibarat telah tumpah.
Kemudian bocah-bocah itu melihat semuanya,
Mereka belum cukup tua untuk tahu,
bocah-bocah kecil melakukan pekerjaan pria dewasa,
meskipun tetap memiliki hati yang kecil.

Dia sekilas melihat padaku manja.
“Selamat jalan tuan,”
Di Tugu Muda, malam merambat perlahan.

(Semarang, 2019)

********

O, DESAKU

di langit biru dan bukit-bukit hijau yang terlihat baru.
angin dari celahnya berdesir damai melagu. tatapan
ayam dan sapi-sapi gemuk melintas pada kedelai dan
jagung yang tumbuh lebat dan tinggi.

di seberang batas desa, petani tunduk menyerah.
sawah-sawah diuruk lalu ditanami toko-toko, pabrik
dan rumah. kelak, mereka melamar sebagai penjaga
portal pos jaganya atau sebagai buruh pabik dan tukang
bersih-bersih.

musik campursari berat mengalun dari radio bapak
penjual pupuk. desaku yang kini berat bangun saat
subuh. namun kala pilihan tiada lagi, tetaplah tidur,
jangan bangun, lelap saja dalam mimpi.
juga sembunyilah sembunyi, jauh dalam diri.

(2019)

*******

RUANG PUBLIK

Pada Habermas

Demokrasi butuh ruang-ruang terbuka,
Untuk diskusi, mengupas cakrawala dalam kepala,
Di Oxford, 1650 kedai kopi jadi pilihan;
tempat intelektual diskusi dan debat.

Orang-orang datang dan pergi,
Bertukar cerita berbagi informasi,
Membincangkan persoalan,
Pendapat umum dihasilkan,
Disebarluaskan.

Di kedai kopi, borjuis-pun berdebat dan diskusi.
Betapa indah.

Kini, di hadapan cangkir kopiku,
Muda mudi duduk pacaran,
Saling sentuh, saling rangkul
dan ah, saling bla bla blu.

Mahasiswa ini, tentu tengah berdialektika,
Tentang masa depan,
yang terikat pada selangkangan dan dipan,
pada birahi, pada….. (titik-titik)

Oh, Habermas. Riwayatmu kini.

(2019)