Kondisi pendidikan di Indonesia meskipun sudah melalui banyak perbaikan lewat kebijakan (policy) pemerintah, berupa penyesuaian kurikulum dan anggaran pendidikan dalam  APBN, masih saja ditemui banyak kekurangan. Misalnya dari segi sarana-prasarana, akses pendidikan dan biaya-biaya tambahan yang mahal, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan kualitas dan kuantitas guru yang rendah dan rendahnya prestasi siswa. Belum lagi rendahnya kesadaran peserta didik terhadap lingkungan sosial dan ekologisnya. Idealnya dengan peningkatan anggaran yang sedemikian besar, bisa mengatasi banyak problematika yang selama ini jadi keluhan dalam dunia pendidikan kita. Namun realita di lapangan masih saja ada sekolah yang tidak layak bahkan bangunannya hampir roboh, demonstrasi guru-guru sebab merasa di diskriminasi kepastian status dan gaji[1], pelajar yang putus sekolah sebab tuntutan penghidupan dan biaya sekolah tidak terjangkau, belum lagi ditambah tingkat pengangguran kita yang tinggi. Menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2016 ditemukan 50 juta orang atau hampir 40% angkatan kerja Indonesia (di atas 15 tahun) hanya menamatkan SD. 21 juta orang hanya menamatkan SMP. Dan hanya 11,1 juta yang menamatkan bangku kuliah. Secara keseluruhan, berdasar data BPS, 60% dari lulusan SD tidak bisa melanjutkan ke SMP.[2] Hal ini sebab biaya, kurang ruang kelas dan guru. Disisi lain, kondisi demografis penduduk Indonesia tengah berubah. Hal ini disebabkan perkembangan teknologi, kemudahan akses informasi dan pergaulan yang semakin global, yang bisa di artikan melampaui batas-batas teritori serta budaya dari satu negara. Maka dalam teori generasi muncul istilah generasi milenial. Secara umum, siswa maupun mahasiswa yang saat ini masih menempuh studi adalah mereka yang termasuk generasi milenial atau generasi Y. Merujuk artikel Aulia Adam dalam Tirto.id (2017) diungkapkan bahwa Generasi Milenial, yang juga punya nama lain Generasi Y, adalah kelompok manusia yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1999. Mereka disebut milenial karena satu-satunya generasi yang pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi pertama kali dikenalkan. Karakteristik dari generasi ini menurut laporan Alvara Research Center (Februari 2017) disingkat menjadi 3C, yaitu: Creative (biasa berpikir out of the box, kaya ide dan gagasan), Confidence (percaya diri dan berani mengungkapkan pendapat tanpa ragu) dan Connected (pandai bersosialisasi dan pengguna aktif internet).[3] Sehingga, dari fenomena diatas, dua tantangan utama pendidikan kita memasuki abad 21 adalah: pertama, belum meratanya akses terhadap pendidikan sebab kesenjangan sosial-ekonomi. Kedua, Ketidakmampuan pendidikan melahirkan manusia Indonesia yang punya daya kritis, berani berinovasi dan tanggap terhadap kondisi zaman dimana mereka berada. Menurut hemat penulis, salah satu inspirasi atau solusi alternatif yang bisa digunakan adalah paradigm, teori pendidikan ala Paulo Freire. Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kecilnya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929.[4] Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Freire terkenal dengan gagasan pendidikan alternatifnya, yang memiliki inti pada proses penyadaran, pembebasan dan perbaikan kondisi mereka yang lemah atau marginal.

Kritik dan Pemikiran Pendidikan Paulo Freire

Masyarakat feodal-hirarkis merupakan struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin ketika Freireb hidup. Kondisi yang masih jamak ditemui di Indoenesia saat ini. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas atau mereka yang mampu secara ekonomi dan sosial menjadi penindas masyarakat bawah dengan kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, sehingga menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu. Juga menghilangkan daya kritis, inovasi dan kesadaran atas lingkungan dari mereka yang tertindas.

Secara umum, pola pendidikan kita juga masih mirip dengan model yang oleh Freire dianggap sebagai pendidikan ‘gaya bank’.

Pendidikan ‘gaya bank’ dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu.

Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan ‘gaya bank’ itu yaitu:

Pertama, Guru mengajar, murid belajar.

Kedua, Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.

Ketiga, Guru berfikir, murid difikirkan.

Keempat, Guru bicara, murid mendengarkan.

Kelima, Guru mengatur, murid diatur.

Keenam, Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti.

Ketujuh, Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.

Kedelapan, Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.

Kesembilan, Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.

Kesepuluh, Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.[5]

Suatu kondisi dan model pendidikan yang dikritsi oleh Freire. Sehingga Freire menawarkan model pendidikan hadap masalah. Anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu pula sang guru. Jadi keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya-pun menjadi subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Obyek mereka, adalah realita sosial dan lingkungan.[6] Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat intersubyektif untuk memahami suatu obyek bersama. Secara sekilas pendidikan ini menawarkan model dimana guru dan murid sama-sama belajar demi merumuskan dan memecahkan permasalahan yang mereka hadapi. Tak ada yang merasa lebih tahu, guru bisa menjadi murid, murid bisa menjadi guru. Dengan kata lain: semua orang itu guru.

Relevansi dan Solusi Pendidikan Indonesia Abad 21

Gagasan dan konsep pendidikan Paulo Freire menjadi solusi yang relevan guna mengatasi problem pendidikan kita di abad 21 setidaknya sebab dua alasan: pertama, Akses pendidikan kita yang masih belum bisa dinikmati semua kalangan masyarakat. Data BPS tahun 2016 bahwa 60% dari lulusan SD tidak bisa melanjutkan ke SMP menunjukkan bagaimana masih banyak generasi masa depan bangsa yang terpaksa berhenti mendapat pendidikan sebab faktor sosial dan ekonomi. Perhatian khusus Freire secara pemikiran maupun aksi langsung terhadap kelompok marjinal yaitu mereka yang tinggal di perkampungan kumuh di Chili dan Brasil[7], kelompok petani[8] atau buruh tani lebih tepatnya dan kelompok marginal lain dalam struktur masayarakat, menunjukkan bahwa merekalah subyek pendidikan yang perlu medapat perhatian dan fasilitas khusus. Kesadaran bahwa masih banyak kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya mampu mengakses pendidikan bisa menjadi motivasi bagi pemerintah guna memberikan perhaian lebih lewat strategi juga kebijakan mereka, maupun bagi pihak swasta yang secara swadaya terjun langsung terlibat dalam proses pendidikan bagi ‘kelompok marjinal’ tersebut. Pemerataan pendidikan ini  menjadi penting sebab semakin timpang akses pengetahuan dan pendidikan negara kita maka akan semakin melanggengkan ‘budaya bisu’, mendorong mereka yang ‘lebih berpendidikan’ untuk mengeksploitasi yang lemah, serta semakin jauh dari harapan bangsa kita untuk mewujudkan keadilan sosial. Kedua, Kondisi persaingan bisnis serta teknologi yang sedemikian cepat berkembang di abad 21. Hal ini selain memunculkan kemajuan juga menghadirkan pragmatisme berupa tindakan koruptif, kerusakan lingkungan hidup sebab eksploitasi yang berlebihan dan gaya hidup konsumeris dalam masyarakat. Perkembangan abad 21 tersebut mengharuskan pendidikan kita untuk melahirkan manusia Indonesia yang kreatif dan mampu memunculkan inovasi dengan nilai tambah tinggi dalam mengelola kekayaan sumberdaya alam (bukan hanya mengeksploitasinya), menyikapi perkembangan teknologi secara positif dan kritis, mampu menangkap fenomena ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan serta berani menyampaikan argumentasinya secara terbuka. Juga mampu menghapus diskriminasi sebab faktor gender, suku, agama, ras dan antargolongan dalam kehidupan sosial. Karakteristik ideal manusia Indonesia seperti ini, selain didukung oleh karakter demografis pelajar kita yang tergolong generasi milenial dengan segala kelebihannya, bisa muncul jika dalam proses pendidikan sudah di-biasa-kan. Dalam istilah Freire, dengan: melakukan proses dialogis-dialektis, secara kritis sadar akan peran dirinya sebagai manusia, terbiasa mengekspresikan diri dan terus berkreasi[9], dan secara praktik terbiasa memahami pertentangan-pertentangan sosial dan ekonomi serta melawan unsur-unsur ketidakadilan dalam situasi tersebut.[10] Tentu saja banyak aspek lagi yang bisa menjadi contoh konsep pendidikan ideal dari Paulo Freire. Misalnya secara teknis dalam penggunaan bahasa, peran pekerja sosial, proses koinsistensi dan sebagainya. Tapi bagaimanapun, pendidikan kita kedepan menghadapi abad 21 harus lebih mengutamakan proses humanis atau ‘memanusiakan manusia’ sebagaimana pembahasan diatas. DAFTAR PUSTAKA Alvara Research Center. (2017). The Urban Middle Class Indonesia: Financial and Online Behaviour. Jakarta Data survey BPS, 2016 Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan, Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. http://regional.kompas.com/read/2017/11/20/22300041/digaji-rp-150.000-ratusan-guru-honorer-demo-tuntut-upah-yang-layak. (diakses 17 Desember 2017) [1] Kompas.com. 2017. Digaji Rp.150.000, Ratusan Guru Honorer Demo Tuntut Upah yang Layak. [2] Data survey BPS, 2016 [3] Alvara Research Center. (2017). The Urban Middle Class Indonesia: Financial and Online Behaviour. Jakarta [4] Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan, Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Hal. xx [5] Ibid, hal xi [6] Ibid, hal 104 [7] Ibid, hal. vi [8] Ibid, hal. 107 [9] Ibid, hal 95 [10] Ibid, hal xxiv