Beberapa tahun terakhir, pengusaha UMKM mulai secara serius menerapkan strategi bisnis yang memanfaatkan kekuatan media sosial dan Internet, untuk menciptakan pasar baru sekaligus memenangkan persaingan usaha yang semakin kompetitif di ranah off line.
Internet dan media sosial menambah ruang pemasaran yang lebih luas bagi pelaku usaha mikro untuk mengembangkan bisnisnya di daerah-daerah. Penggunaan media sosial seperti Twitter, Facebook, Skype, Line, WhatsApp, dan media sosial lainnya untuk layanan bisnis juga dinilai mampu menguntungkan konsumen.
Sejauh ini, belum diketahui secara spesifik seberapa besar dampak internet dan media sosial bagi perekonomian di daerah, tempat pelaku bisnis UMKM menjalankan usaha.
Rafitrandi dan Fadhil (2018) dalam situs web theconversation.com mencoba menganalisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 dan Potensi Desa (Podes) 2014 yang mencakup lebih dari 70.000 desa dan 500 kabupaten dan kota di Indonesia.
Hasil analisa mereka menemukan bahwa daerah yang memiliki kualitas infrastruktur yang baik dan tingkat penetrasi Internet dan media sosial yang tinggi, berasosiasi dengan pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi.
Memahami digitalisasi yang masif didengungkan oleh berbagai kalangan, tentu harus bisa dimanfaatkan oleh pelaku UMKM secara optimal.
Sedikit mundur kebelakang, artikel ini mencoba menelaah dua pertanyaan: Apa yang dimaksud UMKM? Bagaimana tantangan dan peluang UMKM memasuki proses digitalisasi berbasis internet dan media sosial?
Siapa UMKM?
UMKM merupakan bentuk bisnis yang paling dominan di Indonesia. Menurut Kementrian Negara Koperasi dan UKM dan Bank Indonesia, usaha mikro didefinisikan sebagai bisnis yang memiliki aset bersih kurang dari Rp.50 juta dan kurang dari Rp.300 juta untuk total penjualan per tahun.
Sedangkan usaha kecil adalah usaha yang memiliki asset bersih antara Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 500 juta atau memiliki total penjualan per tahun antara Rp.300 juta sampai dengan Rp. 2,5 miliar. Usaha Menengah adalah usaha yang memiliki asset bersih dari Rp. 500 juta hingga Rp. 10 miliar atau total penjualan per tahun dari Rp. 2,5 miliar hinga Rp. 50 miliar.
Di Indonesia terdapat kurang lebih 57 juta UMKM dengan penyerapan jumlah tenaga kerja sekitar 108 juta orang. (BPS, 2014). Tidak hanya di Indonesia, di sebagian besar negara di Asia, UMKM juga memiliki peranan yang sentral.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asia Development Bank (2014), di wilayah Asia, UMKM menguasai sebanyak rata-rata 96 persen dari jumlah perusahaan secara total dengan tingkat pertumbuhan sebesar 5 persen setiap tahunnya.
Peran UMKM juga tidak berhenti pada kemampuannya menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan pendapatan yang diperoleh masyarakat dapat meningkatkan daya belinya. Peningkatan daya beli ini akan mendorong peningkatan terhadap produk maupun jasa.
Dalam memenuhi peningkatan permintaan masyarakat ini, maka dibutuhkan lebih banyak aktivitas produksi sehingga secara tidak langsung produktivitas ekonomi di suatu negara menjadi meningkat.
Digitalisasi Internet dan Media Sosial; Peluang Besar UMKM
Data populasi UMKM di Indonesia menunjukkan jumlah yang sangat besar. Meskipun jumlah UMKM di Indonesia sangat besar, namun keterlibatan UMKM dengan teknologi digital ‘masih tergolong rendah’.
Srirejeki (2016) dalam jurnal berjudul “Analisis Manfaat Media Sosial Dalam Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM)” mengutip hasil Penelitian yang dilakukan oleh Newby, Nguyen dan Waring (2014), menunjukkan bahwa ukuran perusahaan mempengaruhi pengadopsian teknologi komunikasi dan informasi dalam kegiatan bisnis. Lebih banyak perusahaan besar yang menggunakan TIK dalam bisnis mereka dibandingkan dengan perusahaan UMKM.
Penggunaan teknologi komunikasi dan informasi pada perusahaan besar yang lebih banyak dibandingkan dengan UMKM tidak lepas dari kemampuan finansial yang berbeda antara kedua jenis usaha tersebut.
Perusahaan besar memiliki sumber daya baik finansial maupun kemampuan dan keahlian yang lebih baik dibandingkan dengan UMKM.
Temuan tersebut tentu telah mengalami banyak perubahan. Dimana sejalan dengan berkembangnya berbagai aplikasi media sosial, sektor UMKM juga memperoleh kemudahan akses TIK. Terutama dengan adanya teknologi berbasis web 2.0 yang memudahkan penciptaan user-generated content.
Teknologi media sosial berkembang dalam beragai bentuk. Merujuk Kaplan dan Haenlein (2010), mereka mengelompokkan aplikasi media sosial menjadi enam jenis. Pertama adalah website yang memungkinkan penggunanya untuk mengubah, menambah ataupun menghapus konten yang ada dalam website.
Kedua adalah blog dan microblog, yang memberikan kebebasan pada pengguna untuk mengekspresikan sesuatu di blog, contohnya adalah twitter.
Ketiga adalah konten, yaitu aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk saling berbagi informasi (konten) baik berupa video, e-book dan gambar, contohnya adalah youtube, instagram.
Keempat adalah situs jejaring sosial, yaitu aplikasi yang menghubungkan para pengguna situs jejaring sosial untuk saling terhubung dan berbagi informasi baik informasi umum maupun privat, contohnya adalah facebook.
Kelima adalah virtual game world, yaitu aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk mereplikasi lingkungan dalam bentuk tiga dimensi (3D) untuk berinteraksi dengan orang lain seperti halnya di dunia nyata, contoh aplikasi ini adalah game online.
Keenam, yaitu virtual social world yang memiliki konsep yang hampir sama dengan virtual game world namun dalam konteks yang lebih bebas, contohnya adalah aplikasi second life.
Munculnya media sosial tentu menjadi kesempatan yang sangat baik bagi UMKM terutama karena tidak dibutuhkan modal yang besar untuk dapat menggunakan media sosial tersebut dan beragam manfaat yang dapat diperoleh apabila dapat menggunakannya secara optimal.
Jangkauan bisnis UMKM biasanya hanya terbatas pada wilayah dimana UMKM tersebut berada, namun dengan media sosial tidak lagi ada kendala untuk mempromosikan produk maupun jasanya dalam lingkup wilayah yang lebih luas.
UMKM dapat menggunakan forum, blog, grup dan media sosial yang lain untuk menjalin hubungan dengan pelanggan, pemasok dan pihak-pihak penting lainnya. Salah satu keuntungan terbesar dari penggunaan media sosial bagi bisnis adalah para pebisnis dapat menarik perhatian konsumen secara luas dengan biaya yang sangat minim bila dibandingkan dengan media konvesional.
Penghematan biaya ini menjadi daya tarik utama yang bisa ditawarkan oleh media sosial bagi pebisnis, terutama pebisnis pemula dengan keterbatasan modal. Selain itu penggunaan media sosial juga sangat mudah dan memiliki aksesibilitas yang tinggi.
Penelitian Purwidiantoro dkk (2016) berjudul “Pengaruh Penggunaan Media Sosial Terhadap Pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM)” menunjukkan bahwa penggunaan media sosial pada UKM membantu meningkatkan volume penjualan.
Peningkatan penjualan paling banyak dirasakan UKM sebesar 10-50%. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa media sosial adalah sebagai alat pemasaran produk atau jasa selain sebagai wadah interaksi dengan pelanggan untuk mencoba untuk memecahkan masalah mereka sendiri.
Penggunaan media sosial dapat meningkatkan jumlah penjualan UKM hingga lebih dari 100%, tapi sebagian besar peningkatan penjualan masih kurang dari 50%.
Berdasarkan hasil observasi terhadap UKMdan media sosialyang digunakan, UMKM yang berhasil meningkatkan penjualan hingga lebih dari 100% karena menggunakan media sosial sebagai ujung tombak pemasaran dan komunikasi informasi UKM.
Selain itu, UKM tersebut selalu melakukan update informasi produk dan perusahaan setiap hari. Sedangkan UKM dengan peningkatan penjualan kurang dari 50%, sebagian besar karena relatif jarang untuk melakukan update informasi dengan frekuensi update mingguan bahkan bulanan.
Dalam penelitian Rafitrandi dan Fadhil (2018) yang berjudul “Value to the Society and the Importance of an Enabling Regulatory Framework”, disebutkan bahwa selain kemampuan pemanfaatan media sosial oleh pelaku UMKM, faktor penting lain adalah faktor infrastruktur pendukung jaringan internet di daerah. Kualitas Base Transceiver Station (BTS) di desa atau kecamatan, menjadi salah satu variabel penting dalam pertumbuhan ekonomi di daerah.
Riset tersebut mengestimasi peningkatan 10% kualitas jangkauan sinyal berasosiasi dengan penambahan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang mencapai 0,92% di kabupaten dan kota. Percepatan rencana pemerintah menambah jangkauan BTS akan semakin memperkuat terealisasinya potensi ini.
Percepatan ini tentu menjadi penting ditengah fakta bahwa perkembangan infrastruktur digital di Indonesia, menjadi salah satu tantangan terbesar bagi pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.
Pada tahun 2015, Global Competitveness Index melaporkan bahwa 15,8 persen dari total populasi Indonesia, masih dibawah Singapur (73 persen), Malaysia (67 persen), Vietnam (43,9 persen). Kecepatan koneksi internet Indonesia juga masih berada di peringkat bawah dunia.
Melihat tren ini, pemerintah melalui Kominfo mentargetkan pada tahun 2020 akan ada enam juta UMKM yang ‘go digital’. Dengan ekspektasi transaksi e-commerce Indonesia mencapai Rp. 1850 triliun.
Terakhir, di tengah perkembangan teknologi dan ekonomi digital di Indonesia, penting bagi pemerintah guna memberikah kepastian regulasi. Jika dilihat dari sisi usaha, regulasi merupakan faktor pendukung dalam menciptakan ekosistem digital yang kondusif. Selain itu, regulasi juga dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum bagi konsumen, yaitu pengguna layanan digital.