Penulis: Luthfi Hamdani
Menikah tentu bukan perkara sederhana. Hampir semua orang berharap, prosesinya terjadi sekali dan bertahan seumur hidup. Karena spesial, banyak hal yang harus dipertimbangkan. Proses panjangnya dimulai dari mencari calon suami atau istri yang sesuai, melakukan berbagai proses pendekatan dan membangun komitmen sampai menyusun hal-hal detail seperti alokasi dana, konsep dan membicarakan kehidupan pasca usai pesta.
Dari sisi biaya, banyak orang rela mengeluarkan uang kelewat lebih untuk mewujudkan impian pernikahan sempurna. Jika kurang, berutang tak mengapa. Ada anggapan bahwa menikah cuma sekali, wajar jika jorjoran saat resepsi.
Sebuah konsultan pernikahan di Inggris, Hitched, pada tahun 2017 menyurvei lebih dari 4.000 pengantin untuk mengetahui rata-rata anggaran pernikahan mereka.
Hasilnya, mereka menghabiskan rata-rata £27,161 pada hari pernikahan, setara Rp516,8 juta, naik lebih dari £2.000 atau sekitar Rp38 juta dari tahun 2016. Hanya saja, di Inggris, pengeluaran paling banyak dialokasikan untuk tempat pernikahan, bulan madu, baru kemudian katering, cincin pertunangan, dan minuman. (Tirto.id, 2019)
Perlu diingat, bahwa tak selamanya pesta pernikahan mewah berujung pernikahan langgeng.
Francis dan Mialon (2014) dalam penelitian berjudul ”A Diamond is Forever and Other Fairy Tales: The Relationship between Wedding Expenses and Marriage Duration’ dari Emory University, menemukan bahwa semakin mahal biaya pernikahan dan cincin kawin, semakin pendek usia pernikahan. Penelitian ini didasarkan pada survei oleh 3.151 orang dewasa di Amerika Serikat yang telah menikah.
Kedua peneliti juga membuat kesimpulan bahwa pernikahan yang memakan biaya lebih dari $20 ribu memiliki risiko bercerai 1,6 kali lebih tinggi dari pasangan dengan biaya pernikahan antara $5.000 dan $10.000.
Risiko tersebut semakin rendah ditemukan pada pasangan dengan biaya pernikahan kurang dari $1.000 Kelompok pasangan yang menikah dengan biaya kurang dari $1.000 juga memiliki penurunan risiko stres hingga 82-93 persen dibanding mereka menggelar pesta berbiaya antara $5.000 dan $10.000.
Untuk urusan membeli cincin pernikahan, pasangan yang membelanjakan cincin lebih dari $4.000 memiliki risiko bercerai hingga 1,3 kali lebih besar dibanding kelompok dengan harga cincin di bawahnya. Namun, jangan juga membeli cincin di bawah $1000 karena mereka memiliki risiko perceraian yang sebanding.
Joan Aurelia (2018), dalam artikel berjudul ‘Dua Hal yang Menelan Bujet Terbesar Pesta Pernikahan’ menuliskan bahwa lokasi dan katering menjadi dua faktor yang menelan budget terbesar dalam prosesi pesta pernikahan.
Salah satu perubahan tampak pada pemilihan lokasi. Beberapa tahun belakangan muncul opsi lokasi pernikahan di gedung perkantoran yang menawarkan area semi terbuka dengan pemandangan kota. Lokasi ini makin pas seiring menjamurnya tren fotografi luar ruangan. Beberapa lokasi bagus ini mematok harga terjangkau.
Faktor-faktor pemilihan lokasi ini, juga didasari oleh kepribadian, pengalaman, kebutuhan, citra diri, hingga persepsi yang hendak dimunculkan. Maka tak usah heran jika, misalkan, pasangan orang yang suka mendaki gunung akan memilih lokasi luar ruangan, lengkap dengan foto-foto bertema petualangan.
“Selain lokasi, katering juga mengambil porsi bujet yang besar. Calon pengantin pasti akan dengan hati-hati dalam memilih menu makanan, dan pasti pula mempertimbangkan perihal harga. Makanan hampir selalu dipacak sebagai inti dari sebuah pesta.
Ada banyak anggapan: jika makanan di pesta itu buruk, maka itu adalah pesta yang gagal. Sehingga tak perlu heran kalau bujet untuk katering termasuk salah satu yang terbesar.” Tulis Aurelia.
Mengapa masyarakat rela mengeluarkan dana begitu besar demi prosesi tersebut?
Alasan paling umum adalah sebab status sosial keluarga, gengsi dan beberapa sebab terjebak competitive wedding syndrome, suatu perasaan khawatir secara berlebihan akan kesan tamu undangan.
GERAKAN #NOMARRIAGE SEMAKIN POPULER
Menikah bukan sekedar urusan dana dan konsultasi dengan Wedding Organizer, di tengah persaingan kerja yang semakin kompetitif serta relasi perempuan-pria yang semakin cair di ruang sosial, banyak hal yang menjadi pertimbangan seseorang dalam memutuskan kapan menikah, atau menolaknya sama sekali.
Jihye Lee, seorang kontributor Bloomberg.com (24/07/2019), menuliskan reportase berjudul “The #NoMarriage Movement Is Adding to Korea’s Economic Woes”. Dalam artikelnya, Lee meliput fenomena gerakan #NoMarriage yang salah satunya di inisiasi oleh perempuan bernama Baeck Ha-Na.
Baeck Ha-na bekerja di bidang akuntansi selama seminggu. Pada akhir pekan, dia adalah bintang YouTube di Korea Selatan, mempromosikan gerakan ‘ “live-alone life” ‘ atau “hidup sendirian”.
Baeck, yang saluran YouTube-nya dalam bahasa Inggris disebut “Solo-darity“, keberatan disebut ‘mi-hon’ yang berarti seseorang yang belum menikah. Dia adalah bagian dari kelompok wanita Korea yang tumbuh dan bertekad menolak pernikahan dan menjadi ibu.
Keputusan semacam itu semakin meningkatkan tantangan demografi dan ekonomi bagi pemerintah, karena Korsel kini tengah menghadapi kondisi dimana tingkat kelahirannya terendah di dunia. Korsel juga kekurangan dana pensiun yang semakin sulit untuk ditutup, sebab semakin sedikit tenaga kerja yang bergabung dengan angkatan kerja.
Baeck dan co-host YouTube-nya menyatakan bahwa pendekatan pemerintah saat ini membuat marah banyak wanita. Mereka berpendapat bahwa upaya terbaru untuk meningkatkan angka kelahiran adalah “kasar” dan “membuat frustrasi” karena mereka gagal mengatasi lemahnya perundang-undangan dan hukum untuk memastikan pengembangan karir bagi ibu, juga bagaimana mengurangi beban keuangan dalam membesarkan anak-anak.
Baeck juga adalah anggota EMIF, singkatan dari “Elite tanpa Pernikahan, saya akan Maju,” sebuah jaringan yang dibuat bagi perempuan untuk menjadi tuan rumah diskusi, menghadiri pemutaran film dan mengadakan acara berjejaring.
Kang Han-byul, co-founder grup EMIF, menyatakan:
“Masalah terbesar pemerintah adalah mereka tidak mendengarkan para wanita – subjek sebenarnya yang harus melahirkan anak-anak dan harus membesarkan anak-anak,”.
“Mereka mencoba menjual ide bahwa menjadi sebuah keluarga itu indah, memiliki anak-anak itu indah, namun ada banyak hal tak terucapkan yang sebenarnya terjadi pada wanita itu secara fisik dan mental, itulah sebabnya kebijakan ini membuat kita marah.”
Fenomena serta gerakan semacam ini tengah populer di Korea Selatan, dan tentu memiliki dampak pada aspek sosial ekonomi negara. Lebih lanjut, Lee mengutip Laporan terbaru negara tentang permasalahan populasi ini telah memunculkan ancaman bagi ketersediaan tenaga kerja Korea Selatan.
Selama satu dekade setelah 2017, jumlah orang dalam kisaran usia produktif diperkirakan akan turun 2,5 juta, sementara populasi yang lebih tua akan naik 4,5 juta. Diperkirakan 37,6 juta orang diukur berada dalam angkatan kerja potensial pada 2017. Pada 2067, jumlah itu diperkirakan akan turun lebih dari setengah menjadi 17,8 juta orang, menurut laporan itu.
Selain dampak pada ketenagakerjaan, perubahan demografis dan perubahan perspektif mengenai pernikahan ini juga berdampak luas pada berbagai bidang.
Menurut sebuah laporan kota, lebih dari 20% dari semua ruang pernikahan di Seoul telah ditutup, termasuk dua tempat terbesar di lingkungan yang lebih kaya di Gangnam: Balai Pernikahan Suaviss, dan Pusat Budaya Pernikahan JS Gangnam,
Kantor Pendidikan Seoul mengumumkan awal tahun ini bahwa mereka mengharapkan untuk menutup tiga sekolah dasar dan menengah pada bulan Februari mendatang, sementara sekolah menengah lainnya menutup dan menggabungkan kampusnya dengan sekolah dasar yang juga menghadapi kekurangan siswa.
Di Busan, jumlah siswa sekolah dasar yang terdaftar untuk sekolah turun 26% selama 9 tahun terakhir dari 199.407 siswa pada tahun 2010 menjadi 147.340 siswa pada Maret 2019. Jumlah siswa sekolah menengah turun sebesar 43% sementara siswa sekolah menengah turun sebesar 40%.
MENCARI JALAN KELUAR
Mahalnya biaya pernikahan yang kebanyakan disebabkan oleh faktor gengsi dan status sosial, tentu bukan masalah apabila mampu dikelola dan dipenuhi dengan baik segala tagihannya. Namun, alih-alih melaksanakan suatu pesta (sebentar) yang akan berdampak pada permasalahan keuangan di kemudian hari, tentu ada pilihan yang lebih mudah dan bijak.
Calon pengantin dan orangtua perlu berdiskusi baik-baik mengenai anggaran yang akan di alokasikan, sebab tentu banyak aspek dari gengsi dan status sosial yang bisa ditolerir.
Sementara itu, kemunculan gerakan #NoMarriage mungkin tidak terlalu populer di Indonesia, namun tren kita juga mengarah kesana. Semakin banyak wanita yang membangun karir, memiliki akses informasi dan pendidikan yang lebih luas serta dalam banyak kasus memiliki posisi sosial dan jabatan yang lebih tinggi dari pria.
Tentu ini perlu diantisipasi dengan mengusahakan bagaimana menciptakan suatu posisi keseimbangan baru, dalam hidup keluarga. Alih-alih memaksakan paradigma lama yaitu perempuan sekedar sebagai objek.
Saya banyak berdiskusi dengan kolega perempuan yang memiliki pendidikan tinggi dan karir (kerja kantoran atau bisnis sendiri), mereka memiliki berbagai ekspektasi tertentu terhadap perjalanan karir dan kehidupan rumah tangga mereka. Bukan sekedar menjadi istri dan mengurus anak-anak mereka kelak.
Tentu keseimbangan baru ini bisa dibangun dari berbagai sisi, mulai edukasi pada masyarakat hingga menyusun peraturan perundangan yang memberikan keadilan serta perlindungan bagi perempuan.