Penulis: @Luthfiham
Salah satu alasan yang membuat kita (pengguna medsos) betah berlama-lama melototin smartphone tentu keberadaan fitur ‘story’. Ya, hampir semua aplikasi media sosial memiliki fitur andalan ini. Mulai dari Snapchat, Facebook, Instagram sampai ke Whatsapp.
Mengutip dari IDNTimes, ada alasan khusus mengapa Instagram meng-copy Snapchat. Selama ini orang menggunakan Instagram untuk memamerkan foto dan video yang sudah dipoles cantik.
Hal tersebut menjadikan image-nya terlalu glamor dan mengintimidasi banyak pengguna. Oleh karena itu, dengan kehadiran stories diharapkan pengguna bisa lebih spontan dan bisa membagikan keseharian yang sesungguhnya.
CEO Instagram, Kevin Systrom dilansir dari Recode, menyatakan:
“Masalah terbesar yang dialami pengguna Instagram adalah perasaan tertekan untuk membagikan foto yang menakjubkan. Padahal sebenarnya mereka ingin membagikan banyak hal tapi tidak ingin menggantungnya di dinding galeri,” .
Tujuan mulia berupa pengguna yang kurang ‘menakjubkan fotonya’, tidak lagi merasa terintimidasi ini bisa diapresiasi. Walaupun semua tahu, ketika masuk dalam dunia media sosial, apa yang ditampilkan pemilik akun tidak asli karakter atau keseharian mereka.
Banyak artikel menuliskan bahwa dengan keberadaan fitur stories ini, pengguna medsos jadi berkurang produktifitasnya. Tentu sebab sedikit-sedikit sering nge-cek handphone, fear of missing out alias takut ketinggalan hal-hal baru dari orang-orang yang mereka ikuti.
Banyak testimoni pengguna media sosial yang jadi suka menunda-nunda tugas, sebab sulit fokus. Stories menurut mereka membuat terjebak dalam siklus: nonton stories teman, membuat stories, ngecek berapa yang menonton stories-nya, juga membalas berbagai reply yang masuk ke stories mereka.
Sejak jauh hari, media sosial menjebak kita dalam rasa nyaman dan ‘diperhatikan’ berdasarkan jumlah like, respon serta komentar dari teman-teman online kita. Dan bisa jadi, stories memperparah jebakan itu. Semakin banyak yang nge-like, yang menonton stories, memberikan respon dan reply menandakan banyak yang memperhatikan kita.
Stories Whatsapp dan Instagram misalnya, telah jauh berkembang pemanfaatannya. Banyak pengguna yang gak berani mengkritik langsung lawannya, akhirnya bikin tulisan intrik di stories mereka.
Banyak pemuja rahasia, kurang punya mental menyatakan suka ke gebetannya, akhirnya bikin stories-stories berisi berbagai kode rahasia, yang bagi orang yang tidak tahu-menahu dalam pergulatan perasaannya: jadi menebak-nebak. Jadi bertanya-tanya.
Beberapa jenis penggunaan stories yang terkahir, tentu membuat fitur ini ada aspek positifnya.
Selain, hampir semua yang memanfaatkan online marketing bisa dapat ruang yang cocok untuk memajang posting produk terbarunya; mudah dan gratis.
Tampaknya memang tidak ada aturan khusus dalam hal stories. Bagi saya, cukup tidak mengedarkan gambar dan video asusila serta tidak menghina personal secara berlebih. Cukup.
Sampai kapanpun, media selalu punya dua sisi: positif dan negatif.
Selama bisa digunakan menghadirkan konten yang bermanfaat, motivasional, relijius tips dan trik berguna ya bagus.
Walaupun, kebalikannya selalu ada.