Personal Selling masih menjadi salah satu starategi yang digunakan dunia usaha untuk memperkenalkan produk barunya. Merek-merek rokok baru seringkali di antarkan ke kafe dan warung kopi oleh beberapa perempuan cantik dengan dandanan khusus ‘seksi’. Kita kenal dengan istilah Sales Promotion Girl.

Aplikasi strategi personal selling dengan menggunakan perempuan sebagai tenaga penjual ini masih jamak kita temui. Berdasarkan pengalaman penulis, mereka harus menggunakan pakaian minimalis, masuk ke ruangan warung kopi yang dominan oleh laki-laki dan dengan sedikit merayu melakukan komunikasi produk kepada calon konsumen.

Dalam pameran mobil Indonesia International Motor Show (IIMS) misalnya kita bisa saksikan begitu banyak perempuan ‘cantik dan seksi/proporsional’ dipekerjakan jadi garda depan penjualan. Mereka yang beberapa juga berprofesi sebagai model.

Sebelum membahas bagaimana hasil riset penulis tentang keberadaan SPG ini, definisi dari personal selling adalah:

“komunikasi langsung atau tatap muka antara tenaga penjual dengan calon pelanggan untuk memperkenalkan produk kepada calon pelanggan dan membentuk pemahaman pelanggan terhadap produk sehingga mereka kemudian akan membelinya.”

Beberapa tugas SPG diantaranya:

  1. Mengelola merchandise atau barang dagangan di stan.
  2. Menarik pengunjung untuk datang ke stan
  3. Menawarkan produk
  4. Sampling produk
  5. Serta mencatat penjualan

Untuk data seberapa bagus penggunaan perempuan atau SPG dalam pengenalan produk bagi perusahaan, penulis belum memiliki. Namun masih jamak dijumpai praktik SPG dalam dunia bisnis saat ini menggambarkan bahwa strategi ini masih cukup berhasil.

Berdasarkan riset kecil yang dilakukan penulis kepada tiga orang sampel (narasumber A, B, C) yang pernah berinteraksi langsung bahkan melakukan pembelian produk melalui SPG produk rokok, kesan atau persepsi yang muncul adalah sebagai berikut:

Pertanyaan 1: “Pernah gak membeli langsung rokok dari SPG produk rokok?”

Jawaban: Ketiga narasumber A, B dan C menjawab “Pernah.”

Pertanyaan 2: “Apa motivasi ketika membeli rokok ke SPG? Apa keberadaan SPG menjadi faktor anda mengambil keputusan membeli.”

Jawaban:  (A) “Lagi malas jalan saja, mumpung ada SPG sekalian beli.”

(B) dan (C): “Tidak selalu, cuma ketika saya lagi kehabisan rokok dan ada SPG sekalian beli. Lumayan bisa diajak ngobrol dan digoda.”

Pertanyaan 3: “Secara umum, apa komentarmu terhadap penggunaan SPG guna memasarkan merek rokok?.”

Jawaban: Ketiga narasumber secara umum memberikan jawaban; “sebenarnya kasihan juga, harus dandan dan ngerayu-ngerayu begitu. Cuma demi cari uang memang perlu usaha.”

Keberadaan perempuan dalam persaingan pasar saat ini jadi begitu penting. Perempuan dengan daya tariknya tentu lebih mudah memunculkan ketertarikan pelanggan warung kopi dan kafe yang dominan laki-laki. Dan ini setidaknya efektif dalam proses awal komunikasi pemasaran.

Meskipun dalam praktiknya, keberadaan mereka sebagai SPG rawan jadi bahan kekerasan atau pelecehan, baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk fisik.

Tidak jarang ditemukan guyonan calon pembeli sampai menjurus pada yang mengandung unsur hubungan atau pelecehan seksual.

Bukan kondisi ideal tentunya jika guna pemenuhan kebutuhan ekonomi, perempuan harus pasang mental dan fisik untuk jadi garda depan penjualan produk. Ditambah diharukannya mereka tampil dalam bentuk yang kita kenal dengan ‘seksi’. Keberadaan perempuan sebagai SPG yang akrab dengan pelecehan verbal dan fisik bisa jadi melanggengkan posisi subordinat perempuan terhadap laki-laki.

Dimana mereka seolah siap dan sah-sah saja jika dipermalukan, jadi bahan bercanda dan sebagainya. Relasi kuasa gender yang harusnya mulai dihilangkan dari masyarakat kita.

Jika dilihat dalam studi sosiologi gender, relasi gender tidak hanya dilihat sebagai relasi sosial antara perempuan dan laki-laki. Relasi gender dilihat sebagai ’’suatu kesatuan pemahaman dan pemikiran tentang subordinasi perempuan dan praktik-praktik budaya yang mempertahankannya, cara-cara yang menentukan pilihan objek seksual, pembagian kerja secara seksual, pembentukan karakter dan motif –sejauh hal tersebut diorganisasi dalam kategori feminitas dan maskulinitas’’ (Barrett, 1988: 15 ~~ dalam Emy Susanti 2017).

Usaha untuk mengurangi ‘eksploitasi terselubung’ terhadap perempuan ini tentu jadi tugas yang cukup berat. Perlu komitmen dari dunia usaha, organisasi sosial terutama dari pihak perempuan sendiri.

Sehingga kedepan, dengan memahami bahwa penggunaan perempuan sebagai tenaga penjual semacam SPG, yang kita kenal saat ini tidak baik guna relasi yang seimbang dalam gender, semua pihak bisa mulai menciptakan suasana atau budaya kerja yang lebih mampu menjaga martabat perempuan.