Berita palsu, ujaran kebencian dan hasutan sedang meningkat jumlahnya, sehingga kita perlu metode-metode baru untuk mengatasinya. Data Kementerian Komunikasi dan Informasi, terdapat sekitar 800 ribu situs yang memproduksi berita hoax di internet.

Sedangkan menurut data subdirektorat Cyber Crime Polda Metro Jaya, saat ini sedikitnya terdapat sekitar 300 konten media sosial menyebarkan berita hoax. Konten-konten hoax tersebut kebanyakan diproduksi oleh para buzzer politik yang tidak jarang menggunakan nama-nama menyerupai media yang terverifikasi.

Mencontoh senat atau lembaga legislatif Australia, dimana saat ini mereka tengah melakukan persidangan dan mulai mempertimbangkan pendekatan dua arah untuk memberantas masalah ini. Yaitu penerapan hukuman finansial bagi perusahaan media dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) guna melacak dan menangkal ujaaran kebencian dan beritab palsu.

Secara umum, ada beberapa cara yang bisa dilakukan, oleh berbagai pihak tentunya, yaitu:

Pertama, penerapan hukuman finansial bagi perusahaan media sosial.

Dalam hal ini, kita bisa mencontoh pemerintah Jerman. Mereka menerapkan hukuman finansial pada perusahaan media sosial utama jika mereka gagal mengurangi volume konten kekerasan di platform mereka.

Perundang-undangan baru yang baru saja diperkenalkan di Jerman mengharuskan perusahaan menghapus kasus ujaran kebencian dalam waktu 24 jam.

Sebagai tanggapan, Facebook telah mempekerjakan 1.200 staf dan kontraktor untuk lebih efektif memproses laporan pelecehan oleh pengguna Facebook di Jerman. Jika perusahaan gagal menghapus sebagian besar konten tersebut dalam batas 24 jam, regulator dapat mengenakan denda hingga € 50 juta (A $ 79 juta).

Undang-undang ini tidak sempurna, dimana dalam beberapa bulan setelah mulai berlaku, Jerman telah mempertimbangkan perubahan untuk mencegah kewaspadaan berlebihan oleh perusahaan media sosial, yang dikhawatirkan memiliki efek mengerikan terhadap kebebasan berbicara.

Tapi pendekatan Jerman memberi kita sebuah gambaran bagaimana respon negara yang kuat terhadap penindakan penyalahgunaan di dunia maya.

Kedua, penggunaan kecerdasan buatan (artificial Intelligence/ AI)  sebagai pendukung regulasi.

Pemerintah harus mengembangkan cara untuk mengidentifikasi dan mengukur jumlah konten kekerasan yang diposting dan disebarkan untuk memastikan bahwa perusahaan mematuhi regulasi pertama.

Andre Oboler, seorang ahli cyber-security dari Universitas La Trobe, tengah mengembangkan kecerdasan buatan bernama Online Hate Prevention Institute (OHPI).

Mereka telah menghabiskan enam tahun terakhir menangani kasus-kasus tertentu termasuk kasus Bornstein’s, seorang pengacara Australia Josh Bornstein adalah korban penyalahgunaan online oleh  seorang pria Amerika Serikat, yang menyamar sebagai Bornstein dan menerbitkan artikel rasis secara online atas namanya.

Oboler menyatakan telah mengerjakan masalah pengukuran yang sangat rumit menggunakan pendekatan kecerdasan buatan. Hal ini guna mengidentifikasi dan melakukan pengukuran otomatis sebagai langkah menangkal hoax dan ujaran kebencian.

Disisi lain, Sistem Monitoring Cyber ​​Antisemitisme (ACMS)~~ suatu alat baru untuk memantau antisemitisme di media sosial~~ telah dikembangkan oleh Kementerian Urusan Diaspora Israel sejak Oktober 2016. Sistem ini akan diluncurkan pada Global Forum 2018 untuk memerangi Antisemitisme di Yerusalem akhir bulan ini.

ACMS ini menggunakan analisis teks – sebuah bentuk kecerdasan buatan – dan bekerja dengan mencari situs media sosial yang berisi kata-kata, ungkapan dan simbol yang telah diidentifikasi sebagai indikator kemungkinan kandungan antisemik. Alat ini kemudian mengulas konten dan menghasilkan grafik interaktif.

Sementara itu, keterbatasan ACMS dan penggunaan kecerdasan buatan lain adalah belum mampu mendeteksi penyalahgunaan yang menggunakan bahasa kode, simbol, dan eufemisme yang semakin disukai.

Selain itu, ACMS hanya mampu memonitor konten dari Facebook dan Twitter. YouTube, yang menyumbang 41% antisemitisme (dan tentunya ujaran kebencian) online tidak disertakan. Sistem otomatis juga hanya memonitor konten dalam bahasa Inggris, Arab, Perancis dan Jerman.

Ketiga, mengajak masyarakat membaca buku.

Kepala Editor Trans Media Titin Rosmasari, dalam laporan di Tirto.id mengungkapkan bahwa rendahnya budaya literasi Indonesia menjadi salah satu faktor masyarakat mempercayai hoax atau berita palsu.

“Hoax juga marak karena budaya baca menurun dan masyarakatnya aktif memegang gawai,”

Tentang seberapa efektif banyaknya buku yang dibaca terhadap pengurangan hoax dan ujaran kebencian, memang perlu dikaji lagi.

Tapi setidaknya masyarakat yang memiliki banyak referensi akan tahu mana yang benar mana yang merupakan berita bohong. Juga memiliki pemikiran yang lebih terbuka, serta tidak mudah membenci mereka yang beda pendapat.

Keempat, mengkampanyekan kehati-hatian dan etika dalam bermain media sosial.

Ulasan menarik disampaikan oleh Afiq Zahara di situs nu.or.id, dia mengajak supaya dalam memahami berita, umat Islam seharusnya mengacu pada ilmu musthalah al-hadîts. Yaitu untuk tidak mudah mengambil kesimpulan dan harus melakukan kroscek kritis dari mulai sumber berita, siapa yang memberitakannya sampai proses pengikisan penambahan berita bohong yang menyertainya.

Imam al-Syâfi’i dalam al-Risâlah menyebutnya sebagai al-kadzib al-khafi (kebohongan yang halus), yaitu “dzalika al-hadîts ‘an man lâ yu’rafu sidquhu—menyebarkan hadits dari orang yang tidak diketahui kejujurannya.” (Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’i, al-Risâlah, hlm 401).

Artinya, sebelum benar-benar mengetahui kejujuran orang yang memberitakannya secara langsung dan meneliti secara kritis sumber berita tersebut, kita sebaiknya menahan diri untuk menyebarkannya. Jika berita itu benar, kita tidak mendapatkan dosa. Jika berita itu bohong, kita telah turut serta dalam menyebarkan fitnah.

Kelima, melarang penggunaan media sosial.

Karakter media sosial yang bebas telah mengantar penggunanya sampai pada penguatan gejala Preferensi-per-orang (PPO), istilah yang sering disampaikan dan sering dikritisi oleh budayawan ternama, Radhar Panca Dahana. 

Media sosial yang kemudian menjelma menjadi wadah yang sempurna pembebasan manusia dari segala penjara nilai, norma atau etika yang dibentuk oleh adat, agama, hokum dan sebagainya.

Pelarangan penggunaan media sosial bagi mereka yang belum cukup umur tentu jadi salah satu opsi bagus. Pelarangan tersebut menurut hemat penulis, tentu terlalu rumit jika dijadikan hukum pidana dan sebagainya, setidaknya orangtua bisa membatasi penggunaan dan akses media sosial bagi anak-anak yang alam pikirannya masih berada pada internalisasi nilai-nilai keluhuran, kebhinekaan dan sebagainya.

Maka mereka jika dirasa sudah cukup dewasa, baru kemudian diizinkan mengakses secara bebas media sosial dan terutama piranti teknologi komunikasi.

Keenam, tidak membeli perangkat teknologi.

Ini metode yang paling mudah, adanya ujaran kebencian online dan berita palsu sebab adanya perangkat teknologi, smartphone dan komputer.

Kalau masyarakat tidak punya perangkat tersebut, cukuplah seperti dulu ujaran kebencian, gunjingan dan permusuhan tersebar lewat ‘bisik-bisik tetangga’. hehehe