Dalam suatu agenda organisasi, penulis sempat berkomunkasi dengan anggota legislatif, DPRD Kota Semarang. Dalam forum semi-formal, penulis dengan beberapa teman dan beliau membicarakan berbagai hal tentang wawasan kebangsaan.
Narasi kita masih sama, tentang kekayaan Indonesia yang luar biasa, tentang kepemilikan-kekuasaan atas 50 persen kekayaan yang hanya dimiliki oleh 1 persen dari jumlah penduduk, peran sentral NU dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, dan pengaruh revolusi industri pada kehidupan masyarakat.
Bukan proses yang mudah bagi beliau membangun karir politiknya. Tapi, pengalama menjadi aktifis di kampus dan jaringan yang telah cukup lama dibangun mampu jadi bekal masuk ke dunia politik yang sesungguhnya.
Apalagi berangkat dari keluarga yang tidak memiliki latar belakang politik, tidak seperti Agus Yudhoyono misalnya.
Dia mendapat akses yang luar biasa setelah beberapa tahun lalu memutuskan berhenti dari militer. Bahkan sekarang di gadang-gadang menempati posisi yang cukup prestisius, calon wakil presiden.
Salah seorang peserta forum bertanya:
“Apa tantangan utama dunia politik kita saat ini?”
“Salah satunya yaa mulai kuatnya pengaruh konglomerat media membangun partai baru. Mereka sudah menguasai sangat banyak kekayaan negeri ini, ingin mendapat ruang yang lebih besar lagi dengan terjun langsung ke dunia politik. Diakui atau tidak, tentu ada keinginan untuk mengamankan regulasi sesuai pengembangan kekayaan mereka.”
“Selain itu?”
“Hilangnya batas antar negara juga menjadi tantangan tersendiri bagi dunia politik kita. Beberapa hari terakhir, kita bisa mengamati munculnya tuduhan bahwa pemerintah Rusia ikut campur dalam pemenangan presiden Trump, di Amerika Serikat. Cukup dengan menggunakan teknologi internet.
Ini yang kita perlu awasi, bagaimanapun kejadian serupa bisa saja terjadi di Indonesia. Ditengah sedang meningkatnya penggunaan media sosial bagi pemilih pemula untuk mendapatkan referensi politik, bisa saja negara lain ikut campur dalam cara-cara curang seperti itu.
Walaupun memang di Amerika sekarang siklus 8 tahun bagi ‘bandar Yahudi’ yang ada di partai Republik. Bandar-bandar ini yang mempengaruhi wana kebijakan mereka: 8 tahun membangun, 8 tahun perang. Yaa supaya keuntungan bagi industri senjata dan konstruksi bisa gantian di dapat.”
Tentang UU MD3 yang kontroversial itu, yang pasal 122 terkait tugas MKD berisi memerintahkan Majelis Kehormatan Dewan untuk:
“mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badab hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”
Pasal yang membuat banyak kalangan menilai DPR mulai antikritik dan dikhawatirkan akan mematikan demokrasi.
Beliau berkomentar:
“Secara hukum silakan diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, tapi dari sudut pandang yang lain, 8 dari sepuluh fraksi yang ikut mengesahkan UU tersebut memberikan gambaran tersendiri.”
Intinya adalah, sebaagian besar anggota legislatif, tengah merasa bahwa dalam pandangan publik, posisi mereka sedang sangat lemah. Mereka perlu penguatan supaya tetap bisa mengerjakan tugas legislasi dan pengawasan.
Bahkan misalnya, anda semua (dengan menunjuk peserta forum) pasti hanya satu dua orang yang memandang anggota DPR itu baik, selebihnya pandangannya sama; yaa dianggap maling, yaa dianggap koruptor, tukang proyek, jarang ada produk perundangan sehingga tidak jelas kerjanya. Meskipun saya dan anda semua berasal dari ‘bendera’ yang sama, membicarakan relasi agama-negara dalam sudut pandang yang sama dengan anda.
Lalu dengan enak saja di tangkapi oleh KPK, sementara banyak sektor sumber kekayaan negara yang lepas dari pengawasan dan sebagainya.
Ketidaksaling percayaan ini yang membuat kita sebagai bangsa lemah dalam politik. Seolah secara by design, kita sebagai sesama anak bangsa selalu saja dibentur-benturkan dan kita terbawa arus menikmatinya,”
Catatan penulis, dengan 8 partai yaitu PDIP, Gerindra, Golkar, Demokrat, PKB, PAN, PKS dan Hanura menyetujui UU tersebut, ada benarnya juga jika kita tengah ada dalam era krisis kepercayaan antar elemen masyarakat.
Ke-saling percaya-an yang seharusnya jadi fondasi utama dalam proses kita membangun bangsa dan negara. Tentu perlu proses lama mengoreksi, kemudian menumbuhkan kembali suasana tersbut.
Sehingga tercipta kondisi idela dimana semua elemen bisa gotong royong, secara harmonis menjaga kelestarian dan keberlangsungan Indonesia.
Tanpa di sadari dan di mulai dari saat ini, tentu disayangkan jika menunggu banyak hal yang tidak kita kehendaki, disintegrasi misalnya, terjadi dalam kehidupan berbangsa kita.