DARI MEJA KEDAI KOPI
Mencatat Beteng Trade Center…
Pasar di depan berangsur sepi, sedang di dalam sebuah kedai kopi kecil, kepalaku ramai oleh beragam catatan yang antre untuk ditulis dalam sebuah buku kecil bersampul batik berukir. Dari balik kaca jendela kedai kopi, sesekali aroma busuk sampah dan aroma langit merah masuk ke hidungku — oh, ternyata beberapa kali.
Tukang parkir dengan jaket biru lusuh wira-wiri di bawah gapura pasar modern itu, dan di seberangnya ibu-ibu yang berjalan tanpa alas kaki melewati genangan air sisa hujan keruh, tukang becak dengan sebatang rokok kretek dan dahi penuh peluh, beberapa anak muda duduk di lantai — beradu waktu dengan telepon genggam menunggu satu dua pesanan dari segala jenis produk yang mereka foto dan pasang gambarnya di internet, lalu akan mereka ambilkan barangnya dari toko setelah ada pesanan masuk.
Hidup terasa begitu sibuk, namun saat sore kita selalu merenung seolah seharian tidak melakukan apapun. Kerja-kerja kita bak setumpuk rumput kering terbakar api, hilang jadi abu.
Uang demi uang yang kita dapat dari susah payah menghitung selisih harga jual dan beli, dari mengerjakan setumpuk berkas, dari kesana kemari mengangkut lalu menjajakan benda-benda yang bukan milik kita; semua seakan hanya mampir di dompet, di saldo rekening, di angka-angka pada akun mobile banking, mampir jadi kesenangan berupa perasaan kaya sesaat lalu habis untuk beras, kopi, bahan bakar kendaraan dan kuota untuk menulis apa saja di internet – yang sebenarnya tak pernah ada yang mau membaca bahkan peduli.
Dari balik kaca kedai kopi aku melihatmu berjalan ke arahku. Dengan satu kantong plastik barang dagangan pun baru saja kau beli. Sisa sepertiga gelas kopi kubiarkan tertinggal bersama butir-butir gula yang tumpah, saatnya pulang — kita harus kembali.
____________
BERJARAK
Ada yang luruh di matamu,
jatuh ke jalanan kosong penuh debu,
Beterbangan, terlempar dihempas angin berlalu.
Itulah rindu,
Yang harusnya kau hidangkan padaku,
bersama sepiring sarapan pagi
Di meja kayu persegi,
lalu kita asyik makan di hadapan buku-buku yang entah kapan dibuka lagi,
Rindu yang kini berulang batal kau hidangkan
Sejak jalanan panjang memisahkan.
____________
MIMPI MASA DEPAN
Ruangan ini dilapisi karpet warna biru tua,
sedang di atasnya duduk berjajar dengan jas warna hijau muda,
Setiap pasang mata mereka, perih dihajar kantuk juga diusik lelah,
gatal lalu jadi sayu sebab cahaya dari layar monitor di depannya yang tak henti mengeluarkan sinar terang berisi beragam informasi, beragam gambar, berbagai pekerjaan.
Laboratorium komputer yang sesekali semerbak bebauan aneh dari kaos kaki salah satu mereka yang duduk di ujung belakang.
“Kita butuh generasi muda yang begini dan begitu”
Ujar presiden di semua kesempatan sambil ia terus dihujani kilat-kilat cahaya kamera pekerja media.
“Revolusi industri mengharuskan generasi muda menguasai ini dan itu”, ujarnya di lain waktu setelah datang di satu pameran.
Industri dan ekonomi dipaksa berjalan bimbang di atas falsafah bernama kompetisi. Kompetisi atas uang. Atas kue-kue ekonomi yang sejak lahir mereka sadar hanya akan kebagian cuilan-cuilan remah kecil tak berarti. Muda-mudi yang harus bersaing antar mereka, juga kelak bersaing dengan beragam perangkat lunak, aplikasi, mesin dan robot – besok entah apa lagi.
Jika sejak awal sadar perang tidak akan pernah dimenangkan,
akankah kau tetap berangkat ke arena pertempuran?