Penulis: Nadzirum Mubin (Aktivis PMII dan pegiat Literasi Malang)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Sunan Ampel Malang pada tanggal 22 September 2019 menyelenggarakan kegiatan Diskursus Mingguan dengan tema “Menguak Konspirasi Dibalik Revisi UU KPK”. Acara ini bertempat di Kesektariatan PMII Komisariat Sunan Ampel.
Diskursus Mingguan merupakan program kerja rutinan setiap minggu untuk mengkaji isu-isu nasional maupun keilmuan fakultatif yang menjadi kebutuhan kader PMII di lingkup UIN Malang. Panitia mengundang narasumber sebagai pembicara sesuai dengan tema yang di diskusikan.
Diskursus Mingguan pada kesempatan kali ini mengundang Bapak Fajar Santosa, SH.,MH sebagai narasumber, beliau merupakan Dosen Hukum Tata Negara di Fakultas Syariah UIN Malang.
Beliau memaparkan pasal per pasal RUU KPK yang ramai dibincangkan publik hari ini. Tentu pro dan kontra terhadap suatu kebijakan merupakan hal yang wajar, antara #TolakRUUKPK dan #MenerimaRUUKPK.
Apalagi membicarakan KPK, lembaga yang hari ini mendapatkan kepercayaan penuh oleh publik untuk memberantas Korupsi di Indonesia. Tercatat dari data Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2018 KPK menangani 454 kasus, dengan jumlah 1.087 tersangka dan kerugian Negara mencapai Rp. 5,6 Triliun.
Pantas jika KPK dijuluki sebagai public hero karena telah mengembalikan uang atas kerugian Negara yang disalahgunakan oleh pejabat-pejabat korup. Sahabat-sahabat tentu sudah paham perjalanan panjang polemik revisi UU KPK yang dimulai sejak era Presiden SBY.
Hingga yang terakhir pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, beliau menyetujui pembahaan RUU KPK melalui surat presiden (Surpres) nomor R-42/Pres/09/2019. Sontak mayoritas publik menolak adanya RUU KPK karena pasal-pasal RUU KPK dianggap melemahkan KPK dalam upaya pemberantaan korupsi, hal terebut dibuktikan dengan Aksi demonstrasi Mahasiswa diberbagai kota.
Berbagai aksi tersebut mendesak Presiden Jokowi untuk tidak menyetujui adanya RUU KPK, terkecuali Pengurus Besar PMII yang mempunyai sikap berbeda yaitu menuntut KPK untuk membersihkan kelompok Taliban yang ada di tubuh KPK. Sebagai kader PMII tentu saya ber husnudzan terhadap PB PMII, meskipun spekulasinya terlalu jauh, sampai terkesan mereka asal punya sikap.
Selain DPR menginisiasi RUU KPK, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR sangat rendah. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengungkapkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada DPR masih menjadi yang terendah diantara lembaga Negara lainnya.
Hasil survei LSI Juli 2018 dari 1.200 responden diseluruh Indonesia hanya 65 persen responden yang percaya kepada DPR (Kompas.com) nilai tersebut jauh dibandingkan dengan KPK yang mendapat urutan kedua setelah TNI, 89 persen jumlah resonden yang percaya kepada lembaga anti korupsi tersebut.
Ketidak percayaan masyarakat dikarenakan banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus korupsi, #MenolakLupa dengan kasus korupsi berjamaah yang menyeret 41 anggota DPR Kota Malang.
Nah, bagaimana mau percaya dengan anggota DPR sebagai penyambung aspirasi rakyat kalau mandat dari rakyat saja disalahgunakan. Dengan adanya RUU KPK, public beranggapan RUU tersebut adalah manuver DPR untuk melemahkan KPK dan melenggangkan kebiasaan mereka untuk korupsi.
Dari sini dapat disimpulkan kelompok yang pro terhadap tagar #MenerimaRUUKPK pastinya dari DPR karena yang menginisasi RUU dan Presiden Jokowi sebagai respresentatif pemerintah menyetujui adanya revisi.
Sedangkan kelompok yang #TolakRUUKPK jelas berangkat dari kalangan aktifis pegiat anti korupsi dan Mahasiswa yang berdemonstrasi. Terlepas dari kepentingan elite politik, kedua kelompok yang berseteru menyikapi RUU KPK memiliki tujuan yang sama untuk memperkuat lembaga KPK, akan tetapi dalih dan dalil yang disampaikan berbeda dan tentu melewati proses dialektika yang panjang dan dikaji secara objektif.
Pasal-pasal RUU KPK antara lain; Pasal 46: Penetapan tersangka oleh KPK berdasarkan ketentuan hukum pidana. Pasal 1: KPK jadi lembaga pemerintah, pegawai berstatus ASN. Pasal 37: Kewenangan dewan pengawas KPK- Dewan pengawas diangkat dan ditetapkan oleh Presiden. Pasal 45: Penyidik KPK hanya boleh dari kepolisian, kejaksaan dan penyidik PNS. Pasal 40: KPK berwenang menghentikan SP3 (penghentian perkara) untuk kasus yang tidak selesai dalam 2 tahun.
Pak Fajar yang juga sebagai Komisioner KPU Kota Malang 2014-2019 menjelaskan mengenai sejarah dibentuknya KPK dan posisi struktural KPK dalam Negara, beliau sepakat dengan adanya RUU KPK jika ditinjau secara konstitusi akan tetapi perlu catatan seperti contoh: Dewan pengawas ada dalam tubuh KPK, menurutnya KPK adalah lembaga superbody sehingga dewan pengawas perlu untuk mengawasi segala kegiatannya, ditakutkan nanti ada abuse of power.
Beliau menambahkan bahwa yang dimaksud lembaga KPK sebagai lembaga independent dalam hal penyidikan bukan lembaganya yang independent, dewan pengawas tidak berhak untuk mengintervensi penyidik bahkan Presiden sekalipun.
“KPK itu mendapat APBN dari Negara yang disahkan DPR, yang menyeleksi Capim juga DPR masak ndak mau diawasi oleh Negara?” imbuh beliau di akhir diskusi.
Yang disayangkan oleh beliau adalah DPR terlihat tergesa-tega untuk merevisi RUU KPK yang dibahas dengan interval waktu yang singkat tanpa melibatkan unsur pimpinan KPK juga dianggap termasuk mengabaikan aspirasi rakyat.
*****
“DPR bukan berarti anda terpilih menjadi anggota dewan bisa semenan-mena dan acuh terhadap aspirasi rakyat, anda mendapatkan mandat dari rakyat untuk menyambung aspirasi bukan untuk korupsi uang kami”