Penulis: Ghofiruddin (Pegiat sastra dan literasi Trenggalek)

Sudah tiga hari ini Rizbach terus berada di rumah tanpa melakukan sesuatu kegiatan yang berarti. Tiga hari yang benar-benar dia manfaatkan untuk bersantai, untuk bermalas-malasan setelah selama enam tahun ini dia selalu memaksakan tubuh dan pikirannya untuk bekerja, apakah itu yang berkaitan dengan rutinitas kuliah atau bekerja sebagai seorang yang aktif dalam dunia penulisan.

Tiga hari lebih dia gunakan untuk melamunkan hal-hal tabu dan tidak senonoh yang mengurangi gairahnya untuk menulis. Dia juga, dalam tiga hari ini, terlalu banyak menghabiskan waktu, sambil berbaring di sofa ruang tamu, untuk menjelajahi berbagai situs dunia maya, bukan untuk mencari inspirasi untuk menciptakan sebuah karya, atau untuk menggali informasi-informasi seputar dunia kerja, atau untuk menggali pengetahuan yang bermakna, tapi hanya untuk bersenang-senang, memuaskan nafsu jalang matanya. Bersosial-media ria menjadi selingan kegiatan yang sangat menyenangkan, terutama karena di sana dia dapat bertemu dengan;  Wulan.

Namun, pagi ini dia mulai merasa gelisah. Dia teringat betul bahwa tujuannya pulang kampung bukan untuk bersantai-santai seperti ini. Dia sadar bahwa sebagai lulusan sebuah perguruan tinggi, terlebih sebuah perguruan tinggi negeri ternama pula, dia memiliki kewajiban untuk menjadi agen intelektual, agen sosial, dan agen perubahan. Memikirkan itu, dia bangkit dari sofa tempatnya berbaring. Dia mulai duduk merenungkan secara lebih mendalam apa yang mungkin bisa dia lakukan untuk memulai misinya itu. Kegelisahan yang menghinggapi pikirannya itu, dia tuangkan dalam PM di akun Blackberry Messenger-nya.

        Apakah yang bisa dilakukan oleh seorang gila yang terlalu banyak gelisah ini untuk melaksanakan sebuah misi mulia sebagai agen intelektual, agen sosial dan agen perubahan? Apa yang bisa diubah oleh seorang yang in-telek yang menganggap dirinya sok-sial seperti ini? Apakah bisa? Kalau bisa, harus mulai dari mana? Pikirkan, pikirkan, pikirkan dan renungkan!

Rizbach mulai mondar-mandir, berjalan kesana kemari di ruang tamu rumahnya. Sekali waktu, dia berhenti di jendela mengamati seekor kucing belang hitam-putih yang tengah rebahan di lantai teras rumah sambil menggaruk kulitnya. Dia berpikir, kenapa dia tidak seperti kucing itu saja, hidup santai mengalir dan tanpa gelisah. Dan, nyatanya kucing itu tetap saja hidup, setiap hari selalu bisa mendapatkan makanan, dan di waktu tertentu bertemu juga dengan pasangannya. Dan, kalau sudah saatnya untuk mati, ya mati. Tidak perlu ada kegelisahan yang menghinggapi dan membayangi. Tidak perlu membayangkan cita-cita, harapan dan ambisi. Juga, tidak perlu berhasrat keinginan untuk mengembangkan sesuatu. Tidak perlu juga menyingkirkan sesuatu.

“Tentu tidak bisa seperti itu,” pikirnya. “Manusia yang sesungguhnya tidak seperti itu. Manusia yang sesungguhnya selalu ingin mengembangkan berbagai hal positif dalam kehidupannya. Manusia yang sesungguhnya akan menggunakan segala perangkat yang dianugerahkan; raga dan akal pikirannya untuk mewujudkan hal tersebut. Tapi, apakah masih bisa disebut manusia, orang-orang yang berusaha mewujudkan pengembangan positif itu, namun di satu sisi dengan tega mengorbankan manusia yang lain? Manakah yang lebih penting sebenarnya, perkembangan peradaban manusia ataukah kemanusiannya? Bisakah ditarik sinergi di antara keduanya?”

Bip. Bip.

Suara itu mengalihkan perenungan Rizbach. Dia segera menuju ke smartphone-nya yang dia letakkan di meja ruang tamu. Sebuah komentar bercanda dari Badak Galetho, teman satu kelas Rizbach sewaktu SMA, membuat dia tersenyum.

Lek sik panggah edan ki, ya mbok dibawa ke RSJ. Biar tidak gelisah lagi

Belum sempat membalas komentar dari Badak Galetho itu, dua komentar masuk nyaris bersamaan. Sebuah komentar datang dari akun Andika Marpaung, teman Rizbach dari tanah Karo Sumatera Utara.

Orang gila ini bisa melakukan sesuatu yang luar biasa, karena kegilaan itu memang sesuatu yang di atas normal. Dia memiliki kemampuan untuk itu. Pertanyaannya sekarang, apakah dia benar-benar mau.

Satu komentar lain adalah dari Wulan.

Mulailah dalam dirimu, mas. Mulailah segala sesuatunya dengan kasih dan cinta karena dengannya akan diperoleh akhir yang indah dan bahagia.

Sebuah komentar dari Wulan itu membuat darahnya sedikit berdesir. Tanpa berpikir panjang, dia langsung membalas komentar itu dan mengabaikan dua komentar dari dua kawannya yang lain yang masuk terlebih dahulu. Dua komentar lain yang masuk kemudian tidak sempat mendapatkan perhatian Rizbach yang memang sedang terfokus kepada Wulan.

Cinta, akan ku mulai dengan cinta, berjalan beriringan bersama kasih, tidak akan lagi tersembunyi sayang meski hanya terucap lirih.

Ditanggapi lagi oleh Wulan:

Cinta, memang ia akan buat kita gelisah, campur aduk dengan resah dan gundah, karena cinta selalu mendambakan sesuatu yang indah.

Rizbach yang tengah terhanyut pada kata-kata, mengabaikan suara-suara lain yang masuk.

Cinta, dia akan menunggu tanpa jengah, dia sedang rindu untuk bertemu, hasrat dan nafsu pun sedang ingin bercumbu. Tapi, kata-kata tidak akan mampu menjadi perantara, pikiran hanya akan melambungkan angan-angan. Cukuplah cinta ada pada dirinya.

Tidak segera ada jawaban dari Wulan. Terlalu banyak detik-detik jeda yang menganga untuk menunggu tanggapan dari itu. Tidak ingin waktu terbuang sia-sia hanya untuk menunggu, dia membuka empat komentar lain yang belum sempat dia baca.

Fajar Kristanto: Gathel, gathel. Maksudnya in-telek itu apakah berkubang dalam lumpur kotoran atau tahi ta bos, dalam arti, sebenarnya kita itu hanya sampah masyarakat, koar-koar doang tidak ada yang bisa dilakukan. in-telek karena kita sebenarnya tidak sungguh-sungguh belajar, kita sebenarnya bukan penuntut ilmu, kita itu hanya pengejar nilai, pengejar angka-angka yang membuat pikiran dan perasaan kita mati. in-telek, in-telek. Kalau terus-terusan bisa jadi in-tletong bos. Hahaha

“Wong edan!” umpat Rizbach pelan sambil tersenyum.

Susant Rickward: aku sedang pikirkan nih. Mikirin kamu.

“Tetap seperti ini arek iki,” gumam Rizbach sambil geleng-geleng kepala.

Putra Roma: dimulai dari sini saja bro. kalau mau, ini ada lowongan menjadi reseller produk-produk olahraga berkualitas. Mudah bro kerjanya. Hasilnya juga lumayan asalkan bisa memanfaatkan berbagai media yang ada. Kalau berminat langsung saja hubungi saya. Saya tidak ke mana-mana. Oke!!

Rizbach merasa tergiur dengan tawaran dari Putra Roma. Rizbach sendiri mengetahui sendiri bagaimana keuangan kawannya satu angkatan itu setelah menjadi pedagang. Berawal dari reseller yang hanya bermodalkan smartphone, kini kawannya itu telah mampu menyewa sebuah ruko di salah satu tempat strategis di kota kelahirannya, Kediri.

Tapi Rizbach juga tahu menjadi pedagang, apalagi reseller sebuah produk tidak semudah yang terlihat. Diperlukan sebuah kesabaran dan keuletan dalam menanggapi setiap kemauan pelanggan. Rizbach tahu benar kesulitan kawannya itu saat ternyata barang yang diterima pembeli tidak sesuai dengan pesanan.

Rizbach juga tahu bagaimana kawannya itu sampai bersungut-sungut ketika harus menghadapi pelanggan yang terlalu berbelit-belit dalam memutuskan pesanan. Dan, Rizbach juga tahu bahwa bidang ini bukan merupakan bidang yang sangat dia inginkan. Rizbach masih ragu dengan kemampuannya berdagang. Dia terlalu pendiam untuk itu.

Samuel Galli: Abang Jerat, orang kayak lu tu bakalan rugi kalau tak melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi dan tinggi lagi sampai bergelar profesor doktor. Masa kalah ma yang blo’on kayak gue. Ini nih bang, gue lagi ditawarin untuk lanjut Ph.D. Bukankah dulu kau juga berkeinginan untuk itu. bukankah dulu kau pernah kata sangat terinspirasi oleh seorang Ribut Wahyudi yang juga bergelar Ph. D. Sekarang, mana hasrat dan keinginan itu? Apakah sudah musnah?

Membaca komentar sahabat karibnya itu, Rizbach teringat dengan seorang Ribut Wahyudi. Dia adalah dosen favorit Rizbach. Dosen berkacamata, berkulit coklat gelap dan bertumbuh gemuk ini telah membantu Rizbach dalam menemukan bakat terpendamnya sebagai penulis handal.

Kebanyakan mahasiswa, teman-teman Rizbach dulu tidak akan mungkin menfavoritkan dosen seperti Ribut Wahyudi ini. Pasalnya, dosen yang satu ini terlalu tepat waktu, terlalu banyak memberikan tugas, hampir di setiap pertemuan selalu ada tugas, dan yang lebih dibenci oleh para mahasiswa, dia sangat ketat dalam memberikan nilai. Kalau berdasarkan kriteria evaluasi yang dia gunakan seorang mahasiswa tidak lulus, dia akan dengan sangat berani tidak meluluskan mahasiswa tersebut, meskipun ada tekanan dari ketua jurusan sekalipun.

Namun bagi Rizbach itulah letak keunggulan seorang Ribut Wahyudi, kejujuran dan profesionalismenya, selain juga kemampuannya dalam menjalin interaksi dengan mahasiswa ketika perkuliahan berlangsung. Rizbach pernah berandai-andai, jika harus menjadi seorang pengajar, dia sangat ingin menjadi seperti seorang Ribut Wahyudi.

Rizbach mengetik kata-kata tanggapan untuk Samuel Galli. Dia hendak menyampaikan bahwa baginya yang inspiratif dari seorang Ribut Wahyudi sebenarnya bukan terletak pada gelar akademiknya, tetapi pada kemampuan mengajar dan mendidiknya, kejujuran dan profesionalismenya.

Rizbach ingin mengutarakan kepada Samuel Galli bahwa gelar akademik yang tinggi bukanlah suatu jaminan bahwa orang tersebut memiliki kompetensi dan yang lebih penting dedikasi. Bukankah banyak sekali dulu dosen-dosen, para profesor doktor itu yang sering seenaknya sendiri seperti tidak tepat waktu, bahkan dalam satu semester tidak pernah sekalipun tatap muka dengan mahasiswa dengan alasan yang katanya terlalu sibuk.

Rizbach hendak mengingatkan Samuel Galli bahwa profesor doktor yang seperti itu adalah seorang yang egois, seorang yang hanya menginginkan nama, seorang yang berambisi dengan titel intelektual namun enggan menjadi agen sosial, malas berurusan dengan realitas masyarakat sekitar.

Rizbach telah menulis kata-kata untuk Samuel Galli itu dengan sangat baik. Pilihan kata, susunan kalimat, semuanya telah sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Dia membacanya sekali lagi dan kemudian dia tekan tombol ‘SEND’. Layar smartphonenya berubah meremang dan tepat di tengah-tengah layar lingkaran hijau kecil terus berputar-putar pertanda sedang ‘loading’.

“Lama sekali,” begitu pikir Rizbach. “Jangan-jangan…”

Terlalu lama menunggu, Rizbach membatalkan komentar tersebut. Dia langsung keluar dari aplikasi Blackberry Messenger itu dan mengecek kuota paket data yang tersisa.

“0 byte,” gerutu Rizbach. “Cepet banget.”

“Yo wis lah, bene,” lanjutnya kemudian.

Rizbach kembali mondar-mandir setelah meletakkan smartphone-nya itu di meja ruang tamu. Dia membayangkan menjadi seorang guru berambut gondrong yang berdiri di depan para murid. Dia menikmati saat-saat berinteraksi dengan para muridnya itu, bukan sebagai orang tua yang terus menerus mendikte dan memberikan tugas dan perintah, tetapi sebagai seorang teman yang saling berbagi ilmu pengetahuan satu sama lain. Pikir Rizbach, pasti akan sangat menyenangkan bisa menjalin pertemanan dengan anak-anak muda itu, tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Dengan begitu, secara tanpa sadar mungkin dia tidak akan bertambah tua.

Rizbach berhenti, berdiri mematung di tengah-tengah ruangan. Tangan kirinya mendekap perut dan tangan kanannya memegang dagu. Dia berpikir berinteraksi dengan anak-anak muda itu memang akan sangat menyenangkan dan menantang, tetapi menjadi seorang guru tidak hanya soal berurusan dengan para murid. Rizbach tahu bahwa menjadi seorang guru, di institusi pendidikan formal, berarti juga menjadi seorang pegawai yang harus berurusan dengan segala tetek bengek administrasi pendidikan. Dan, itu bagi Rizbach berarti tekanan. Atau, lebih dari itu penindasan. Rizbach tidak merasa bebas untuk melakukan itu.

Rizbach sudah sangat merasa bosan bahkan saat masih membayangkan dia harus menyusun RPP, atau membuat laporan evaluasi, dan harus menyerahkannya kepada kepala sekolah. Dia membayangkan kepala sekolahnya itu adalah seorang bapak berpeci hitam, bertubuh penuh lemak menggelambir, penuh dengan senyuman licik seorang penindas bawahan. Rizbach membayangkan, andai dia bisa menonjok orang seperti itu, pasti akan sangat melegakan mesti akhirnya hanya akan dikeluarkan.

Rizbach juga tidak tahan ketika membayangkan harus memangkas rambutnya hingga serapi mungkin, serapi penilaian orang-orang yang berkecimpung di dunia kepegawaian. Dia juga merasa bergidik ketika harus memakai seragam formal yang kainnya mudah membuat seluruh tubuh gerah. Membayangkan semua orang harus berpenampilan sama membuat dia muak, bahkan sedikit mual. Tapi itulah yang harus dilakukan oleh seorang guru yang juga menjadi seorang pegawai sebuah institusi atau lembaga formal. Apakah bisa menjadi seorang guru tanpa harus diserahi beban untuk menjadi seorang pegawai. Kalau ada, itulah yang akan menjadi tujuannya, begitu pikir Rizbach.

Merasa pusing memikirkan hal-hal tentang guru, Rizbach menuju kamar dan rebahan di atas kasur. Kedua tangannya menjadi bantal bagi kepala yang telah merasa berat penuh beban yang ingin segera dia ringankan, seringan mungkin. Tapi bagaimana mungkin, hidup itu sendiri saja sudah merupakan beban yang harus ditanggung oleh segenap manusia. Sedangkan, membayangkan kematian yang tersisa di dalam pikiran hanyalah ketakutan, kekalutan karena dunia ini, mau tidak mau harus diakui, penuh dengan keindahan dan kenikmatan yang akhirnya hanya akan ditinggalkan.

Hidup dengan segala kesenangan dan kegairahan di dalamnya itu sendiri saja juga sudah merupakan beban. Bayangan Rizbach tengah mendapati dirinya sendiri, dulu tatkala dia begitu bergairah dalam menciptakan, lebih tepatnya menulis karya-karya. Tulisan-tulisan itu terkadang begitu membelenggu kebebasannya sebagai seorang manusia. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah tulisan ini sudah bagus dan memenuhi estetika, apakah tulisan seperti ini layak diterbitkan, dan yang terutama adalah apakah tulisan seperti ini akan menghasilkan banyak pundi-pundi uang begitu menjerat kemerdekaan pikiran. Rizbach paham benar terkadang apa yang dia tulis bukanlah murni tulisan yang benar-benar dia inginkan, namun hanya tulisan yang mengikuti kehendak orang-orang, tulisan yang mengikuti kehendak pasar. Dan, dia sangat benci untuk mengakui itu sehingga tersisa beban moral di dalam pribadinya.

Meskipun begitu, menulis tetap menjadi gairah kehidupan yang utama baginya. Rizbach yakin benar bahwa tulisan merupakan cahaya kehidupan. Orang-orang yang tidak mengenal huruf, tidak mengenal tulisan itu bahkan disebut dengan buta. Mereka adalah orang-orang yang terjebak di dalam kegelapan. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa berbagai macam tulisan telah mampu menjadi pencerah bagi kehidupan manusia, menjadi batu loncatan bagi perkembangan peradaban manusia. Sebaliknya, orang-orang yang tidak mengenal tulisan hanya akan menjadi orang-orang yang kalah, orang-orang yang menjadi korban keberingasan perkembangan zaman. Tapi, kenapa harus selalu ada korban dari setiap perkembangan, kenapa orang-orang yang ingin terus berkembang itu tidak bisa menjalin keharmonisan hakiki dengan orang-orang yang sudah puas dengan apa adanya.

Kring… Kring… Kring

Nada dering berisik dan disertai dengan getaran-getaran itu membuyarkan perenungan Rizbach. Siapa juga yang pagi-pagi seperti ini meneleponnya. Tumben sekali. Rizbach yang penasaran dengan panggilan telepon itu segera bangkit, namun melangkah dengan sangat malas menuju meja di ruang tamu. Wajahnya tampak masam. Cahaya matanya begitu redup seperti orang yang tengah mengantuk. Namun, begitu meraih telepon itu dan mengetahui siapa yang memanggil, ekspresi di wajahnya berubah cerah. Sedikit senyuman terpancar dari keredupan.

“Halo!” kata Rizbach pendek. Dia kemudian mengaktifkan pengeras suara untuk panggilan itu.

“Halo juga!” suara seorang perempuan terdengar dari sana.

“Tumben?”

“Kangen.”

“Kangen?”

“Iya.”

Rizbach tersenyum. “Aku juga.”

“Sudah sarapan mas?”

“Ini sedang sarapan,” bohong Rizbach.

“Beneran?”

“Bener.”

“Sampean ndak sedang sakit kan?”

“Ndak,” jawab Rizbach. “Hanya sedang rindu.”

“Rindu?”

“Iya. Rindu.”

Perempuan di seberang sambungan tidak segera menyahut. Jeda yang tercipta di antara percakapan mereka menjadikan suasana lengang. Namun, tidak tersirat kecanggungan dalam diri Rizbach. Dia menikmati keheningan ini. Dia menunggu perempuan di seberang untuk kembali bersuara.

“Mmm…” perempuan di seberang terdengar menggumam.

“Mmm…” Rizbach hanya menirukan.

“Jelek tahu. Bisanya tiru-tiru. Imitasi.”

“Yang penting kan otentik,” kata Rizbach.

“Otentik?” sergah perempuan di seberang. “Maksudnya?”

“Tak ada maksud.”

Kembali, perempuan di seberang tidak segera menyahut. Kelengangan karena jeda yang tercipta kali ini tidak membuat Rizbach tenang. Rizbach merasakan sedikit kekhawatian di dalam dirinya. Dia takut perempuan di seberang merajuk dengan kata-kata pendeknya. Namun, dia tidak berinisiatif untuk memulai kata-kata. Dia lagi-lagi hanya menunggu.

“I love you,” kata Rizbach yang sudah tidak tahan dengan jeda yang berkepanjangan.

“Haa?” sahut perempuan di seberang.

“I love you, Wulan,” Rizbach mempertegas suaranya namun tidak kehilangan kelembutan darinya.

“Masa?”

“Demi masa, I love you. Tapi…”

“Kok ada tapi?”

“Tapi, ini aku mau mandi dulu.”

“Nyebelin banget sih?”

“Ya sudah. Beneran ini aku mau mandi dulu. Nanti aku telepon balik.”

Tanpa menunggu tanggapan dari Wulan, perempuan di seberang, Rizbach menutup panggilan itu. Namun, dia tidak menepati kata-katanya. Dia kembali mondar-mandir. Tidak jelas kali ini apa yang sedang dia pikirkan. Suara Wulan yang baru saja hadir di dalam ruang tamunya tadi membuat Rizbach kehilangan orientasi perenungan. Suara itu begitu memabukkan.

Berjalan kembali ke ruang tengah, Rizbach merasakan ruangan itu lebih dingin dan lembap daripada ruang tamu. Ruangan yang kurang mendapatkan pencahayaan itu dipenuhi dengan buku-buku yang bertebaran di tiga rak kayu yang dibuat sendiri oleh ayah Rizbach hampir 15 tahun yang lalu. Rak pertama yang bersandar di dinding yang menghadap ruang tamu berisi buku-buku cerita bahasa Jawa, buku-buku tentang seluk beluk agama, terutama yang berkaitan dengan tarekat Naqsabandiyah peninggalan kakek Rizbach.

Buku-buku peninggalan kakek Rizbach itu ditempatkan di dua baris teratas rak sebagai penghormatan kepada almarhum yang dulu juga dikenal dengan sebutan mbah guru. Dua baris terbawah adalah tempat khusus untuk buku-buku ayah Rizbach. Dia adalah seorang dosen bergelar doktor dalam bidang ilmu sejarah. Tidak mengherankan jika buku-bukunya berbicara banyak tentang sejarah. Beberapa judul di sana, bahkan adalah tulisannya sendiri.

Rizbach berganti memandang buku-buku yang berada di rak di sebelah kirinya. Di situlah koleksi buku-buku miliknya berada, memenuhi empat baris rak yang tidak memberikan celah sedikit pun. Buku-buku yang dia koleksi selama enam tahun kuliah itu berisi banyak tentang ilmu bahasa dan sastra, karya-karya sastra dan juga tentang filsafat. Dia mengambil salah satu buku di sana. Namun, dia hanya membolak-balik halamannya, menciumi aroma kertas yang terasa masih baru.

Buku yang berisi kumpulan esai yang ditulis oleh seorang seniman asal Blitar yang getol mengangkat tema tentang lokalitas itu, baru Rizbach dapatkan sebulan yang lalu. Dia sama sekali belum sempat membacanya. Dan, saat ini dia belum juga ingin membacanya. Dia hanya ingin mengamati koleksi-koleksi bukunya. Dia menginginkan koleksi bukunya itu bisa terus bertambah. Bukan untuk dia nikmati sendiri, namun untuk dibagi dengan orang-orang di sekitarnya.

Membayangkan tentang itu, terbersit sebuah ide mulia di dalam dirinya untuk menjadi seorang pustakawan. Dia membayangkan rumah tempat di mana dia tinggal ini bisa menjadi sebuah perpustakaan yang dikunjungi oleh berbagai kalangan. Seorang petani bisa memperoleh bacaan yang berhubungan dengan masalah-masalah cocok tanam. Seorang montir bisa menggali pengetahuan seputar dunia teknik mesin. Anak-anak bisa memanjakan diri dengan berkelana di cerita dunia anak. Akan sangat menyenangkan jika rumah yang sudah telanjur sepi dan ditinggalkan ini berubah menjadi ramai dan memberikan begitu banyak manfaat untuk masyarakat sekitar.

“Tapi, itu semua butuh banyak dana,” bisik hati Rizbach.

Dia kemudian teringat dengan salah satu pamannya, adik almarhum ibunya. Dia adalah seorang pengusaha batik berskala internasional yang memusatkan aktifitas perdagangan utamanya di tanah kelahirannya sendiri. Dia juga adalah seorang dermawan yang memfasilitasi banyak sekali anak muda kreatif di kampung halamannya ini untuk mengembangkan usaha. Hampir dua tahun lebih, Rizbach tidak bertemu dengan pamannya itu. Dan, dia merasa sangat tidak enak atau sungkan apabila tiba-tiba bertemu hanya membawa maksud untuk meminta uang.

“Kenapa harus sungkan jika itu untuk tujuan mulia?” pikir Rizbach. “Tapi apakah aku benar-benar menginginkan ini, menjadi seorang pustakawan. Ini adalah jenis pekerjaan yang lebih mengeluarkan uang, dan mungkin saja akan sangat atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan uang. Apakah aku sanggup seratus persen total di sini?”

Rizbach termangu. Manusia yang utama adalah seorang yang mampu mengabdi sepenuh dan setulus hati untuk kemanusiaan, tanpa pamrih apapun. Hanya saja, manusia itu memang tercipta seperti ini. Kalau perut ini sudah sedemikian lapar, apakah masih bisa setulus hati mengabdi. Mengabdi, apalagi mengabdi untuk kemanusiaan itu, bukan suatu perkara yang kecil. Dalam mengabdi juga dibutuhkan energi yang bisa didapat dari asupan-asupan gizi dalam makanan. Dan, makanan itu, entah instan atau masih dalam bahan mentah, semuanya harus dibeli, dengan uang. Uang itu bisa didapatkan dengan bekerja.

Rizbach tidak terlalu puas dengan jawaban itu. Bekerja memang akhirnya akan mendapatkan upah berupa uang. Tapi, bukankah uang itu sendiri seringkali malah membutakan. Orang yang sudah kaya tetap saja melakukan berbagai cara untuk menambah kekayaannya. Bahkan, untuk memperoleh kekayaan, orang-orang itu tidak peduli apabila kemanusiaan di dalam dirinya itu hilang dipertaruhkan dengan uang. Juga, saat berurusan dengan kekayaan, orang-orang yang mengaku beragama pun, tidak peduli jika harus melanggar nilai-nilai ketuhanan. Uang, kekayaan itu memang membutakan.

“Lantas, hidup di dunia ini seharusnya bagaimana?” muncul pertanyaan seperti itu dalam diri Rizbach dan buku-buku di hadapannya hanya menjadi pemandangan kosong.

“Hidup itu harus semangat, tapi jangan lupa pengendalian diri,” Rizbach teringat perkataan kakak sulungnya, Shafiyah Magdalena, yang saat ini tengah menempuh program doktor dalam bidang ekonomi di Universitas Indonesia.

“Hidup itu harus semangat. Semangat dalam mencapai tujuan kita, cita-cita kita. Untuk itu, pertama kali yang harus kita tetapkan adalah cita-cita kita, tujuan hidup kita. Dan, tujuan itu adalah tujuan yang positif, tujuan yang bermanfaat untuk dirimu sendiri dan juga orang lain. Jangan sampai, kita hidup itu hanya untuk menyenangkan diri dan tidak peduli dengan keadaan oang lain. Manusia yang seperti itu belum bisa disebut benar-benar manusia. Masih terlalu banyak sisi hewan di dalam dirinya. Nah, sisi hewan inilah yang harus dikendalikan. Karena jika sudah kelewat batas, sisi ini akan mengubah kita menjadi setan.”

“Nalurinya naluri hewan, berotak dan berpikiran seperti manusia, berhati dan berperangai setan. Sempurna!” komentar Rizbach.

“Sempurna dalam hal apa?”

“Kepicikannya.”

Rizbach kemudian berpindah ke rak buku di sebelah kanannya. Di sana adalah rak untuk buku-buku Shafiyah Magdalena. Buku-buku tentang teori-teori ekonomi berjejalan di sana. Buku-buku yang telah mengantarkan dia dalam memperoleh gelar sarjana dan juga magister.

“Jratu Rizbach, S. S, M. Hum, boleh juga,” gumam Rizbach.

Rizbach membayangkan kembali ke bangku perkuliahan, namun di tingkat yang lebih tinggi. Dia membayangkan bisa mengikuti sebuah perkuliahan yang diampu langsung oleh seorang profesor yang sangat mumpuni di bidangnya. Profesor yang sangat cerdas yang merangsang Rizbach untuk mendebat semua yang disampaikannya.

Dia juga dikelilingi dengan kawan-kawan yang juga memiliki antusiasme yang sama dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Setiap berhadapan dengan kawan-kawannya itu, dia membayangkan bisa begitu larut dalam diskusi dunia ilmu pengetahuan serta seluk beluknya. Dia membayangkan semua itu akan sangat menyenangkan.

“Namun, dapat uang darimana?” kembali Rizbach ragu-ragu tentang bayangan masa depannya sendiri.

Memikirkan tentang uang, bagi Rizbach, semua menjadi serba salah. Dia mengakui bahwa memang dia tidak punya uang yang cukup untuk melanjutkan studi di jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan, jika harus meminta kembali kepada bapaknya, dia merasa sangat sungkan.

Sepanjang hidupnya, bapaknya telah dengan sukarela menafkahi kebutuhannya. Sementara dia sendiri, apa yang sudah dia berikan kepada bapaknya. Tidak ada kecuali hanya setitik cinta yang dia ungkapkan melalui senyuman dan sedikit tata krama kesopanan yang lebih dibandingkan kepada orang manapun.

“Mbuh wis, kenapa juga terlalu dipikirkan. Mengalir saja lah,” kata-kata itu mengalir bersamaan dengan hembusan asap pertama dari rokok yang baru dinyalakannya. Dengan itu, berarti Rizbach telah berserah. Dan itu, bukan berarti dia menyerah.

***************************************

Cerpen ini pertama kali dimuat pada:

https://sastratepian.blogspot.com/2019/01/in-telek-sosial-bagian-i.html