Wisata-wisata yang beberapa tahun terakhir banyak hadir di desa-desa dibangun atas prinsip komodifikasi nostalgia alias wisata memori. Potensi wisata misalnya berupa sawah, gunung-gunung, hutan pinus dsb, atau brand ‘Warung nDeso’, warung  ‘Si Mbah’,  Agrowisata dll, hadir memanfaatkan sentimen masyarakat kita akan modernisasi. .

Ya, modernisasi (terutama pada aspek teknologi informasi) yang mendorong orang berlomba dan bersaing sosio-ekonomi di kota-kota. Pun, modernisasi yang punya ekses hilangnya ikatan tradisional, sesama manusia juga antara manusia dengan alam-ekosistem. .

Semakin banyaknya bermunculan ‘wisata memori’ semacam itu, jadi bukti bahwa main ke desa atau ke kebun terbukti bisa mengaktifasi kenangan menyenangkan berupa memori kolektif juga personal tentang berkebun, dimasakkan nenek dengan bumbu rempah asli (bukan sachet-an olahan pabrik), atau kebahagiaan menginjak dan menghirup aroma tanah subur pasca hujan. .

Pemerintah juga cukup baik menebak tren ini. Menurut penuturan seorang teman pengawas dana desa bernama Rifki Zulfikar (24) , kucuran investasi dana desa dari pemerintah pusat itu beberapa persennya (25%) memang harus digunakan ‘mbangun’ inovasi desa: termasuk seringkali berupa wisata alam.