Penulis : Drs. H. mustofa Alchamdani, M.SI
Secara tidak sengaja seorang ASN bertemu dengan seorang penjual kayu bakar di gardu pinggir jalan, sang ASN bepakaian seragam lengkap dengan sepatu mengkilap. Sedangkan si penjual kayu bakar mengenakan kaus lusuh, celana kolor, dan sarung yang diikatkan di pinggangnya.
ASN: “Assalamu’alaikum bapak. ”
Penjual kayu bakar: “Wa’alaikum salam”
ASN: “Rumah bapak di mana?”
Penjual kayu bakar: “Dari desa di atas gunung sana.”
ASN: “Kalau boleh tahu nama bapak siapa?”
Penjual kayu bakar: “Bejo pak, bapak darimana?”
ASN: “Saya dari kota sana..!”
Penjual kayu bakar: “Mohon maaf nama bapak siapa?”
ASN: “Saya Mahfudz, pak”
Setelah selesai perkenalan terlintas dalam benak pak Mahfudz untuk mengorek lebih jauh tentang pak Bejo tersebut.
“Mohon maaf pak bejo sampeyan dari mana?”
Pak bejo menjawab: “Dari toko sana pak untuk mengembalikan uang kembalian seribu rupiah. Tersentak hati pak Mahfudz dan ingin lebih dalam menguak siapa sebenaranya pak Bejo ini.
“Pak, sampeyan dapat uang dari uang kayu berapa? Dan berangkat ke pasar jam berapa?”
Pak bejo dengan nada kalem dan tenang menjawab “Alhamdulillah dapat 15 ribu, dan tadi berangkat dari rumah jam 03.00 pagi dan sampai pasar subuh karena tadi ada janji dengan pembeli.”
Pak mahfudz mendengar jawaban dari pak bejo dengan khidmat, dan masih penasaran dengan sarung yang bejo bawa, kemudian diatanyakanlah fungsi sarung tersebut oleh pak Mahfud: “Pak sarung itu untuk apa pak kok masih dibawa?”
Pak bejo dengan cepat menjawab: “Untuk sholat tahajud tadi pak di gardu ini dan juga saya pakai untuk sholat shubuh di musholla pasar.”
Mendengar jawaban dari pak bejo itu pak Mahfudz sangat kaget dan matanya terbelalak karena terkejut, tidak terasa pak Mahfudz meneteskan air mata.
Melihat pak Mahfudz meneteskan air mata, pak Bejo bertanya, “Kenapa bapak kok menangis?”
Dengan cepat pak mahfudz mengatakan, “tidak apa-apa pak ini mata saya agak sakit,”
Sambil mengelap air matanya, pak Mahfudz tanya lagi: “Bapak punya istri? Punya anak?”
“Ya punya istri dan 3 orang anak,” jawab pak Bejo.
Pak Mahfud masih penasaran, “apa cukup uang hasil kerja sampeyan untuk menghidupi keluarga?”
Dengan nada datar pak bejo menjawab “Kulo Kantun nampi rizqi paringanipun gusti Allah, alhamdulillah cekap, lan sampun gadah pantun piyambak “ (Saya hanya tinggal menerima pemberian Allah dan Alhamdulillah cukup, sudah punya padi sendiri).
Tidak terasa sudah lama pembicaraan kedua orang itu, sang penjual kayu bakar pamit duluan. “Mohon maaf pak saya pulang dulu karena sudah ditunggu anak istri di rumah, Pak….Pak… saya pulang dulu.”
Kalimat itu diulang berkali-kali, pak Mahfudz terperanjat kaget dan baru sadar dari lamunannya dengan tergagap dia berkata,
“Mari-mari pak bejo assalamualaikum.”
Sesampainya di rumah, pak Mahfudz masih gelisah, membuat isrinya bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan suaminya kok dari tadi gelisah terus?
Istri pak Mahfudz yang pernah menimba ilmu di pesantren dengan halus berkata: “Mas cuci tangan, kaki, kalau perlu mandi dan sholat terus istirahat saja dulu.”
Semakin penasaran istrinya karena melihat pak Mahfudz dari tadi gelisah, setelah melakukan jama’ah sholat maghrib dia memberanikan diri untuk bertanya: “Mas dari tadi kok gelisah ada apa?”
Tanpa basa-basi pak Mahfudz menceritakan pengalamannya dengan pak bejo tanpa sedikitpun dikurangi.
“Dik,” kata pak mahfudz memulai pembicaraan dengan istrinya “saya dapat pelajaran yang sangat berharga hari ini”.
“Dari siapa mas? Dari atasan sampeyan atau seorang professor atau kiayi siapa?” Kata istrinya,
“Tidak, tidak. Pelajaran tersebut datang dari pak Bejo penjual kayu bakar itu,” lebih lanjut pak Mahfudz menjelaskan ada beberapa pelajaran, antara lain: kejujuran, menepati janji, ketaatan ibadahnya, qona’ahnya, kesetiaan pada istri dan anak-anaknya, dan semangat ikhtiarnya.
Mungkin ini merupakan ayat-ayat kauniah dari Alloh kepada saya. Istrinya berkata “Bersyukurlah mas, Allah telah membukakan hatimu lewat pak Bejo, saya pernah baca firman Allah dalam QS. Al An’am: 125
فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهْدِيَهُۥ يَشْرَحْ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَٰمِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُۥ يَجْعَلْ صَدْرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى ٱلسَّمَآءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجْسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
Dan juga ada sebuah Riwayat, istrinya melanjutkan: “Rasululloh pernah ditanya tentang kelapangan dada, beliau menjawab: ‘itulah gambaran cahaya illahi yang menyinari hati orang mu’min sehingga menjadi lapang dadanya.’ Sahabat tanya lagi, apa ada tandanya ya Rasulallah? Rasul menjawab: ‘Ada tandanya yaitu selalu condong kepada akhirat, selalu menjauhkan diri dari tipu daya dunia dan selalu siap menghadapi kematian. (HR. Ibnu Hatim dari Abdulloh bin Mas’ud)
Subhanalloh pak Mahfudz secara reflek merangkul istrinya, sampai mukena istrinya basah terkena air mata. Sambil tertatih-tatih berucap, “Sayangku, aku jadi malu dengan Allah, sudah diberi ni’mat yang banyak, tapi masih sering tidak jujur, menghianati janji termasuk waktu bekerja, ibadahpun sekedarnya, selalu kurang menerima rizqi dari Alloh, kadang membohongi kamu dan anak-anak, dan kurang semangat bekerja”.
“Istighfarlah mas!!! Dan kita harus bersyukur pada Alloh yang telah menjadikan pak Bejo dan kehidupannya sebagai wasilah hidayah-Nya.” Kata istrinya dengan lemah lembut