Penulis: Madchan Jazuli (Trenggalek)

Sebetulnya tidak ada yang aneh dibalik harga rokok dari tahun ke tahun yang semakin melejit. Mulai semula 15.000 hingga mencapai Rp. 50.000,-. Isunya demikian. Para tokoh, pejabat hingga artis mulai ikut berbicara. Meski tak mempengaruhi keadaan. Ditambah buzzer media sosial yang santer dan banter. Membuat kalang kabut penimat udud.

Bagaimana tidak? Kebutuhan pelengkap setelah makan atau sekadar kongkow bareng bagi kaum adam tak seramah senyuman Chelsea Islan.

Taktik mewawancarai tokoh dengan “ Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu mengenai naiknya harga rokok?”. Dinilai sebagai trik melakukan plastment (placdement) di media-media. Seakan-akan memang benar akan terjadi.

Dasar elit politik.

Pihak yang diuntungkan sudah jelas para pemegang saham rokok. Opini publik digiring “mending nyetok rokok sak slop mulai saiki. Mumpung durung mundak”. (lebih baik menimbun mulai sekarang. Mumpung harga belum naik). Itu tentu hanya bagi kaum priyayi yang punya banyak materi.

Lain halnya bagi kaum proletar. Karena tidak memiliki alternative, terpaksa mereka beralih ke nglinting rokok sendiri. Bermodalkan tembakau kering, cengkeh dan papir yang harganya sangat terjangkau.

Kalangan yang anti rokok menanggapi dengan menggunakan dalil-dalil kesehatan atau pemborosan. Sedang kaum pro rokok mengatakan, “rokoklah menghidupi ribuan buruh serta penyumbang devisa Negara melalui cukainya”. Tambah seru. Gendang isu ditabuh, digiring seolah-olah sampai pada usulan ke pemerintahan.

Akan tetapi, isu dunia maya dipelintir seketika. Pertama, yang mengatakan rokok tidak mungkin akan naik menjadi 50.000 rupiah. Karena semua ada peraturan, hitungan, cukai, berapa besarnya. Tidak serta merta melonjak begitu saja. Kedua, di dunia nyata, ritel-ritel toko justru senang. Pembelian melonjak.

Datanglah ke gerai minimarket, “Tidak beli tiga sekalian mas, mumpung  belum naik!” tutur penjaga kasir mlipis dibalut senyuman manis, sambil mem-batin “bego banget sampean mas, ganteng-ganteng mudah kena hoax . . .”

Mbak-mbak SPG yang biasanya menjelaskan panjang kali tinggi kelebihan brand mereka. Kini hanya senyam senyum manis. “mumpung harganya belum 50.000 lho pak…” ujar mereka. Tersenyum penuh kegelian melihat mas-mas ngopi.

Afiliasi antara manager dengan  para jagoan marketing lapangan membuat rokok menggila. Di kepala mereka berdoa : “Semoga isu ini bertahan lama. Laris. . . laris. . .  laris. .  beib!”

Sebelumnya mereka sudah terlatih menangani isu-isu. Para kompetitor berjuang keras siang malam. Misalnya bermain isu “Rokok Marlboro bukan dari tembakau, tapi dari kertas. Kalau tidak percaya rendamlah. Ia akan berubah menjadi kertas”.

Orang yang mendalami dunia per-rokokan sudah pasti tahu. Menggelikan. Rokok Marlboro itu rokok putihan dari tembakau Virginia. Sudah jelas, jika direndam akan seperti kertas. Djarum sudah pernah mengalami isu “Demi Jesus Aku Rela Untuk Mati”. Omzet langsung jatuh. Namun bangkit lagi.

Gudang Garam juga pernah dirundung masalah. Rokok mudah patah. Kemudian membuat produk yang sedemikian rupa yang tidak mudah patah. Produk premium laris di pasar. Namun ketika beredar isu “tidak mudah patah, ada campuran plastiknya”. Langsung hilang di pasaran.

***

Sementara itu di era pandemic, banyak beredar berita kalau penyebaran virus ini adalah konspirasi. Amerika menuduh China bisa jadi karena perang dagang. Sebaliknya, China mengatakan Amerikalah dalang wabah ini. Namun mereka berdua sama-sama menjadi korban.

Belum lagi, podcast  Dedy Corbuzier dengan mantan menteri Kesehatan di era Pak SBY yang terang-terangan menolak untuk memberikan vaksin. Waktu beliau menjabat saat itu sedang santer-santernya virus flu burung.

Penulis mengkonfirmasi teman playon (bermain) yang sekarang menjadi bidan di kota Pahlawan. Siapa tahu dia paham soal masalah pelik yang sedang melanda ini. Memang beliau bukan ahlinya, namun di dunia kesehatan tahulah sedikit atau setithik, paling tidak isu dan fakta yang sedang bergulir.

Virus ini sedang diteliti di UNAIR dan berbaga laboratorium. Hingga kini sudah banyak korban berjatuhan termasuk dokter dan tenaga kesehatan.  Namun kebanyakan pengidap virus adalah orang-orang tanpa gejala. Dan terkadang hanya batuk. Tidak semengerikan yang berada di media yang sedang terjadi di Surabaya.

Mbak Devi namanya. Lulusan Politeknik Kesehatan Surabaya itu mengatakan, “Apapun itu benar atau tidak yang pasti virus itu ada. Yang terpenting menjaga imun”.

Saya tambahi lagi ya. IMAN juga penting. Masa sulit seperti sekarang ini IMAN dan IMUN harus bergandengan tangan. ciieee.. Tanpa iman, banyak yang melakukan tindak pencurian. Tanpa imun, sudah pasti menjadi pasien. Yuuuk saling menjaga. Jamane, jaman su’udzon.

Kita kembali ke judul.

Nah, ini yang Anda tunggu. Tentang : Konspirasi Yahudi.

Oke. Jadi begini. Penulis hanya mengecek saja sih. Di bagian tubuh tulisan sudah tercantum, walau secara leksikal. Penulis hanya ingin tahu, bagaimana sebuah tulisan disebarkan hanya dengan MEMBACA JUDUL. Tanpa membaca isinya. Atau membaca isinya baru dishare. Atau bahkan di sebar dulu baru dibaca kemudian. hehehe.

Jangan sewot mbak/mas. . . !

(tersenyum culas J )