Oleh: Ghofirudin (Trenggalek)

Harmonisasi merupakan sebuah puisi karya Tri Cahyo Widodo yang dikirim ke halaman Facebook Sanggar Jelata* pada Jum’at 8 Desember 2017.

Penyair yang sehari-harinya bekerja sebagai karyawan di sebuah toko kecil yang menjual peralatan rumah tangga ini ingin mengungkapkan betapa kejamnya dunia yang penuh dengan persaingan seperti yang terjadi saat ini.

Ungkapan tersebut mungkin sekali berasal dari pengalaman pribadinya yang telah lama terjun ke dunia bisnis.

Penulis mengawali puisinya dengan sebuah bisik dari kebisingan yang merajalela. Klausa tersebut tentu sangat menggelitik karena bagaimana mungkin sebuah kebisingan yang notabene membuat tidak nyaman orang-orang yang mendengarnya mampu berbisik.

Bisik itu sendiri merupakan sebuah ujaran lembut yang mampu mempengaruhi atau membawa pendengarnya ke dalam sebuah perasaan tenang atau damai. Namun tidak, bisikan yang lembut itu membuat pendengarnya tidak merasakan nyaman karena ia terus mengantarkannya ke dalam alam pikiran yang membuka tabir di masa lalu.

Masa lalu itu mungkin adalah masa di mana saat penulis masih memiliki cita-cita yang tinggi disertai dengan semangat dan idealisme untuk membawa perubahan bagi dirinya maupun masyarakat di sekitarnya ke arah yang lebih baik.

Namun bait pertama tersebut ditutup dengan sebuah keadaan yang seolah terjebak dengan kenyataan yang ada sekarang. Menurut penulis semakin modernnya peradaban, tak menambah maju sebuah pemikiran.

Memang, semakin modern peradaban belum tentu menambah maju sebuah pemikiran. Peradaban modern yang ditandai dengan berkembang pesatnya industri teknologi dan komunikasi justru terlalu memanjakan manusia dan mengarahkan mereka kepada sebuah tujuan hidup yang hanya memikirkan senang belaka.

Tujuan hidup yang demikian atau yang dikenal dengan hedonisme merupakan cermin dari ciri khas masyarakat pemalas yang tidak mau belajar untuk mengembangkan peradaban tersebut ke arah yang lebih manusiawi.

Tentu gaya hidup pemalas nan konsumtif tersebut tidak begitu saja muncul. Ada sebuah pengorganisasian budaya tak kasat mata agar masyarakat atau bangsa ini terus memuja gaya hidup kebendaan tapi tanpa mampu memproduksi sendiri.

Sebab, jika sampai masyarakat atau bangsa ini mampu memproduksi sendiri dengan bersandar pada kebudayaan nenek moyang yang berlandaskan gotong royong, dengan kata lain tidak mementingkan keuntungan pribadi, tentu akan menggoyahkan sistem kapitalisme ala barat yang berusaha mengeksploitasi keuntungan sebesar-besarnya, tanpa peduli dengan manusia, tanpa peduli dengan alam yang menjadi tiang penyangganya.

Salah satu pengorganisasian budaya tersebut adalah dengan menjauhkan anak-anak, pemuda, bahkan para orang tua dari budaya belajar, baik belajar dengan cara berkumpul-diskusi-berkesenian; maupun belajar, dengan berkegiatan baca dan tulis, literasi secara mandiri.

Masyarakat telah dicekoki dengan budaya-budaya populer yang ditayangkan setiap hari melalui televisi. Musik, sinetron atau film yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari bukanlah hasil karya seni adiluhung yang mencoba mengajak manusia kepada sebuah arus kesadaran bersama untuk mewujudkan karakter masyarakat atau bangsa yang tangguh dengan berlandaskan kemanusiaan.

Karya-karya populer yang menonjolkan tema asmara secara berlebihan tersebut justru melemahkan daya pikir dan rasa manusia sebatas pada tingkatan asmara itu saja dan tidak menanjak sampai kepada pengertian tentang cinta yang mencakup kehidupan manusia yang lebih luas, seperti kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maupun cinta terhadap alam semesta untuk hidup dengan harmoni di dalamnya.

Begitu juga dengan iklan-iklan yang dijejalkan di antara tayangan-tayangan tersebut dipenuhi dengan ilusi-ilusi standarisasi kehidupan yang dimanipulasi untuk melariskan barang dagangan para pemilik modal. Tak kalah juga iklan-iklan yang berdesakan di situs-situs dalam internet.

Di sana telah dipenuhi dengan situs-situs judi yang mencoba memperlemah daya pikir masyarakat dalam berwirausaha karena hanya mengadu nasib yang tingkat keberhasilannya hampir setara dengan takhayul yang susah dicerna nalar. Juga iklan situs pornografi.

Apabila sudah sekali terjebak di dalamnya, orang-orang akan terinfeksi dan kecanduan serta malas untuk memikirkan dan mengerjakan sesuatu yang lebih berharga untuk kehidupannya. Bagi seorang pecandu pornografi itu sendiri, ia akan lupa anak-istri, hingga ia lupa keberadaannya sendiri.

Infeksi dan kecanduan yang demikian juga lazim terjadi pada anak-anak muda jaman sekarang yang doyan ngegame, sampai ke level maniak. Dan yang parah, game-game yang tengah populer sekarang adalah game yang menonjolkan jargon-jargon perang seperti WAR atau BATTLE.

Muncul sebuah pertanyaan, apakah jargon-jargon tersebut bertujuan untuk mengarahkan pikiran dan perasaan anak muda untuk mencintai sebuah peperangan yang brutal, hancur-menghancurkan, dan memporak-porandakan kemanusiaan, meskipun tidak bisa dipungkiri permainan-permainan itu juga mengasah jiwa bersaing di dalam diri mereka.

Ataukah jargon tersebut adalah untuk membius mereka bahwa perang sebenarnya adalah hal yang biasa, sehingga ketika terjadi perang di suatu belahan dunia, pikiran dan perasaan mereka tidak bertanya dan mempertanyakan tentang apakah yang sebenarnya terjadi. Mereka dijadikan pasif dalam menyikapi setiap realita kehidupan.

kalut yang terpendam dalam imajinasi, menambah duka sang Ilahi

Ketidakmajuan atau kemandegan pola pikir tersebut membuat jiwa kalut, suatu perasaan tidak nyaman karena harus berhadapan dengan sebuah kenyataan yang benar-benar membudaya. Dengan kata lain, ada sebuah keinginan di dalam diri, untuk memberikan sumbangsih kepada masyarakat maupun negeri.

Namun, semua itu terpendam karena seorang individu akan merasa begitu tertekan jika hanya sendiri. Sedangkan untuk melakukan sebuah perubahan diperlukan sosok-sosok kawan yang memiliki satu visi dalam perjuangan.

Namun, tidak ada kawan yang bisa diandalkan karena kebanyakan orang terjebak di dalam budaya konsumtif dan hanya tebar pesona dalam persaingan setara rimba belantara yang penuh tikam menikam. Kekalutan tersebut menanjak ke dalam tingkatan duka karena sebagai manusia, ia memiliki tanggung jawab kepada Tuhan untuk memberikan sumbangsih berupa kebaikan terhadap kehidupan manusia.

Muncul sosok terpuji di dalam pribadi orang yang penuh duka tersebut, di mana segala puji sesungguhnya hanya milik Tuhan. Duka orang yang berjuang dalam kebaikan dengan kata lain adalah duka Tuhan itu sendiri.

Namun, puisi tersebut gagal mewujudkan harmoni. Kegagalan itu terjadi karena ia kembali larut ke dalam kenyataan bahwabanyak yang berkoar yang tak perlu, berjanji manis yang tak berbuah, yang jujur terpinggirkan para pandega tak berbudi.

 Kenyataan yang demikian merujuk pada perpolitikan bangsa ini yang terlampau mengadopsi demokrasi liberal yang sifatnya tidak kerakyatan. Para elite menghamburkan uang untuk kampanye dan menjanjikan banyak perubahan yang sayangnya sedikit sekali yang terealisasi.

Karena ongkos politik yang mahal, maka yang jujur dan berbudi harus dipinggirkan karena akan menjadi penghalang dalam mendapatkan kembali modal yang telah diinvestasikan. Jadinya, negarawan tidak ada bedanya dengan para pedagang di pasar loakan.

Akhirnya adalah umpatan terhadap kenyataan “semakin kejam dunia” itu yang bisa dihamburkan. Ungkapan tersebut merupakan sebuah proses menuju harmoni yang tersirat. Dan harmoni tersebut akan lebih menguat dan menyurat jika orang yang telah menyadari tentang betapa kejamnya dunia bisa terus bersabar.

Sabar, dalam arti, menerima keadaan dengan lapang agar jiwa tenang. Juga sabar untuk terus memperjuangkan keadaan agar tidak semakin kejam, supaya keadaan lebih berperikemanusiaan.

Dan, penyair telah memulainya dengan puisi ini

*************

CATATAN:

Artikel ini pertama kali dipublikasikan pada laman https://sastratepian.blogspot.com/2019/01/harmonisasi-sebuah-puisi-untuk.html, diterbitkan ulang disini guna tujuan edukasi dan atas persetujuan penulis.