Penulis: Rizal Al Hadqi
“Covid-19 merupakan virus yang mematikan.”. Begitulah kiranya media menginformasikannya. Hari hari ini masyarakat dibuat khawatir untuk sekadar melanjutkan hidup, mencari nafkah, memperbanyak uang dan sebagainya.
Covid-19 telah dianggap sebagai penyebab ketidaksediaan uang masyarakat, bergantinya menu makan dari lele menjadi tempe, dari nasi ayam menjadi sayur bayam, nasi pindang diganti nasi campur garam, lalu apalagi?
Tentu banyak sekali, dan ini sangat mungkin terjadi pada golongan masyarakat bawah. Jika saja orang memaksakan mencari nafkah bisa jadi orang akan tertular virus corona, jika orang tertular virus ini orang akan sakit parah, bisa mati! Hahaha, dalam sahut kecil mendengarkan orang ke orang bicara corona, penulis menyempatkan diri untuk tertawa.. hahaha..
Bawah Sadar Masyarakat
Tekanan informasi media terhadap alam bawah sadar masyarakat hari ini begitu nyata dirasakan, media memberitakan orang orang yang telah mati, secara tidak sadar maka antisipasi masyarakat adalah bagaimana caranya agar tidak mati.
Anjuran-anjuran yang ada adalah mencuci tangan sebelum dan melakukan sesuatu, makan makanan yang bergizi, tetapi kami tidak bisa melakukan sesuatu yang dapat menghasilkan uang (misalnya bertani atau berdagang asongan atau menarik ojek online).
Kami diminta menjaga imunitas diri namun pemberitaaan media membuat kepala pusing (apalagi pelarangan untuk ngopi membuat kami penat…. hehe), jaga jarak dengan orang lain atau istilah yang keren kita dengar hari ini adalah (social distancing) itu sangat sulit karena manusia adalah makhluk sosial.
Pemberitaan media yang bisa disebut bad-news sangat laku keras, media suka memberitakan suatu masalah, memperbanyak masalah itu, lalu mengiringinya dengan anjuran yang disebut solusi.
Padahal yang dinanti masyarakat sebagai pembaca, sebagai pendengar, adalah solusi dari suatu permasalahan. Bukan permasalahaannya. Masyarakat bukan pemikir, media sebagai distributor informasi seharusnya bertindak sesuai dengan apa yang diharapakan, yaitu melakukan distribusi solusi dari para pemikir (dalam hal ini pemerintah) seharusnya berbanding lurus dengan apa yang diharapkan masyarakat.
Kebijakan Pemerintah
Pada 31 Desember 2019 pemerintah China melaporkan kepada WHO untuk kasus kasus infeksi baru serupa flu di Wuhan, penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV2 inilah yang akhrinya disebut dengan Covid-19.
Lalu apa covid-19 itu?
Covid-19 berasal dari singkatan “Co” corona, “Vi” untuk virus, “D” adalah Disease atau bisa diartikan penyakit, dan 19 adalah untuk tahun pertama kali virus ini muncul. Berasal dari keluaraga corona, virus ini menyebabakan penyakit yang biasa biasa saja seperti flu dan bisa menajdi penyakit yang mewabah seperti MERS (sindrom pernapasan di timur tengah), dan SARS (sindrom pernapasan akut parah). Saat itu kebijakan yang diambil oleh pemeritah setempat adalah me-lockdown wilayah Wuhan. Demi menekan penyebaran virus tersebut.
Paragraf ini mungkin bisa jadi sensitif, berkaitan dengan negara dan masyarakat disitu ada hak pengelolaan yaitu pada pemerintah. Peran pemerintah seperti yang telah penulis sebutkan di atas, seharusnya mampu menjadi payung pelindung dari masyarakat. Masyarakat tidak menghitung berapa kali rintik hujan mengguyur, masyarakat tidak butuh seberapa derasnya hujan, yang masyarakat butuhkan adalah adanya payung ketika hujan. Masyarakat hanya perlu tahu seberapa kokoh payung tersebut.
Menyoal kebijakan pemerintah seharusnya melecutkan kebijakan yang padu, padu dalam hal situasi dan kondisi terukur dalam konteks masyarakat dan wilayah geografi. Entah system yang dipakai adalah lockdown atau yang lain. Ketika itu cocok bagi masyarakat, berarti suatu kebijakan itu benar-benar baik untuk masyarakat.
Lain lagi soal kebijakan beregu. Beregu yang penulis maksud disini adalah kekutsertaan pemerintah dalam mengambil kebijakan mencontoh pemerintahan Negara lain, semisal Negara ABC dalam menangani penyebaran covid-19 adalah lockdown, pemerintah Indonesia ikut serta mengambil kebijakan yang serupa tanpa melihat kondisi hari ini. Walaupun dalam lingkup ASEAN, yang notabene satu wilayah dalam geografinya, kultur masyarakatnya jelas berbeda.
Dalam kehidupan bermasyarakat hari ini tidak bisa dipisahkan dari media, arus informasi begitu cepat melaluli ‘fiber-fiber’ penghubung. Tangan-tangan manusia tidak bisa lepas dari teknologi canggih, gadget.
Sebagai masyarakat dunia ketiga, harusnya mempertahankan pola-pola sosial tradisional sebagai upaya mengurangi kekhawatiran tentang adanya virus tersebut dengan cara mengurangi penggunaan media sosial, tidak mengkonsumsi mentah-mentah berita yang dimuat di media dengan low order thinking, selalu sebarkan berita baik orang ke orang.
Berusaha percaya terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah sebagai stimulus imunitas diri dan upaya mengurangi kekhawatiran terhadap wabah ini.