Pernikahan itu sunnah rasul. Maksudnya adalah bahwa fitrah manusia untuk mencintai lawan jenisnya, yang di kitab suci digambarkan sebagai ‘memperindah kehidupan’ itu, harus dilembagakan dalam ikatan pernikahan.
Beberapa fenomena yang menjadi masalah di negeri kita hubungannya dengan pernikahan di antaranya: pernikahan di usia terlalu muda, tingginya tingkat perceraian, perdebatan terkait poligami dan terakhir yang sedang ramai tentang perebutan lelaki orang.
Disamping itu semua, ada dua data dan hasil penelitian yang menarik tentang pernikahan. Ya, dalam hubungannya terhadap kebahagiaan dan kinerja seseorang.
Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statsitik merilis hasil survey Indeks Kebahagiaan Indonesia 2017. Salah satu karakteristik yang secara khusus diteliti adalah indeks kebahagiaan berdasarkan status perkawinan.
Hasilnya adalah, penduduk yang belum kawin (atau menikah) cenderung lebih tinggi tingkat kebahagiaannya (71,53), dibandingkan dengan penduduk dengan status perkawinan yang lain.
Status perkawinan ‘yang lain’ adalah: menikah, cerai hidup dan cerai mati.
Selebihnya, dilihat dari subdimensi kepuasan hidup personal, penduduk yang belum menikah memiliki indeks tertinggi (68,36) dibandingkan penduduk dengan status perkawinan yang lain. Penduduk yang belum menikah juga unggul dalam subdimensi makna hidup (eudaimonia).
Sementara memang pada subdimensi kepuasan hidup sosial dan subdimensi perasaan mereka yang sudah menikah lebih unggul daripada yang memiliki status perkawinan yang lain.
Literatur yang ditemukan penulis, mengungkapkan bahwa dalam masyarakat individualis kerja dan keluarga dipandang sebagai independen, bidang yang berbeda yang bersaing untuk sumberdaya yang sama (waktu, upaya dan energi) (Azim et al., 2013).
Ketika tuntutan kerja mengganggu kebutuhan individu untuk melaksanakan tanggungjawab keluarga, maka konflik kerja keluarga terjadi.
Sebaliknya, di masyarakat yang lebih kolektivis, kerja dan keluarga dipersepsikan menjadi domain interdependen; yaitu kerja dilihat sebagai kontribusi untuk keluarga, daripada bersaing dengan keluarga.
Selain itu, menjadi sesuatu yang umum di Indonesia untuk memiliki bantuan domestik dari keluarga atau pembantu rumah tangga yang melaksanakan kegiatan-kegiatan rumah tangga seperti mengasuh anak, memasak dan menjaga rumah.
Praktek-praktek seperti ini, memberikan dukungan pada para pekerja, dengan membebaskan waktu mereka yang akan dialokasikan untuk rumah dan keluarga (Miyoung et al., 2016).
Laki-laki dan perempuan mungkin juga berbeda dalam hal pengalaman konflik pekerjaan dan keluarga. Masyarakat Indonesia masih cenderung mempersepsikan bahwa peran ideal perempuan adalah di rumah.
Sedangkan peran ideal laki-laki adalah sebagai kepala keluarga yang memiliki kuajiban untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga.
Dengan demikian, perempuan yang bekerja di luar rumah lebih rentan mengalami konflik pekerjaan dan keluarga dibanding laki-laki. Sebaliknya, karena peran ideal laki-laki adalah di kantor, maka kegiatan rumah tangga lebih mudah mengganggu peran di domain pekerjaan. Status pernikahan akan menambah kompleksitas perempuan yang bekerja (Al Ahmadi, 2009).
Intinya, sebagaimana hasil penelitian (Jedidah et al., 2014), intervensi positif dan kondisi keluarga yang harmonis penting bagi peningkatan kinerja manusia, di tempat kerjanya.
Temuan ini mengarahkan kita untuk memiliki pandangan bahwa kerja dan keluarga (perkawinan) adalah domain yang interdependen. Dimana waktu, pikiran dan tenaga yang diforsir untuk kerja, juga ujungnya adalah untuk keluarga. Dengan demikian, konflik antara kedua domain tersebut bisa diminimalisir.
Juga, perempuan yang bekerja tentu mengalami beban pikiran dan sosial ditengah masyarakat yang memandang bahwa penghidupan keluarga adalah tanggungjawab lelaki. Dan mungkin berpengaruh pada penurunan tingket kebahagiaannya.
Hasilnya adalah, meskipun kemudian terpaksa harus menikah untuk mengikuti sunnah dan supaya digolongkan sebagai ‘minniy’ atau kaum Nabi atau juga sebab keterpaksaan lain, tidak menjadi penyebab pelakunya mengalami kemerosotan tingkat kebahagiaan hidup dan kinerja buruk dalam pekerjaan.