Penulis: Ghofiruddin (Pegiat sastra dan literasi Trenggalek)
Setiap orang mendambakan kedamaian di dalam hidupnya. Mereka ingin hidup tenteram tanpa adanya kerumitan-kerumitan yang mengaduk-aduk pikiran atau ketersesakan yang membelenggu kebebasan perasaan.
Namun ternyata anugerah berupa kehidupan ini tidak pernah se-sederhana itu, seolah-olah pikiran ini adalah sebuah alat yang canggih yang secara otomatis tiba-tiba masuk ke alam manusia dan mengaktifkan kegiatan berpikir kita. Tanpa persetujuan kita.
Begitu pula dengan perasaan; aktifitas merasa, mulai dari yang paling dasar hingga yang paling kompleks bukanlah sesuatu yang bisa diaktifkan atau dinonaktifkan sesuai kehendak manusia.
Di sana terdapat sebuah keterikatan antara dunia yang bersifat internal dengan dunia yang bersifat eksternal. Dan, untuk menemukan kedamaian yang hakiki diperlukan sebuah usaha maksimal untuk memadukan keduanya, atau dengan kata lain untuk mengharmoniskan kedua dunia itu.
Usaha untuk mengharmoniskan kedamaian internal maupun eksternal dapat dimulai dengan mendefinisikan pengertian tentang keduanya. Pendefinisian atau pembatasan ini mutlak diperlukan untuk dapat menentukan persamaan sekaligus perbedaan yang terdapat di dalam keduanya.
Dengan mengetahui persamaan arah yang akan diemban keduanya, manusia akan lebih jelas dalam mewujudkan keterpaduan.
Sedangkan dengan mengetahui perbedaan keduanya, pertimbangan-pertimbangan pikiran yang akan muncul berikutnya dapat digunakan untuk menentukan skala prioritas, bagian mana yang harus didahulukan, atau bagian mana yang boleh ditinggalkan untuk mewujudkan sebuah keharmonisan yang bersifat luar-dalam diri.
Maka, kedamaian internal adalah kedamaian yang berada di dalam diri manusia. Kedamaian ini bersifat kejiwaan atau perasaan, atau boleh dikatakan kedamaian internal adalah kedamaian yang bersifat individual.
Ada yang mengatakan bahwa kedamaian yang semacam ini adalah kedamaian batin yang sesungguhnya di mana kedamaian ini tidak terikat dengan suatu keadaan atau situasi yang berada di luar diri manusia.
Kedamaian semacam ini adalah tentang merasa, tentang sebuah proses latihan manipulasi yang dilakukan oleh pikiran dalam menyikapi segala keadaan yang datang di dalam kehidupan.
Saat berhadapan dengan keterdesakan, kedamaian jenis ini akan mengaktifkan kegiatan manipulasi di dalam pikiran untuk tetap tenang, dengan kata lain untuk tetap bersabar.
Sebab tanpa kesabaran, maka yang datang kemudian adalah amarah berkobar yang dapat membuat sebuah masalah semakin besar. Begitu juga sebaliknya, saat datang kelapangan, pikiran mampu melakukan pengondisian untuk tetap tenang, untuk melakukan segala perencanaan matang terhadap segala perbendaharaan yang telah didapatkan.
Hal yang demikian adalah sebuah kesabaran yang disertai dengan rasa syukur untuk tidak terjebak dan larut dalam gaya hidup bermewahan yang berlebihan. Sebab, kedamaian ini mengantarkan pada tingkatan pengetahuan bahwa hidup ibarat roda, di dalam kehidupan ini ada sebuah keterjungkiran yang menunggu di balik sebuah semak-semak gelap;
‘atau sebuah ketergilasan yang hanya mampu dihayati dengan sebuah ketidakberdayaan yang mutlak.’
Meskipun demikian, ketidakberdayaan mutlak sering mengarah pada kerentanan baru, seperti yang didendangkan oleh seorang musisi ketika ia menyanyikan sepenggal lirik
“Oh Tuhan sampai kapan harus kucari kedamaian hati, mewarnai hidupku.”
Dan itulah kenyataan kedamaian di dalam hati, ia adalah sesuatu yang harus dicari dan terus dicari.
Kedamaian di dalam hati itu bukanlah sesuatu yang ketika sudah didapatkan akan terus menetap di kedalaman. Pikiran yang rentan akan senantiasa berjibaku untuk memanipulasi atau membohongi keadaan diri.
Namun ini bukanlah sebuah kebohongan seorang munafik. Kebohongan ini hanyalah sebuah proses penegaran diri untuk tidak terpuruk ke dalam sebuah lubang hitam.
Seorang yang damai adalah seorang yang tetap mampu memberikan inspirasi atau teladan dalam keadaan apapun, suka maupun duka, lapang maupun terkekang. Dan, dari semua itu tidak ada yang lebih mendamaikan kecuali penghayatan terhadap suatu eksistensi yang tertinggi, yaitu Tuhan bagi diri untuk bersandar dan menggantungkan harapan.
Pada suatu esensi yang menjadi daya dorong untuk melakukan pemberontakan-pemberontakan melawan ketidakadilan yang berkuasa di dunia, yang menghambat berbagai usaha menciptakan sebuah kedamaian nyata.
Kedamaian nyata itulah yang dimaksud dengan kedamaian eksternal. Kedamaian yang satu ini berkaitan dengan hubungan antarmanusia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi yang ada di luar manusia, seperti kondisi ekonomi dan lingkungan tempat di mana manusia hidup mampu memberikan pengaruh terhadap kedamaian jiwa, dan ini berlaku untuk kebanyakan manusia yang hidup di muka bumi ini.
Hanya segelintir mungkin dari seluruh manusia yang tinggal di permukaan bumi ini yang mampu mencapai kedamaian hanya dengan mengandalkan manipulasi pikiran dan rasa.
Selebihnya adalah kita, orang-orang biasa yang membutuhkan perhatian luar-dalam untuk mencapai keharmonisan atau kedamaian yang sesungguhnya..!
Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa kedamaian itu hanyalah urusan pengendalian rasa, dan menafikan kenyataan yang berada di luar dirinya dan bahkan kemudian tidak peduli dengan keadaan itu maka pantaslah orang-orang ini disebut egois, kedamaian hanya miliknya dan tidak ada selain dirinya; sehingga menyebabkan merajalelanya ketidakadilan.
Selama ketidakadilan masih bersimaharaja, maka keadilan nyata ini tidak akan pernah ada. Yang ada hanyalah kedamaian-kedamaian parsial yang dimiliki hanya oleh segelintir orang.
Berkaitan dengan hal ini ada sebuah judul lagu yang menggelitik;
Peace Sells but Who’s buying?
Kedamaian dijual, tetapi siapa yang akan membeli? Tentu saja yang akan membeli adalah orang-orang kaya yang hartanya didapatkan dari sebuah mekanisme penumpukan atau monopoli yang tidak adil.
Kedamaian dijadikan sebuah komoditas yang menggiurkan karena setiap orang mendambakannya.
Oleh sebab itu, kedamaian harus dijadikan sebuah barang langka supaya harganya membubung tinggi.!!
Caranya adalah dengan monopoli ekonomi dan perang. Bisa juga dengan monopoli ekonomi dengan tujuan secara bertahap untuk mengadakan peperangan, yang ketika segenap kubu yang bertarung telah kehabisan ‘bahan bakar’, maka dalam ketidakberdayaan, pihak yang kalah dan lemah akan bergantung kepada mereka yang sangat berkuasa.
Dan, mereka yang sangat berkuasa selanjutnya akan terus mengeruk keuntungan di dalam kondisi ke-stabil-an yang semu dan hambar.
Orang-orang kaya dimanjakan, dan orang-orang miskin dijadikan budak untuk menyokong sebuah peradaban bayangan yang tidak berperikemanusian dan tidak berperikeadilan.
Maka: “Orang-orang kaya hidup di dalam surga, dan orang-orang miskin adalah penghuni neraka dunia yang hina.”
***************
Lantas, di manakah atau adakah kedamaian sejati itu?
Setiap derap langkah manusia selalu digerakkan oleh yang namanya nafsu. Dan nafsu itu tidak mendamaikan meskipun ialah yang membuat kehidupan ini lebih beraneka warna.
Sementara itu, guna menetapkan ‘batas’ diperlukan usaha yang sangat keras dalam berpikir yang mungkin saja bisa menguras kedamaian yang ada di dalam diri.
Namun berdiam diri dan acuh tak acuh adalah sebuah tindakan pura-pura yang bodoh. Dan tidak lain hanya akan menarik kita pada berbagai pelampiasan yang merugikan.
Maka, kesimpulannya jalan yang paling terang untuk menuju kedamaian adalah dengan menerima, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia manusia adalah tentang peperangan abadi untuk menuntaskan sebuah perputaran yang tidak akan pernah tuntas.
Setiap individu adalah kepingan berbentuk roda-roda kecil yang saling terpaut satu sama lain. Saling terhubung, saling mempengaruhi.
Sehingga, harmoni dan kedamaian nyata yang hanya bisa dimasuki oleh jiwa-jiwa bebas; jiwa-jiwa yang segan untuk ditindas, berani melawan ketertindasan, namun juga merasa malu untuk meninggi dan menindas.
Artikel sastra ini pertama kali dimuat pada:
https://sastratepian.blogspot.com/2019/03/kedamaian.html
DIterbitkan ulang pada laman web ini guna edukasi dan publikasi lebih luas.