Kritik dan Pemikiran Pendidikan Paulo Freire
Masyarakat feodal-hirarkis merupakan struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin ketika Freireb hidup. Kondisi yang masih jamak ditemui di Indoenesia saat ini. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas atau mereka yang mampu secara ekonomi dan sosial menjadi penindas masyarakat bawah dengan kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, sehingga menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu. Juga menghilangkan daya kritis, inovasi dan kesadaran atas lingkungan dari mereka yang tertindas.Secara umum, pola pendidikan kita juga masih mirip dengan model yang oleh Freire dianggap sebagai pendidikan ‘gaya bank’.
Pendidikan ‘gaya bank’ dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu.
Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan ‘gaya bank’ itu yaitu:
Pertama, Guru mengajar, murid belajar.
Kedua, Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.
Ketiga, Guru berfikir, murid difikirkan.
Keempat, Guru bicara, murid mendengarkan.
Kelima, Guru mengatur, murid diatur.
Keenam, Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti.
Ketujuh, Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
Kedelapan, Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
Kesembilan, Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
Kesepuluh, Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.[5]
Suatu kondisi dan model pendidikan yang dikritsi oleh Freire. Sehingga Freire menawarkan model pendidikan hadap masalah. Anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu pula sang guru. Jadi keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya-pun menjadi subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Obyek mereka, adalah realita sosial dan lingkungan.[6] Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat intersubyektif untuk memahami suatu obyek bersama. Secara sekilas pendidikan ini menawarkan model dimana guru dan murid sama-sama belajar demi merumuskan dan memecahkan permasalahan yang mereka hadapi. Tak ada yang merasa lebih tahu, guru bisa menjadi murid, murid bisa menjadi guru. Dengan kata lain: semua orang itu guru.Relevansi dan Solusi Pendidikan Indonesia Abad 21
Gagasan dan konsep pendidikan Paulo Freire menjadi solusi yang relevan guna mengatasi problem pendidikan kita di abad 21 setidaknya sebab dua alasan: pertama, Akses pendidikan kita yang masih belum bisa dinikmati semua kalangan masyarakat. Data BPS tahun 2016 bahwa 60% dari lulusan SD tidak bisa melanjutkan ke SMP menunjukkan bagaimana masih banyak generasi masa depan bangsa yang terpaksa berhenti mendapat pendidikan sebab faktor sosial dan ekonomi. Perhatian khusus Freire secara pemikiran maupun aksi langsung terhadap kelompok marjinal yaitu mereka yang tinggal di perkampungan kumuh di Chili dan Brasil[7], kelompok petani[8] atau buruh tani lebih tepatnya dan kelompok marginal lain dalam struktur masayarakat, menunjukkan bahwa merekalah subyek pendidikan yang perlu medapat perhatian dan fasilitas khusus. Kesadaran bahwa masih banyak kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya mampu mengakses pendidikan bisa menjadi motivasi bagi pemerintah guna memberikan perhaian lebih lewat strategi juga kebijakan mereka, maupun bagi pihak swasta yang secara swadaya terjun langsung terlibat dalam proses pendidikan bagi ‘kelompok marjinal’ tersebut. Pemerataan pendidikan ini menjadi penting sebab semakin timpang akses pengetahuan dan pendidikan negara kita maka akan semakin melanggengkan ‘budaya bisu’, mendorong mereka yang ‘lebih berpendidikan’ untuk mengeksploitasi yang lemah, serta semakin jauh dari harapan bangsa kita untuk mewujudkan keadilan sosial. Kedua, Kondisi persaingan bisnis serta teknologi yang sedemikian cepat berkembang di abad 21. Hal ini selain memunculkan kemajuan juga menghadirkan pragmatisme berupa tindakan koruptif, kerusakan lingkungan hidup sebab eksploitasi yang berlebihan dan gaya hidup konsumeris dalam masyarakat. Perkembangan abad 21 tersebut mengharuskan pendidikan kita untuk melahirkan manusia Indonesia yang kreatif dan mampu memunculkan inovasi dengan nilai tambah tinggi dalam mengelola kekayaan sumberdaya alam (bukan hanya mengeksploitasinya), menyikapi perkembangan teknologi secara positif dan kritis, mampu menangkap fenomena ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan serta berani menyampaikan argumentasinya secara terbuka. Juga mampu menghapus diskriminasi sebab faktor gender, suku, agama, ras dan antargolongan dalam kehidupan sosial. Karakteristik ideal manusia Indonesia seperti ini, selain didukung oleh karakter demografis pelajar kita yang tergolong generasi milenial dengan segala kelebihannya, bisa muncul jika dalam proses pendidikan sudah di-biasa-kan. Dalam istilah Freire, dengan: melakukan proses dialogis-dialektis, secara kritis sadar akan peran dirinya sebagai manusia, terbiasa mengekspresikan diri dan terus berkreasi[9], dan secara praktik terbiasa memahami pertentangan-pertentangan sosial dan ekonomi serta melawan unsur-unsur ketidakadilan dalam situasi tersebut.[10] Tentu saja banyak aspek lagi yang bisa menjadi contoh konsep pendidikan ideal dari Paulo Freire. Misalnya secara teknis dalam penggunaan bahasa, peran pekerja sosial, proses koinsistensi dan sebagainya. Tapi bagaimanapun, pendidikan kita kedepan menghadapi abad 21 harus lebih mengutamakan proses humanis atau ‘memanusiakan manusia’ sebagaimana pembahasan diatas. DAFTAR PUSTAKA Alvara Research Center. (2017). The Urban Middle Class Indonesia: Financial and Online Behaviour. Jakarta Data survey BPS, 2016 Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan, Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. http://regional.kompas.com/read/2017/11/20/22300041/digaji-rp-150.000-ratusan-guru-honorer-demo-tuntut-upah-yang-layak. (diakses 17 Desember 2017) [1] Kompas.com. 2017. Digaji Rp.150.000, Ratusan Guru Honorer Demo Tuntut Upah yang Layak. [2] Data survey BPS, 2016 [3] Alvara Research Center. (2017). The Urban Middle Class Indonesia: Financial and Online Behaviour. Jakarta [4] Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan, Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Hal. xx [5] Ibid, hal xi [6] Ibid, hal 104 [7] Ibid, hal. vi [8] Ibid, hal. 107 [9] Ibid, hal 95 [10] Ibid, hal xxiv