Penulis: Muhammad Lutfi | Madiun
Coronavirus tidak punya kesalahan dan dosa apapun. Ia bukan makhluk pikiran dan hati yang punya kemungkinan untuk berniat sesuatu, merancang kebaikan atau keburukan, menyatakan dukungan atau perlawanan atas kehidupan umat manusia di bumi ini.
Covid-19 bukan bagian dari jin atau manusia, yang pada ujung zaman kelak harus mempertanggungjawabkan perilakunya di forum Hisab Allah. Corona dipancing, dirangsang, dan direkayasa sendiri oleh budaya manusia, oleh ilmunya yang angkuh, oleh pengetahuannya yang congkak, oleh peradabannya yang penuh kibriya’.
Coronavirus lebih populer dari apapun dan siapapun akhir-akhir ini di seluruh dunia. Sebabnya adalah karena membuat semua umat manusia menderita.
Andaikan Coronavirus itu membahagiakan dan menggembirakan, ia tak sepopuler sekarang. Andaikan Coronavirus adalah nutrisi unggul, gizi tertinggi, zat utama kesehatan, atau ia rahmat, berkah, dan hikmah langsung bagi kehidupan manusia, ia tidak seterkenal sekarang.
Coronavirus sedang merasuki siapa, sedang diangkut oleh siapa, di mana, kapan, tak ada manusia yang tahu. Menteri Kesehatan Negara pelopor kemajuan modern bisa ternyata dihinggapi. Wakil Perdana Menteri Negara Islam pun tidak lantas merdeka dari hukum “min haitsu la yahtasib”.
Peradaban umat manusia abad ke-21 tidak sempat menerapkan peribahasa klasik “sedia payung sebelum hujan”. Andaikan ada alat genggam yang bisa akurat mendeteksi di sekitar kita ada virus Corona atau tidak, maka kita tinggal bawa ke mana-mana.
Dengan argumentasi bahwa seluruh perilaku dan peradaban umat manusia dewasa ini memang tidak lain, tidak bukan sedang melangkah cepat menuju jurang kehancurannya sendiri. “Mbok sudah, dipercepat saja”, “Hitung-hitung untuk mengurangi waktu dimana manusia berbuat perusakan, penzaliman, dan penghancuran”.
Lakon ini masih dalam proses latihan, tapi Tuhan seakan sudah merespon dan sedikit mengabulkan, dengan dilimpahkannya Coronavirus yang akhir-akhir ini berlangsung seperti Kiamat Kecil bagi manusia sedunia. Hanya saja mungkin Tuhan punya sifat welas asihNya, sehingga itu hanya formula agar manusia tidak lebih parah dan lebih berkepanjangan kezalimannya, kebodohan, dan policy penghancurannya atas kehidupan.
Muhasabah Corona
“Singkat kata, segala yang akan menimpa kalian pada hakikatnya berasal dari diri kalian sendiri”, tulis Cak Nun dalam bukunya 309 Tahun Lockdown.
Iman bersaudara dengan ilmu. Keyakinan berdampingan dengan pemahaman. Istiqomah lillah berjodoh dengan taklim, takrif, dan ta’dib. Tentu saja, itulah sebabnya manusia dianugerahi akal untuk mesin berpikir sehingga ia menjadi manusia.
Merupakan suatu hal yang bisa melahirkan, dengan akal apakah manusia bepikir, berlogika, berargumen, atau bahkan sembrono, lalai, takabur, bahkan zalim atas pemberian eksklusif Tuhan yang semata-mata hanya disematkan kepada makhluknya, manusia.
Kita semua yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah Maha Rahman Rahim Allah. Tetapi tidak ada sensus yang jelas Rahman Rahim Allah itu berlaku berapa persen untuk A, B, atau C. Kita pasti ingin mendekat kemudian merasa dekat dengan Allah, tetapi apakah Allah dekat dengan kita?
Apalagi verifikasi iman dan sensus kedekatan dengan Allah tidak bisa ditentukan oleh identitas apakah dengan ulama, ustadz, atau umat biasa. Apakah engkau rajin ke masjid atau tidak. Apakah engkau berakhlak karimah atau tidak. Allah Maha Lembut dan punya perlindungan sendiri yang tidak kita punya kesanggupan untuk mengetahuinya.
Juga bahan-bahan dan fakta-fakta kehidupan manusia di tangan Allah sedemikian kompletnya sehingga kita tidak mungkin membantahnya, berdasarkan metodologi, kaifiyah, atau sistem hukmiyah syar’iyah secanggih apapun.
Meskipun demikian kita dianjurkan, diseyogyakan, atau bahkan diwajibkan untuk berhusnuzan kepada Rahman Rahim nya Allah. Likulli da’in dawa’. Setiap sakit ada obatnya, setiap penyakit ada penawarnya. Allah kasih sakit, Allah kasih sembuh. Tinggal soal waktu misterinya.
Wilayah kontekstual kita hanya pada lingkup “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Apa pun berasal dari Allah dan segala sesuatunya kembali mengacu kepada Allah. Sejumlah kecil orang mengatakan, “Semua manusia sedunia takut pada Corona, tapi tidak takut kepada Allah”.
Mungkin justru karena semua tidak takut kepada Allah maka Allah kasih fakta amat kecil, Coronavirus, yang tak seorang pun tak takut kepadanya. Mungkin Allah menunjukkan betapa tidak rasionalnya kehidupan umat manusia.
“Innallaha la yastahyi an yadlriba matsalan ma ba’udlotan fama fauqaha”. Allah tidak segan-segan memberikan sanepan (contoh) atau matsalan dengan memaparkan binatang kecil nyamuk, atau yang lebih jauh kecil dari itu – Coronavirus – untuk memberi pelajaran kepada umat manusia tentang betapa berkuasanya Ia.
Akan tetapi, apakah manusia belajar? Saya pesimis. Selama Corona menyiksa ini, hampir tak ada narasi atau ungkapan yang mencerminkan kesadaran tentang peran Allah, kekuasaan Allah, copyright Allah atas segala sesuatu. Bahkan, tidak ada pemimpin agama yang mengajak umat manusia untuk mencari apa kesalahan kita semua ini sebagai manusia sehingga kedahsyatan ilmu dan peradaban kita diejek, dihina habis-habisan oleh hanya seekor virus Corona.
Akan tetapi, memang sejak dahulu kala hingga sekarang, manusia punya kecenderungan besar untuk meremehkan kehadiran Tuhan. Tuhan “tidak dianggap”. Kena Corona tidak merasa bersalah, tidak lantas berintrospeksi individual maupun kolektif, sengaja lupa atau tidak ingat bahwa Allah “ala kulli syai’in Qodir”, berkuasa atas segala sesuatu, dari lautan meluap hingga tetesan embun.
Tidak ada introspeksi atau dorongan muhasabah yang digemakan oleh para pemimpin agama. Dan, mungkin juga, jika ada pasien yang sembuh dan pulih dari Corona tidak ada suasan rasa syukur, bebungah atau bentuk apapun itu sebagai cerminan ada hubungan antara manusia dengan Allah.
Benar-benar tidak masuk akal, seakan Tuhan dipersona-nongrata kan oleh alam pikiran manusia. Tuhan dimarjinalkan, bahkan mungkin ditiadakan oleh lingkup ingatan dan peta akal manusia. Juga tidak cukup terasa bahwa di dalam jiwa bangsa Pancasila ini, ada implementasi Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan bukan baris teratas daftar skala prioritas manusia di dunia. Tuhan sangat dilecehkan.
Untung Tuhannya adalah Allah SWT, yang karakteristik dengan sifatNya, Rahman Rahim, bahkan As-Syakur, Maha Bersyukur. Andaikan Tuhannya bukan Allah, yang mengutamakan hak mutlakNya untuk berlaku Al-Muntaqim, Maha Membalas, As-Syadid, Maha Menyiksa, bisa jadi korban Coronavirus akan dibiarkan sampai mencapai 30 juta penduduk dunia, sebagaimana Bill Gates pernah memperkirakan.
Itu belum multi-efeknya terutama ke kondisi perekonomian negara dan bangsa. Sedikit-sedikit kita sudah merasa depresi dan resisi ekonomi. Posisi manusia hanya bersemayam di planet yang bernama “semoga”. Itu pun kalau muncul harapan, planet itu sekedar berganti nama menjadi “insya Allah”.
Padahal presisinya pada level rasio kita, justru kita hakikatnya harus ragu pada kebenaran yang kita kenali, sedangkan yang “tidak ragu” adalah keberadaan dan kebenaran kepada Allah. Masalahnya jarak antara kebenaran kita dan kebenaran Allah tak akan pernah bisa kita ukur dan tempuh.
Mestinya ada, atau malah mungkin banyak yang tidak sependapat dengan tulisan, gagasan, pemahaman ini. Corona ya Corona, Tuhan ya Tuhan. Tidak bisa disamakan. Tidak ada hubungan antara wabah di dunia dengan dosa manusia, tidak akan ada relasi antara masalah vertikal dengan horizontal, tidak ada kaitannya semua itu dengan akidah, agama, kepercayaan, keniscayaan.
Coronavirus bukan semata-mata urusan medis, konteksnya ya kondisi badan manusia dengan bermacam-macam kemungkinan alam. Juga masalah logika, cara dan keputusan berpikir, menguji cara sekolah dan universitas menyediakan ilmu pengetahuan tentang itu. Mungkin ia juga masalah silaturahmi vertikal, ranah spiritual dan religius. Bahkan, bisa merupakan masalah akidah dan akhlak. Terserah setiap orang memilih wilayah penghayatannya.
Setidaknya, manusia memang dianjurkan dan diseyogyakan untuk memahami, menyadari, menghayati peristiwa ini. Seenggaknya, manusia dituntut untuk me-lockdown pribadinya untuk tawadhu’, sadar dan tahu bahwa apa yang sedang terjadi sekarang ini sudah digariskan oleh Allah. Allah yang Maha Lebih atas apa yang sesungguhnya terjadi. Dan kita, umat manusia hanya bisa “sami’na wa atho’na” dengan titah dan takdir Allah.
Semoga Tuhan lebih menyayangi hamba-Nya yang mementingkan keselamatan orang lain daripada mengutamakan dan memenangkan dirinya sendiri. Hampir setiap orang memang menegakkan keyakinan dan tawakal dalam hati dan pikiran. Harapan dan doa tentunya senantiasa ditambah.
Good job my friend, go ahead and be a succes man in literacy world. 👌🤩