Ivan de Luce, seorang kontributor BusinessInsider, menuliskan reportase berjudul “The Average American Family is Spending more on Student loans than fuel or healthcare”. Dalam artikelnya, de Luce mengutip laporan JPMorgan Chase Institute, yang menemukan bahwa:

Rata-rata keluarga Amerika membelanjakan lebih banyak uang untuk pembayaran biaya pendidikan sekolah daripada pada bahan bakar atau perawatan kesehatan, Laporan tersebut juga menemukan bahwa biaya pendidikan seorang pelajar secara tidak proporsional mempengaruhi keluarga berpenghasilan rendah.

Diana Farrell, presiden dan CEO lembaga think tank, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa ia berharap temuan mengejutkan ini akan membuat para pembuat kebijakan untuk menemukan solusi bagi krisis biaya pendidikan pelajar.

“Dengan memahami hubungan antara pembayaran biaya pendidikan siswa dan berbagai pengeluaran keuangan lainnya, kami berharap dapat memberikan informasi berharga kepada pembuat kebijakan, pemberi pinjaman keuangan, dan pemangku kepentingan lainnya yang dapat membantu membentuk kebijakan untuk meringankan beban ini untuk keluarga Amerika,” kata Farrell.

Di Indonesia, sebuah simulasi kenaikan biaya kuliah per semester yang disusun oleh asuransi Jiwasraya menunjukkan, bahwa prosentase kenaikan biaya kuliah pertahun mencapai 15%, sementara itu perkiraan kenaikan gaji pertahun hanya pada kisaran 7%.

Dalam simulasinya, biaya pendidikan tinggi tersebut belum mencakup biaya tinggal, jajan dan kebutuhan pelengkap lainnya. (lihat gambar)

Kondisi semacam ini tentu menjadi ancaman, bagi calon mahasiswa apalagi bagi orangtuanya (jika dibiayai orang tua)

Sebuah perhitungan lain, yang saya temukan di internet, menunjukkan bagaimana perkiraan biaya kuliah dalam beberapa tahun yang akan datang. (lihat gambar)

 

PERSPEKTIF PERENCANAAN KEUANGAN

Menjadi mahasiswa tentu disertai dengan berbagai ekspektasi berupa peningkatan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki, yang nantinya akan mengantar pada karir dan penghasilan yang lebih baik ketika telah lulus.

Namun Kristin Wong, dalam artikelnya di situs web Medium.com, berjudul ‘The New Rules of Personal Finance’ menganggap bahwa aturan lama yang menyatakan: tagihan pinjaman pelajar selalu dianggap ‘utang baik.’, perlu untuk di evaluasi kembali.

Para ahli keuangan menyatakan bahwa ada utang baik dan utang buruk, dan yang dimaksud ‘utang baik’ adalah investasi. Memang benar bahwa gelar sarjana pada umumnya akan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada ijazah sekolah menengah saja.

Mitos tersebut telah begitu mengakar, sehingga setiap orang menganggap bahwa semua tindakan melakukan  pinjaman keuangan untuk membiayai pendidikan tinggi adalah ‘utang baik’. Sehingga ada kecenderungan menjadi tidak bijaksana menimbang biaya dan manfaat dari program gelar,”

Pada kenyataannya, hutang yang datang sebab pendidikan tinggi tidak selalu merupakan hal yang baik untuk dilakukan.

Wong (2019) mengajukan sebuah perspektif baru: Hitung Return on Investment (ROI) gelar Anda.!!

Dengan meningkatnya biaya pendidikan, siswa (mahasiswa) saat ini harus berpikir lebih lama dan lebih keras tentang pengembalian investasi dari gelar mereka.

“Ada banyak alasan praktis untuk memikirkan kembali apa yang sekarang sering menjadi investasi anda,” kata DePaul, CEO dari Founders Marketing (dalam Wong, 2019)

“Lanskap pendidikan saat ini berkembang jauh dari bentuk tradisionalnya. Berbagai gelar elit yang pernah memuncaki kesuksesan di bidang tertentu sekarang harus bersaing dengan berbagai alternatif baru seperti program online yang dapat mengajarkan Anda berbagai keterampilan khusus.

Meskipun jenis pendidikan ini belum menggantikan gelar sarjana yang umumnya diraih selama empat tahun, tetapi memang benar bahwa banyak perusahaan besar seperti Google dan Apple mengabaikan gelar sarjana sebagai persyaratan standar untuk suatu pekerjaan.

Lalu benar pula bahwa nilai dari selembar ijazah perguruan tinggi tetap meningkat selama beberapa tahun terakhir; sementara kesenjangan upah antara lulusan sekolah menengah dan lulusan perguruan tinggi masih signifikan. Namun  menurut de Paul, kesenjangan ini tidak akan bertahan lama, sebagaimana yang terjadi selama beberapa dekade terakhir.

Ini bukan berarti menyarankan Anda untuk tidak harus mengejar pendidikan perguruan tinggi terkenal atau pergi ke sekolah pascasarjana.

Tapi mulailah mengkalkulaasi ulang angka-angkanya, dan terbukalah untuk berbagai jalur lain.

Wong juga mengutip Josh Kaufman, penulis The Personal MBA, menyatakan: “Mengambil pinjaman untuk membiayai dan memperoleh gelar dengan tujuan menjadi orang sukses, ternyata lebih sulit daripada yang dibayangkan.”

Kaufman menyarankan alternatif yang masuk akal:

Pertimbangkan apakah industri yang Anda rencanakan untuk masuki kelak lebih peduli tentang keterampilan dan pengalaman dibandingkan dengan sekedar ‘gelar sarjana’ perguruan tinggi.

Juga, pertimbangkan tingginya biaya perguruan swasta ternama dibandingkan perguruan tinggi negeri atau komunitas (yang mungkin jauh lebih murah).

Lihatlah situs web sekolah atau kampus untuk mengetahui tingkat penempatan pekerjaannya: Berapa banyak lulusan yang mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah, dan berapa gaji mereka?

Dan tentu saja, jika Anda pergi kuliah hanya dengan rencana untuk sekedar “menemukan jati diri” atau beristirahat sejenak dari menjadi tenaga kerja, pikirkan dua kali terkait label harga yang menyertainya.

Kondisi ini memang sangat disayangkan. Siswa hari ini harus lebih memikirkan uang.