Penulis: Luthfi Hamdani
Minggu malam tanggal 15 september, saya hadir dalam acara bertajuk Arisan Kebudayaan yang diselenggarakan komunitas Quantum Litera Center (QLC). Komunitas ini cukup populer di kalangan pegiat literasi Trenggalek. Salah seorang pelopor dan penggeraknya bernama Nurani Soyomukti, merupakan penulis produktif dan cukup dikenal secara nasional.
Malam itu, di pojok jalan Basuki, berturut-turut dilaksanakan acara mulai dari pembacaan puisi, pentas seni musik, aksi teatrikal hingga acara penghujung berupa bedah buku Kumpulan puisi berjudul ‘Timur Daya’.
Agenda semacam ini tentu menarik dan layak diapresiasi. Di tengah rendahnya minat membaca masyarakat kita, muncul berbagai komunitas atau perkumpulan yang mengkampanyekan tradisi ber-literasi; membaca, diskusi dan menulis.
Saya memaknai keberadaan acara rutinan sebulan sekali ini sebagai upaya membangun awareness atau kepekaan publik pada pentingnya literasi, setidaknya pada aspek membaca buku. Tentu membaca buku apa saja.
Selain itu, ada banyak pakar menyatakan bahwa tingkat pemahaman membaca (reading comprehension) kita rendah. Hal ini berkaitan dengan ketidakmampuan kita mengolah teks, memahami maksud dari teks dan memadukan teks yang kita baca dengan pengetahuan yang kita miliki. Kemampuan memahami ini dipengaruhi oleh kecakapan kita dalam mengolah informasi.
Rumusnya sederhana, kalau membaca suatu karya utuh, buku misalnya, jarang dilakukan — susah untuk meningkatkan kemampuan reading comprehenssion. Membaca saja tidak.
Tentu misalnya bagi banyak orang, kendala membaca buku utuh selain bosan adalah ketidakmampuan memahami poin-poin penting dari setiap lembar atau setiap bab kemudian menghadirkan satu pemahaman yang ‘versi kita sendiri’. Banyak yang setelah membaca belum banyak lembar, sudah tidak paham tadi di awal bahas apa, atau apa coba hubungannya dengan lembar yang sekarang dibaca.
Bedah buku tentu memudahkan pembaca memahami apa yang dimau penulis ketika menyusun bukunya, melakukan proses kreatif. Apa latar belakang karya, bagaimana proses kreatif yang penulis jalani, dan apa konklusi serta nilai atau rekomendasi dari hasil karyanya.
Buku kumpulan puisi berjudul ‘Timur Daya’ ini ditulis oleh Ghofiruddin. Penulis asal Trenggalek yang bisa dikategorikan cukup produktif dalam berkarya. Sementara buku puisi ‘Timur Daya’ adalah bagian dari trilogi karyanya yang ia sebut sebagai ‘Trilogi Area 38’. Bagian sebelumnya berjudul ‘Perempuan Sekilas Pandang’ dan ‘Filosofi Semu Area 38’.
Dalam paparannya di sesi bedah buku, Ghofir, begitu ia akrab dipanggil, menjelaskan bahwa buku ini intinya mengulas kembali superioritas serta hegemoni bangsa ‘barat’ terhadap bangsa ‘timur’ di hampir semua aspek. Hegemoni yang oleh Edward Said disebut dengan istilah ‘Orientalisme’
Upaya menggugah dan mengkritik inferioritas kita terhadap ‘barat’ melalui karya sastra tentu cukup unik. Kita tahu misalnya, Indonesia jika dibandingkan dengan berbagai negara di Eropa Barat dan Amerika masih kalah dalam berbagai indeks dan indikator; ekonomi, pendidikan, teknologi. Namun tentu di beberapa bidang yang lain kita masih unggul.
Berikut adalah puisinya berjudul ‘Timur Daya’:
Ada apa dengan timur
Hingga ia dikatakan tenggara
Sementara barat dikatakan daya
Kenapa timur tidak timur daya
Apakah timur selalu penuh gara-gara
Ataukah ia adalah pusat gara-gara
Yang tidak berdaya memanusiakan manusia
Atau menyumbangkan peradaban sentosa
Ada apa dengan teka-teki nama
Apakah ia disandang untuk meracuni
Otak manusia
Manusia barat dikatakan berdaya
Menipumu untuk berkiblat penuh kepadanya
Manusia timur tidak dikatakan berdaya
Mereka dikatakan bodoh dan pembuat gara-gara
Hingga harus selalu membungkuk
Pada tatanan dunia yang memeras seluruh sumber dayanya
Manusia maupun alamnya.
Seharusnya timur adalah timur daya
Seperti halnya barat adalah barat daya
Seharusnya manusia berada dalam satu semesta
Satu penghayatan dalam hidup yang penuh cinta.
(Trenggalek, 5 Agustus 2017)
***
Karena membahas hegemoni dan juga inferioritas, penulis puisi mengulas beberapa topik pula tentang konflik dan orang-orang yang kalah dalam persaingan. Keduanya tentu berkaitan erat dengan superioritas satu dibanding yang lain.
Lalu apakah yang kalah dan inferior harus ditinggal?
Tentu tidak. Mereka perlu dikuatkan, diberi semangat dan disadarkan bahwa ‘posisinya’ saat ini merupakan suatu dampak dari sistem yang berlaku; satu kondisi yang sengaja dibangun oleh orang-orang dan budaya tertentu. Setidaknya mereka sadar; ini bukan sekedar perkara menerima nasib dan sejenisnya.
Tulisan yang baik tentu yang informatif juga mampu menyadarkan pembaca tentang adanya sudut pandang ‘unik’ dalam menyikapi fenomena.
Terakhir, semangat membaca dan semangat berliterasi.
***
NB: Jika berkenan membeli buku karya Ghofiruddin berjudul ‘Timur Daya’ atau karyanya yang lain, bisa menghubungi kontak yang tercantum di menu ‘Toko Buku Imaji’ pada website ini.