Oleh:
Ahmad Zubaidi (Pegiat Literasi dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jogja)
IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Madkhol Ila ‘Ilm al-Dilaalah (Pengantar Ilmu Semantik)
Penulis : Dr. Fathulloh Ahmad Sulaiman
Penerbit : Maktabah al-Aadab, 42 Midan al-Uubara, Kairo
Tahun Terbit : 1412 H / 1991 M
Tebal : 73 Halaman
BIOGRAFI PENULIS
Beliau bernama Dr. Fathulloh Ahmad Sulaiman, beliau merupakan dosen di Universitas Khilwan, Kairo, Mesir[1] pada Fakultas Sastra, antara karangan buku-buku beliau adalah Madkhol ila Ilm al-Dilaalah, al-Alfadz al-A’jamiyyah fii Amtsal al-Arobiyah al-Qodimah, al-Uslubiyah, mu’jam al-Alfadz al-‘Amiyah al-Mishriyyah.
TUJUAN
- Untuk mengetahui anatomi penulis dalam penyusunan buku Madkhol Ila ‘Ilm al-Dilaalah ( Pengantar Ilmu Semantik )
- Untuk mengetahui isi buku Madkhol Ila ‘Ilm al-Dilaalah ( Pengantar Ilmu Semantik )
- Untuk mengetahui kelebihan buku Madkhol Ila ‘Ilm al-Dilaalah ( Pengantar Ilmu Semantik )
- Untuk mengetahui kekurangan buku Madkhol Ila ‘Ilm al-Dilaalah ( Pengantar Ilmu Semantik )
PENDAHULUAN BUKU
Pembahasan semantik dalam kosakata dan maknanya termasuk cabang pembahasan yang paling penting dalam linguistic, walaupun linguistik mempelajari kata dari 4 sisi yaitu : kontruksi kata, kalimat, fonem, semantic, tetapi sisi yang keempat inilah yang paling penting (semantik) yang mana ia mengumpulkan 3 sisi yang lain dalam satu kerangka untuk membantunya mengemukakan (mengeluarkan) makna dari suatu kata yang kemudian menganalisis kontruksi Bahasa dalam kalimat.
Buku ini membahas 9 permasalahan Bahasa yang kebanyakan mempunyai peran besar dalam pembelajaran dan pembahasan Bahasa menurut ulama (ahli bahasa) terdahulu dan sekarang (modern). Diantaranya :
- Penjelasan pentingnya ilmu semantic dan pengertianya
- Penjelasan fenomena intonasi dengan anggapan ia memiliki tugas gramatikal dalam sebuah konteks.
- Pembahasan permasalahan hilangnya makna, ketidakjelasan, dan kelemahan Bahasa
- Pembahasan mengenai masalah Ketepatan Tata Bahasa dan perannya dalam menghasilkan makna yang benar, dan juga membahas hubungan antara struktur kata dengan makna.
- Pembahasan mengenai masalah sinonim, homonym, antonym.
- Pembahasan mengenai fenomena turunan Bahasa, ( kemungkinan muncul dan turun kalimat-kalimat yang baru dari persamaannya yang ada).
- Pembahasan mengenai fonem fonem arab yang mengarah pada masalah huruf huruf arab, asal dan cabangnya serta menjelaskan tentang hubungan perubahan suara dan makna.
ISI CAKUPAN MATERI
Pertama : Pengertian dan Pentinya Ilmu Semantik
Dalam bab yang pertama ini penulis menguraikan pentingnya ilmu semantik yang mana ia adalah bagian dari ilmu bahasa yang harus dipelajari, dan ia merupakan faktor utama tercapainya batasan ketelitian dalam perkembangan makna historis dari sebuah kata maka, ilmu ini penting sekali bagi para ahli ilmu mantiq, filosof, ilmuan humanistik, ilmuan sosiologi.
Karena dari sinilah muncul hubungan dan keterkaitan antaranya yang mana ia memiliki ciri-ciri, karakteristik tersendiri maka dari sini muncu juga perbedaan pendapat, asal muasal, tujuan, dan sarana dalam mempelajari makna dari suatu kata.
Dalam bab ini penulis juga memberikan pengetahuan tentang pengertian dari ilmu semantik itu sendiri yang mana memberi pengertian bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari makna dari suatu kalimat/kata.
Ia berasal dari bahasa yunani Semaino dan tercetak dari kata Sema atau hubungan yang mana ia menggunakan dasar sifat yang sesuai dengan kata asalnya yakni Sens atau makna.
Jadi penulis memberikan pengertian bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna dari suatu kata yang terdapat dalam sebuah konteks baik itu berbentuk tulisan yang dibaca maupun perkataan yang didengar.
Serta penulis disin juga menjelaskan antara perbedaan tulisan dan ucapan, bahwa ucapan itu lebih dulu dari pada tulisan yang dibaratkan seorang bayi yang baru lahir dan dia menangis dan ia melewati fase-fase yang disitu ia bisa mengucapkan kata demi kata sesuai fasenya, dari sinilah seorang itu memperoleh bahasa dan memahami maknanya.
Kedua: Intonasi
Penulis dalam bab ini menyatakan bahwa seseorang itu mudah jika ia mengubah Bahasa tulis menjadi Bahasa ucapan, tetapi sulit bagi sesorang itu untuk mengubah Bahasa ucapan menjadi Bahasa tulis bahkan tidak mungkin yang mana ia harus butuh sebuah struktur Bahasa yang menjelaskannya.
Atau penjelas berupa sifat darinya dalam merubah kedalam struktur Bahasa tulis, dan itu semua kembali kepada intonasi, tekanan, spasi, dan kelembutan pembicara,seperti ia melihat Bahasa yang diucapkannya melalui gerakan isyarat dengan kedua tangan atau matanya, atau perubahan pada wajahnya.
Penulis mencontohkan dengan anak yang mengucapkan “Tidak ada susu” yang mana dalam kalimat tersebut mengandung dua makna yang pertama makna Tanya, yang mana ia mengandung makna Tanya kepada ibunya, “apakah kamu tidak punya susu?” yang mengisyaratkan ia menginginkan sebuah susu, dan makna kedua adalah makna berita yang berati “tidak ada susu”.
Penulis pada bab ini juga menjelaskan bahwa intonasi itu mempunyai tugas gramatikal dalam konteks struktur Bahasa pada sebuah kalimat, untuk menjelaskan apakah strukturnya itu unutk Tanya, syarat yang membutuhkan jawab, atau untuk memberikan peringatan, dan juga melarang.
Maka intonasi juga mempunyai peran penting dalam memperoleh makna yang tersimpan dalam struktur berita yang bukan bermakna asli (berita).
Penulis mencontohkan dengan kalimat “ di kebun ada pencuri “ pada kalimat berita tersebut tersimpan makna peringatan ketika merujuk pada intonasi peringatan.
Maka penulis membagi 2 untuk strutur yang membutuhkan intonasi berdasarkan pembuangan strukturnya.
- Struktur yang tidak membutuhkan intonasi untuk memperoleh makna dari strukturnya yang dibuang, seperti struktur pola SPOK yang membuang khobar nya Laa li nafsi al-jinsi : tidak ragu, yang bermakna tidak adanya keraguan sama sekali.
- Struktur yang membutuhkan intonasi dalam memperoleh makna dari strukturnya yang dibuang, yaitu struktur-struktur yang boleh membuang atau menyebutkan sebagian struktunya. Seperti contoh kalimat yang diungkapakan seorang laki-laki pada pacarnya “kamu mencela ku dari detak-detak jantungku” maka dari kalimat tersebut akan muncul dua struktur yang pertama Tanya, “apakah kamu ….?” Dan yang kedua adalah berita “kamu…”. Maka disinilah dibutuhkan intonasi agar seorang itu jelas dalam memahami dari maksud kalimat yang dikehendaki.
Ketiga : Hilangnya makna Bahasa, Ketidakjelasanya, dan Kelemahanya
Penulis menjelaskan bahwa lafadz-lafadz itu pasti berubah, tumbuh, dan berkembang. Baik ia menetapi makna aslinya atau maknanya lebih tinggi atau bahkan maknanya memburuk.
Setiap fase sejarah semua bahasa pasti ada lafadz-lafadz tertentu yang dilakukan untuk merubah makna dan ini yang dinamakan perubahan makna leksikal.
Makna bahasa itu akan hilang seiring dengan perkembangan zaman yang mana masuknya ibarat-ibarat yang sudah instan yang berhubungan dengan pekerjaan sehari-hari seperti ibarat khusus yang digunakan untuk penghormatan atau yang berhubungan dengan sosial linguistic.
Seperti lafadz selamat pagi…selemat sore…dll maka ibarat ini telah hilang maknanya yang asli (mendoakan) tapi itu hanya untuk mengungkapkan perasaan kebahagiaan saja.
Ketidak jelasan bahasa disini adalah mengisyaratkan bahwa kita harus lebih teliti dalam memahami makna kata yang dikandung seperti : al-laun al-burtuqoly, maka dia akan bermakna 2 yang pertama yakni warna merah dan kuning dari buah jeruk tersebut, dan yang kedua adalah warna oren.
Maka kita harus memiliki kejelian yang sangat dalam untuk memahami kata agar maknanya sesuai dengan konteksnya.dan juga seperti contoh:
seorang laki-laki tua dengan penyakit asma itu dating dan seorang laki-laki tua itu datang dengan penyakit asma, maka otomatis kita harus membutuhkan kejelian dalam konteks yang awal itu benar karena penyakitnya dalam diri laki-laki tua tersebut, tetapi untuk jumlah yang kedua itu menimbulkan kebingungan “datang dengan asma” yang mengindikasikan bahwa dia datang bersama asma.
Untuk kelemahan bahasa disini penulis menghendaki bahwa ini terjadi karena lingkungan bahasa yang berbeda-beda, seperti lafadz naasihun maka dalam Amiyah mesir akan bermakna orang yang cerdas, tetapi berbeda dengan Amiyah nya orang syam maka dia akan bermakan orang yang gemuk.
Begitu pebedaan makna terjadi antara bahasa resmi dan non resmi dari suatu negara. Maka penulis disini melihat bahwa satu lafadz itu terkadang berbeda maknanya dari lingkungan bahasa yang satu ke yang lainnya, tetapi sesungguhnya perbedaan makna ini tetap dalam satu lingkup bahasa satu.
Keempat : Ketepatan Tata Bahasa dan Hubungan antara Struktur dan Makna
Penulis menyebutkan bahwa ketepatan makna bergantung pada ketepatan tata bahasanya, terkadang ada kalimat yang benar tata bahasanya tetapi maknanya kurang tepat, seperti contoh: anjing membaca surat, tatabahasa nya sudah tepat tetapi maknanya salah/rusak secara pengucapan.
Maka apabila ada kesalahan tata Bahasa itu menunjukkan bahwa ia rusak (tidak faham) dalam dzauq (rasa gramatikal) nya, dan apabila ada kesalahan dalam pengucapan maka menunjukkan adanya kesalahan dalam pemikiran nya.
Penulis disini juga memberikan satu ulama nahwu yang tidak menyetujui adanya hubungan dalam struktur dan makna, yang mana pemikiran penulis menyebutkan bahwa struktur Bahasa itu mempunyai tugas untuk menjelaskan posisi kata dalam sebuah kalimat serta hubungan nya dengan kata-kata dalam sebuah konteks, sehingga menghasilkan makna yang benar.
Semua ulama tatabahasa telah sepakat dengan pentingnya struktur Bahasa dalam menjelaskan sebuah makna kecuali Qathrab, ia memberikan contoh-contoh yang tatabahasa nya cocok/sesuai tetapi maknanya berbeda, dan tatabahasanya tidak sesuai tetapi makanya sama.
Hal ini penulis menolak dengan memberikan sebuah argument-argumen yang menyatakan kesalahan dalam pendapat Qathrab dan penulis memperkuatnya dengan sebuah contoh yang didalam nya memuat sebuah tata Bahasa yang berbeda dan maknanya berbeda dari sebuah tingkatan struktur yang pertama sebelum adanya perubahan struktur yang jika dihilangkan maka akan kembali kepada makna yang pertama.
Kelima : Sinonym
Penulis mengutarakan bahwa jika seseorang menginginkan dari sebuah Bahasa itu penjelasan dan membantunya untuk mengungkapkan perasaan dan emosinya, maka tia telah sadar akan maksud dari sebuah kata-kata dan telah menemukan perbedaan makna antara kata-kata yang ada.
Dia telah mengetahui bahwa disana ada persamaan (synonym) antara dua lafadz tetapi dengan maksud yang berbeda seperti lafadz سيدة dan مرأة dia bersinonim dalam sebagian konteks tetapi lafadz sayyidah lebih bermaksud kepada wanita dengan kewibawaan dan penghormatan, dan mar’ah lebih bermaksud dalam sifat kewanitaan biasa.
Maka dari itu penulis menyebutkan bahwa satu makna akan berbeda maksudnya dalam konteks yang berbeda, seperti kata kerja “uhibbu” dia akan berbeda dalam konteks berikut : “uhibbu wathoni”, “uhibbu al-qiro’ah”, “uhibbu as-shidqo” maksudnya akan bisa menjadi cinta dan suka dalam berbeda konteks.
Penulis dalam hal ini juga memberikan contoh pensifatan bunga yang cantik dan mawar yang cantik, tetapi kita tidak bisa mengatakan wanita lebih cantik daripada bunga atau sebaliknya. Karena cantik disini berbeda maksud dalam konteksnya.
Dari sini penulis mengatakan bahwa ada makna konotasi dalam sinonim atau lafadz-lafadz yang berdekatan maknanya tersebut, setiap lafadz terkadang mempunyai makna cabang yang kembali pada makna aslinya, maka sinonim yang komplit (complete synonym) bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi, tetapi harus ada aturan yang mutlaq yang membenarkan pemakaiannya dalam lafadz-lafadz kebahasaan.
Penulis menyebutkan ilmuan-ilmuan yang menyetujui adanya sinonim yang komplit seperti : ibnu jinny dan ibn saidah adapun ilmuan yang menolaknya adalah ibn anbary dan ibn faris dan juga abu al-hilal al-askary. Dan penulis lebih condong kepada pendapat yang terakhir.
Penulis menyimpulkan bahwa semua sinonim akan bermakna umum yang masih mencakup makna aslinya, kecuali ada perbedaan-perbedaan yang jeli antara kebanyakan sinonim dan sinonim yang sempurna (tidak mencakup makna lain) itu bukan tidak ada tapi sedikit.
Secara tidak langsung penulis telah memberikan pengetahuan kepada pembaca bahwa yang ditulis tadi mengindikasikan kepada pembagian sinonim yakni mutlak, semirip, dan selingkung.
Keenam : Homonym
Dalam masalah ini semua ilmuan bahasa terdahulu dan sekarang memberikan arti yang sama yakni satu kata yang memiliki banyak makna seperti al-halqu memiliki makna banyak bisa dalam syi’ir, kelancaran masuknya makanan atau minuman kedalam lambung, atau pesimis.
Dalam hal ini berbeda dengan sinonym dan antonyim yang banyak perbedaan ulama, para ilmuan sepakat dan tidak ada yang berbeda pendapat dalam bab homonym tersebut. Tetapi para ahli bahasa ada yang memperluas maknanya dan mempersempitnya.
Dalam hal ini penulis memberikan batasan dengan pendapatnya ahli bahasa terdahulu yang mana membatasi nya dengan makna hakiki dan tidak termasuk makna majazy adapun itu termasuk dalam pembahasan majas, seperti kata macan yang bisa dimaknai keberanian, maka ini bukan homonyim karena tidak ada hubungan antara makna dan makna terdahulunya.
Maka keluasan makna homonyim ini sesuai dengan tuntutan sebuah masa, seperti kata “firqoh” yang asal nya bermakna sekelompok orang maka seiring berkembangnya zaman dia bisa bermakna tim “Team” dan seperti orang yang mengatakan pergi ke Yogyakarta padahal dia hidup di Kota Yogyakarta dalam sebuah desa, maka disini dia menghendaki untuk pergi ke Tengah Kota Yogyakarta.
Ketujuh : Antonym
Yang dimaksud antonym disini adalah adanya satu lafadz yang memiliki dua makna yang berbeda, berbeda disini bermaksud setiap dari kedua makna tersebut berkebalikan satu dengan yang lainya.
Ada perbedaan antara ulama Bahasa dengan para ilmuan yang berkecimpung dalam Bahasa dalam pendangan nya mengenai antonym sebagai fenomena bahasa arab.
Mereka yang sepakat dengan adanya antonym adalah Kholil Ibn Ahmad, Ibn al-Anbary, Ibn Faris, dan Ibn Sayidah, dan mereka yang tidak menyetujui bahwa sinonim ini adalah fenomena dalam bahasa arab adalah Ibn Durustawaih dengan menggunakan dalih bahwa bahasa itu digunakan untuk mengungkapkan makna dan fikiran penulis, adanya satu lafadz yang mengungkapkan dua makna yang berbeda itu menunjukan ketidakjelasan makna dari sesuatu yang berlawanan dari karakter bahasa.
Maka penulis lebih condong kepada pendapat yang menetapkan adanya antonym merupakan fenomena kebahasaan tetapi itu fenomena yang terbatas oleh kata-kata yang sedikit yang mungkin kita bisa menghitungnya, seperti halnya karakter perkembangan bahasa itu terjadi banyak dari lafadz-lafadz kuno seperti al Jaunu yang bermakna putih dan hitam, al-Shorim yang bermakna siang dan malam dll.
Kedelapan : Kebalikan dan Turunan Kalimat
Yang dimaksud kebalikan kalimat oleh penulis disini adalah perbedaan bahasa dari kemungkinanya menciptakan/melahirkan kalimat-kalimat yang baru dari kalimat lain. Penulis disini membedakannya dengan isytiqoq yakni melahirkan kata baru dari kata lain yang sudah ada. Kebalikan kata disini berdasar pada kata positif menjadi negative.
Atau kebalikan antonym dengan apa yang disebutkan disertai dengan kata tidak (nafi) seperti contoh : Pesawat itu terbang dengan cepat, maka pesawat itu tidak terbang secara lambat. Penyamarataan fenomena ini sekira menjadi fenomena yang mutlak yang sudah dipertimbangkan, maka wanita yang tidak cantk itu berati sama dengan wanita itu jelek ? dan kamar itu tidak luas berate kamar itu sempit ?
Penulis memulai dengan membagi sifat itu menjadi dua : sifat yang tinggi, sifat yang menjadi batas pensifatan yang paling atas (tinggi) seperti : besar, cepat, indah, luas, mulya, dan sifat yang rendah, sifat yang darinya kita melihat kemampuan paling rendah dalam pensifatan (antonyim dari sifat yang tinggi) seperti : kecil, lemot, jelek, sempit, pelit.
Maka jika kita masukkan dalam kebalikan kalimat menjadi seperti contoh : wanita itu cantik, maka wanita itu tidak jelek (tinggi ke rendah) tetapi tidak bisa jika kita menggunakan kebalikannya dari rendah ke tinggi misalnya wanita itu tidak jelek, maka tidak bisa kita menggunakan kalimat wanita itu cantik, karena itu sifatnya sebanding (antara) tidak cantik juga tidak jelek.
Penulis juga memberikan kemungkinan bahwa fenomena ini terjadi pada kata kerja yang membutuhkan objek seperti : aku menulis surat, maka surat itu ditulis olehku, dan juga kepada kata kerja yang tidak butuh objek seperti : telah turun hujan maka kebalikan kalimat (kalimat barunya) adalah hujan telah turun.
Kesembilan : Perubahan Suara dan Makna
Sebagian fonem mengalami perubahan ucapan yang suaranya keluar dari bentuk aslinya kedalam bentuk lain yang berbeda, padahal kata itu tersusun dari beberapa fonem dalam system dan urutan tertentu, maka apabila fonem (suara) berubah dan mengganti kepada suara yang lain, maka itu adalah sebab menyerupainya proses penggantian suara dengan sepadan dalam sebuah kata.
Penulis memberikan pengertian bahwa huruf hijaiyyah itu adalah salah satu fonem terkecil dalam sebuah kata. Maka dari itu jika salah satu dari fonem tersebut diganti dengan fonem yang lain, maka akan menyebabkan perubahan dalam maknanya seperti maala jika salah satu fonem nya di ganti qof menjadi qoola maka akan menimbulkan perubahan yang sempurna.
Adapun – yang pertama – perubahan suara ini penulis memberikan isyarat : yang pertama, bahwa sesungguhnya perubahan ini terjadi pada huruf itbaq yaitu shod, dhodh, tho’, dzho’ jika fonem tersebut diucapkan dengan tanpa adanya sifat itbaq maka akan menggantinya dengan urutan siin, dzal, ta’, dzal ini menurut pendapat auza’y. Yang kedua, bahwa perubahan ini dibatasi hanya pada konteks ucapan bukan tulisan.
Kata – baik itu isim, fi’il, huruf – tercetak dari system huruf dalam urutan tertentu, dan huruf ini dinamakan huruf hijaiyyah atau huruf mabaany atau huruf mu’jam. Jumlahnya ada 29. Pendapat Kholil ibn Ahmad dalam kitabnya al-‘Ain dia dimulai dari ain karena ia menganggap bahwa ain itu merupakan huruf tenggorokan yang paling tinggi.
Sedangkan Sibawaih mengurutkan huruf hijaiyyah dengan dimulai dari hamzah. Adapun yang umum terjadi huruf hijaiyyah itu dimulai dari alif dan diakhiri ya’.
Disana juga ada huruf cabang dari huruf hijaiyyah yang mana ia menyebabkan perubahan fonem dan merubah maknanya yaitu : nun khofifah, seperti pada lafadz minka atau anka, yang kedua : hamzah mukhoffafah seperti ucapan zaara yang aslnya adalah zaura maka hamzah ini bisa berharokat fathah ataupun kasroh ataupun dhommah tetapi ia tidak kembali awal perkataan. Dan yang lainnya sebanyak 6 macam.
Penulis juga menyebutkan huruf cabang yang mana seperti huruf kaf itu antara jim dan kaf, jim yang ucapanya seperti kaf, jin yang seperti syin dan fa’ yang seperti ba’ maka penulis mengamati bahwa ada pelanggaran pada huruf asli, sehingga mengganti huruf asli ke huruf cabang dalam padanannya yang mengeluarkan kata dari makna mu’jam nya serta makna hakikinya.
Seperti lafadz ajala yang diucapkan jim seperti kaf menjadi akala yang maknanya berubah total dari makna aslinya, maka ini merupakan pemahaman makna yang bukan dikehendaki, pemahamanlah sebagai tugas pokok dalam mencari pesan yang disampaikan oleh penulis.
KELEBIHAN
- Bahasa yang digunakan sangat sederhana dan sangat mudah difahami oleh pembaca
- Meberikan pendapat-pendapat ulama bahasa terdahulu dan sekarang mengenai fenomena-fenomena kebahasaan (pemb : semantik) yang memperkuat alasan kita untuk meyakini ada dan tidaknya fenoma kebahasan tersebut. Dan membandingkan antara pendapat ulama terdahulu dan sekarang terhadap fenomena bahasa yang digunakan sekarang pada umumnya.
- Penulis selalu membandingkan dengan hal yang positif dan negative sehingga pembaca tanpa memahami terlalu dalam sudah dapat menangkap maksud dari penulis
- Penulis selalu memberikan kesimpulan diakhir pembahasanya, jadi pembaca lebih tertarik untuk membaca kesimpulannya dahulu baru membaca penjelasan bab sebagai pendukung pemahamannya.
- Penulis memberikan makna bantuan berbahasa inggris, jadi pembaca lebih mengenal istilah-istilah asing dalam bahasa arab yang digunakan dalam pembahasan ilmu semantic.
- Penjelasan penulis mengenai bab yang dibahas langsung tertuju pada poin-poin nya, tidak berbelit-belit, sehingga memudahkan pembaca untuk menangkap pemahaman penulis secara langsung.
KEKURANGAN
- Memakai anatomi narasi bukan terstruktur, sehingga ketika pembaca ingin mengetahui macam-macam sinonim (misalnya) maka harus membuat kerangka sendiri dari penjelasan yang sudah di paparkan oleh penulis.
- Membutuhkan pemikiran yang lebih dalam untuk memahami hubungan antara bab satu dengan yang lainya , yang mana penulis dengan tujuannya mengurutkan bab nya sesuai dengan alur semantic kebahasaan dalam pembahasanya.
- Terlalu khusus kepada bahasa arab, padahal ilmu semantic adalah ilmu yang umum bagi semua bahasa, tetapi disini penulis terlalu mengkhususkan untuk bahasa arab, jadi seakan-akan buku ini adalah buku semantic untuk bahasa arab.
[1] Halaman Sampul Kitab al-Alfadz al-A’jamiyah fii Amtsal al-Arobiyah al-Qodimah, (Dar al-Haram li al-Tsurots : Kairo)