Penulis : Muhammad Lutfi | Madiun (Santri Tebuireng)

Penulis bukanlah bagian dari mereka, segelintir orang yang gak gablek kesehatan, atau anti pemerintah, atau mungkin orang-orang yang kesal dengan keadaan masyarakat yang bebal dan terkesan menyangsikan kebajikan. Penulis bukanlah mereka yang terlalu mendiskreditkan elite konspirasi, yang selalu menghantui dengan segala dalih narasi, ditengah pandemi ini.

Terserah, mau menyikapi tulisan ini sebagai cercaan, makian, hinaan atau mungkin pujian yang dilontarkan kepada pemerintah beserta semua kebijakannya, yang mungkin sedikit mengandung kebijaksanaan dan keadilan. Pasalnya, beberapa kebijakan dan aturan terkait tidak sedini mungkin diterapkan, terlalu anyi-anyi, ora cag-ceg. Maka tidak salah dengan rakyat yang juga anyi-anyi, slow respon. Seperti kambing, kalau dikasih rumput cuma diambus-ambus, antara mau dan tidak mau. Antara siap atau tidak siap. Antara percaya atau tidak percaya.

Terlepas dari semua itu, penulis juga bagian dari kesatuan warga Indonesia yang (mungkin) sedikit sudah merasa kesal dan hanya bisa ngelus dodo dengan keadaan Indonesia, pemerintahnya atau masyarakatnya. Pun, masyarakat Indonesia dengan ciri khasnya suka ngotot, ngeyel, dan terkesan memandang remeh sejumlah kebijakan pemerintah.

Tagar “Indonesia ??? Terserah !!!” sempat trending beberapa hari belakangan. Munculnya tagar tersebut diiringi dengan keluhan dan rasa kecewa dari warganet yang menilai pemerintah Indonesia belum secara maksimal menanggulangi wabah Covid-19. Tagar “Indonesia ??? Terserah !!!” populer dilontarkan sejumlah pihak lantaran warga kini seolah tak lagi peduli dengan upaya pembatasan untuk menekan penyebaran Virus Corona.

Pasar-pasar kembali ramai dan jalanan kembali macet. Pemerintah mulai bersiap untuk menghadapi kehidupan baru dengan menata perekonomian yang terpuruk. Bagaimana kondisi Indonesia saat ini? Benarkah kita sudah melewati fase kritis penyebaran Covid-19? Atau kita hanya sekedar ingin abai? Atau mungkin pemerintah muntab dengan persepsi dan tanggapan publik yang seolah-olah acuh tak acuh? Begitu juga tenaga kesehatan yang berjuang mati-matian tetapi akhirnya mereka gugur tanpa penghormatan ?

Bersama kita bisa melawan Corona”, dilaksanakan di sejumlah sisi dan wilayah. Yang langsung adalah solusi ‘syifaiyah’ teknis medis. Kemudian ikhtiar ‘daulah walayah’ kebijakan politik, penerapan kekuasaan yang diterapkan secara hukum sejumlah langkah untuk melindungi rakyat. Yang ketiga adalah ikhtiar ‘ubudiyah’ hal-hal yang dilakukan berdasarkan sifat hubungan manusia dengan yang menciptakan dan memiliki kehidupan.

Ingih-ingih, Anyi-anyi, Ora cag-ceg

Coronavirus semakin merajalela. Para pengurus negara tidak berlaku dalam suatu kesatuan berpikir. Setiap penduduk tidak bisa menunggu terus-menerus apa yang sebaiknya ia lakukan menit ini, jam ini, hari ini. Di sana sini ada banyak kekaburan informasi, anjuran, maupun aturan. Terlalu leha-leha dan terkesan acuh dengan keadaan. Seolah-olah suatu hal yang biasa, tidak perlu ditanggapi secara serius, toh mungkin pikir mereka, buat apa serius, percuma, masyarakat juga tidak akan nurut. Ada suatu polarisasi kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah. Semacam ada suatu kenisbian. Hanya saja masalah keadaan.

Ada seorang pengurus negara, yang begitu arogan mengatakan bahkan menyatakan, “Difteri saja kita tidak takut apalagi corona”. Hingga suatu waktu ditegur oleh tetangganya sendiri karena sikapnya itu. Dan juga, Padahal flu, batuk, pilek yang biasa terjadi pada kita itu angka kematiannya lebih tinggi daripada corona. Tapi ini kenapa bisa hebohnya luar biasa?“. Spontan pernyataan tersebut mengundang sorotan. Kritikan, cercaan bahkan umpatan ditujukan.

Kok bisa-bisanya, hanya seorang manusia, yang kadangkala bisa termakan oleh omongannya sendiri. Bukannya mewanti-wanti sebagai upaya prevensi, justru sok menuhankan diri, sok weruh sakdurunge winarah, sok unjuk diri bahwa apa yang dikatakannya sekarang tidak mungkin terjadi dikemudian hari. Tidak salah optimis, tapi optimis berlebihan tanpa dibarengi rasa pasrah juga menimbulkan rasa tinggi hati, ego diri.

Hingga sekarang, Corona bisa tamasya ke semua provinsi di Indonesia. Kepada pemerintah, kenapa tidak sedini mungkin menutup akses keluar masuk kota dan negara?. Hingga ada beberapa cuitan yang mengabarkan akan bersikeras mendatangkan TKA Cina, karena dinilai lebih kompatibel dibanding pekerja lokal. Secara tidak langsung mengiyakan dan membuka bebas jalur masuk orang asing. Padahal Cina adalah episentrum perdana merebaknya virus Corona.

Padahal, pemerintah kita seperti mengharamkan kata ‘lockdown’. Wali Kota Tegal bilang, “Lebih baik saya dibenci daripada membuka pintu kepada maut bagi rakyat saya.” Walikota Malang jauh sebelumnya sudah memutuskan lockdown, tapi Gubernur Khofifah bilang, “Itu hanya hoaks.” Benar-benar Indonesia ini sangat mengagumkan. Sesama pengurus saja masih miskomunikasi, terdapat banyak malfungsi, terlalu ambisi dengan pendapat sendiri, apalagi koordinasi dengan bawahan sendiri.

Serta kebijakan mudik yang membingungkan publik. Lantaran, aturannya di sektoral masing-masing berbeda. Pemerintah Daerah menerapkan aturan dan prosedur bagi warga yang ingin keluar masuk wilayah. Sementara itu, Pemerintah Pusat telah membuka kembali operasional sejumlah transportasi umum. Bahkan setelah dibukanya transportasi dengan berbagai syarat untuk mudik membuat masyarakat banyak yang tidak lagi patuh dengan PSBB. Hal itu dibuktikan dengan ramainya penumpang Bandara Soekarno Hatta beberapa waktu lalu yang tidak bisa dipastikan apakah hendak mudik atau ada urusan bisnis maupun keluarga..Juga engkel-engkelan mengenai istilah mudik dan pulang kampung.

Terakhir, penutupan McD Sarinah yang baru kemarin menuai banyak persoalan. Banyak warga bahkan selebriti menyayangkan kejadian itu, hingga pihak pengelola McD didenda 10 juta. Pasalnya, ratusan orang berkerumun mengikuti seremonial tersebut di tengah penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Entah apa yang terlintas dipikiran mereka, apa mereka gak sadar perjuangan para mujahid kesehatan dalam menangani pasien ? Apa mereka lupa dengan pejuang pemerintahan yang mungkin sebagian kebijakannya mengandung kebajikan ?

Juga berbagai macan keadaan yang membingungkan. UU Minerba, kenaikan BPJS, wacana penggratisan listrik, demokrasi diambang degradasi, pembebasan napi, tidak meratanya pembagian BLT, dan berbagai fenomena negeri yang cukup menarik untuk disimak ditengah situasi pendemi ini. Yang lama-kelamaan, dalam kesempitan ini banyak kesempatan. Hidup kapitalis makin harmonis dan alangkah sedihnya kaum marjinal, hidupnya makin krisis.

Walhasil, ingah-ingih, anyi-anyi, gojag-gajeg. Ora cag-ceg. Sebaliknya kita malah sibuk dengan bahasa dan istilah. Lockdown, karantina wilayah, darurat sipil, dan bisa diramaikan dengan penambahan kemriyek istilah-istilah lain : portalling, uzlah, gembok, serung, tapabrata, singidan, ngumpet, khandaq, atau apa pun. Silakan pilih term yang mana, yang cocok dengan keadaan dan peradaban Indonesia. Toh mereka juga tidak akan hirau.

Mari sibuk bahasa, istilah, dan retorika di area abu-abu. Indonesia adalah bangsa, pemerintah, rakyat, dan masyarakat yang merdeka. Artinya, bebas, muter-muter, mubeng-mubeng, tidak kunjung fokus pada suatu ketentuan. Indonesia bukan manusia yang dengan mudahnya mampu me-lockdown dirinya sendiri. Wong manusianya saja masih bandel, sok kemendel, angkuh, dan congkak. Di umurnya yang sudah cukup dewasa, seharusnya mampu berdiri, berdikari, bertindak-tanduk mandiri. Hingga, entah kapan, Indonesia pasti keluar dari kubangan pandemi ini.