Penulis: Luthfi Hamdani (Tim Redaksi Indonesia Imaji)

Dominasi gaya ekonomi neoliberal (pasar bebas) salah satunya didukung oleh asumsi bahwa egosime dan kepentingan pribadi (self-interest) merupakan sumber utama pendorong perilaku manusia sebagai makhluk ekonomi untuk melakukan proses maksimalisasi utilitas dan laba. Dalam sistem ini, manusia kemudian diasumsikan sebagai “homo economicus”; sosok makhluk rasional yang selalu menghitung dan memprediksi pencapaian hasil dari tindakan yang akan ia ambil (Rahmat dan Yustika, 2017:46). Dalam kegiatan ekonominya, manusia dianggap selalu menghitung berdasarkan kalkulasi untung-rugi. Setiap pilihan didasarkan pada keuntungan bersih (net-benefit) yang dihasilkan. Pilihan selalu dijatuhkan pada alternatif yang menghasilkan net benefit lebih besar. Sehingga, manusia ekonomi (Homo Economicus) adalah manusia yang selalu berusaha memaksimalkan laba (maximum profit oriented). (Rahmat dan Yustika, 2017:46)

Sementara itu, Urbina dan Villaverde (2019) menuliskan ada lima dimensi homo economicus menurut perspektif ekonomi neoklasik:

  1. Individualisme: Individu hanya berpikir, memutuskan, dan bertindak sesuai dengan minat mereka sendiri. Skema Homo Economicus yaitu “mengasumsikan bahwa manusia secara atomis mementingkan diri sendiri”
  2. Perilaku pengoptimalan (optimizing behavior): Manusia akan secara instan mengkalkulasi kesenangan dan rasa sakit, biaya dan manfaat, dan selalu berusaha mendapatkan hasil terbaik yang diberikan oleh sarana yang mereka miliki. Dengan demikian, teori pilihan konsumen (consumer choice theory) menyatakan bahwa konsumen berusaha memaksimalkan utilitas dalam kondisi keterbatasan anggaran, dan teori perusahaan (the teory of the firm) menyatakan bahwa wirausahawan berupaya memaksimalkan kemungkinan laba dari biaya produksi yang diberikan.
  3. Rasionalitas penuh: Individu memiliki kapasitas penuh untuk memproses informasi yang tersedia dengan baik (Simon 1986). Sehingga yang bisa dipahami adalah bahwa individu secara rasional memproses semua informasi yang tersedia. Dengan kata lain, mereka harus benar-benar obyektif mengenai karakteristik opsi yang digunakan dalam membuat keputusan, tanpa jatuh ke dalam bias kognitif apa pun.
  4. Universalitas: Validitas universal dari postulat homo economicus sebagai model perilaku (harus bisa) dipertahankan dalam segala aspek. Jadi, universalitas ini akan berlaku untuk semua jenis perilaku manusia di setiap waktu dan tempat. Tidak ada masyarakat atau individu yang dapat melarikan diri dari skema homo economicus ini. Sebagaimana dianjurkan oleh Gary S. Becker (1981: ix): “Pendekatan ekonomi tidak hanya terbatas pada barang-barang materiil dan keinginan atau pada pasar dengan transaksi moneter, dan pendekatan ekonomi secara konseptual tidak membedakan antara keputusan besar dan kecil atau di antara keputusan emosional dengan keputusan lainnya. Memang … pendekatan ekonomi memberikan kerangka kerja yang berlaku untuk semua perilaku manusia, untuk semua jenis keputusan dan untuk orang-orang dari semua lapisan masyarakat.”
  5. Preferensi eksogen: Ekonomi neoklasik menganggap preferensi diberikan secara eksogen (Bowles dan Gintis 2000). Agen terlibat dalam interaksi ekonomi dengan preferensi yang ditentukan yang proses pembentukannya di luar ruang lingkup ekonomi. Dalam ekonomi neoklasik, ada juga “konsepsi tentang tindakan manusia yang bebas dari interaksi”. Dalam konteks ini, diasumsikan bahwa agen pasti konsisten ketika mereka memilih preferensi mereka; maksudnya, preferensi harus memenuhi sifat matematis tertentu: mereka harus lengkap, transitif, dan monoton.

Urbina dan Villaverde (2019) kemudian dalam bukunya menuliskan kritik pada asumsi homo economicus melalui lima pendekatan, yaitu: Behavioral economics, Institutional economics, Political economy, Economic anthropology, Ecological economics. Dari pendekatan behavioral economic, Urbina dan Villaverde (2019) menuliskan bahwa individu diketahui tidak selalu mengembangkan perhitungan komputatif ketika membuat keputusan, pengetahuan ini yang selanjutnya membawa kita untuk mempertanyakan ide optimasi mekanistik ala homo economicus. Faktor nonkognitif seperti budaya, emosi, atau imitasi juga mempengaruhi rasionalitas individu. Inilah sebabnya, Herbert A. Simon (1947, 1955)  memperkenalkan asumsi rasionalitas terbatas dalam pemodelan ekonomi, yang memilih memperlakukan kepuasan (bukan optimisasi) sebagai pusat dari motivasi dalam studi pilihan rasional.

Sementara itu, Peraih Nobel Richard Thaler (1980) menggambarkan total 10 jenis masalah dimana konsumen sangat rentan untuk menyimpang dari prediksi model normatif homo economicus. Thaler menyimpulkan bahwa model perilaku konsumen neoklasik telah gagal dalam memprediksi perilaku optimisasi rata-rata konsumen. Hal ini bukan karena konsumen bodoh; sebaliknya, tetapi konsumen melakukannya sebab tidak menggunakan seluruh waktu mereka untuk membuat keputusan terbaik. Selanjutnya, masih menurut Urbina dan Villaverde (2019), ekonom perilaku (behavioral economists) lain yang lebih berfokus pada kritik individualisme, menemukan bukti bahwa individu tidak berperilaku murni dengan cara-cara mementingkan diri sendiri. Dari penggunaan metode eksperimental yang diterapkan pada bidang ekonomi (misalnya eksperimen barang publik, dilema tahanan, permainan diktator, permainan ultimatum), para peneliti telah menemukan bahwa individu cenderung bekerja sama secara sukarela dengan pemain lain yang memperlakukan mereka dengan adil, serta cenderung menghukum mereka yang tidak mau bekerja sama, temuan ini menunjukkan kuatnya efek “timbal balik antar individu”.

Guna memberikan kritik pada asumsi homo economicus dari pendekatan ekonomi-politik (political economy), Urbina dan Villaverde (2019) mengutip pendapat dari dua tokoh, yaitu Adam Smith dan Karl Marx. Adam Smith menekankan pentingnya konteks dalam perilaku individu. Misalnya, aturan yang diterapkan dalam hubungan berorientasi pasar di antara individu yang nilainya tidak diketahui berbeda dari aturan yang digunakan di institusi lain seperti keluarga. Menurut Smith, fitur utama dari lingkungan pasar adalah interaksi antara individu yang didorong oleh kepentingan pribadi; Namun, ini tidak berarti kepentingan  tersebut adalah satu-satunya perilaku untuk membimbing perilaku manusia. Pasar adalah bagian dari sistem norma sosial bersama yang lebih besar dimana kepatuhan atau ketidakpatuhan akan melibatkan proses persetujuan atau ketidaksetujuan. Karya Smith berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” sering digunakan untuk membenarkan adanya perilaku individualistis dan mementingkan diri sendiri yang mendasari gagasan homo economicus. Namun dalam karyanya yang lebih jarang disebut, “The Theory of Moral Sentiments” (1759), Smith sebenarnya telah lebih dulu menggambarkan lebih banyak gambar yang lebih lengkap tentang perilaku manusia, sebagaimana dikutip di atas.

Sedangkan Menurut Marx, gagasan manusia ekonomi (homo economicus) pada dasarnya sesuai dengan deskripsi perilaku yang dimunculkan oleh kapitalisme (Marquardt dan Candeias, 2004 dalam Urbina dan Villaverde, 2019). Karenanya, manusia ekonomi merupakan konstruksi sosial dari mode produksi kapitalis, dan tipe antropologi dan perilaku ini tidak akan bersifat “universal”; tapi sebaliknya, di bawah bentuk lain dari organisasi sosial-ekonomi, perilaku manusia akan berbeda. Dalam gagasan komunisme yang diusungnya, Marx kemudian memberikan klaim bahwa keterasingan (alienasi) yang disebabkan oleh keegoisan tidak akan pernah ada.

 

“Kematian” Homo Economicus

Di akhir pemaparannya, Urbina dan Villaverde (2019) menyimpulkan bahwa skema homo economicus ala ekonomi neoklasik jelas tidak memadai dan kurang menggambarkan kompleksitas perilaku manusia. Dari studi ekonomi perilaku (behavioral economic) telah menunjukkan bahwa tidak ada rasionalitas atau kriteria sempurna untuk optimisasi; sebaliknya, persepsi dan keputusan kita secara sistematis dipengaruhi oleh bias dan keterbatasan kognitif. Dari perspektif hubungan sosial dan kekuasaan (ekonomi politik) ditemukan bahwa individu tidak hidup secara terpisah dan secara mandiri. Manusia ada dalam kelompok sosial atau kelas yang di dalamnya ada skema hierarkis. Sifat mementingkan diri sendiri dari homo economicus juga tidak universal; sebaliknya, sifat itu adalah konstruksi sosial dari kapitalisme itu sendiri. Terakhir, dari visi yang lebih luas tentang konsepsi manusia sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar (ekonomi ekologis), diketahui bahwa lingkungan hidup bukan sebagai sesuatu yang eksogen yang dapat diatasi sebagai masalah tambahan dalam teori ekonomi. Sebaliknya, lingkungan hidup seharusnya dianggap endogen, sebagai sesuatu yang perlu secara konsisten ditangani dari perspektif holistik dan bukan berdasar dari skema neoklasik yang begitu terbatas.

Peter Fleming dalam bukunya “The Death of Homo Economicus” (2017) menuliskan bahwa bagi para ekonom neoklasik, Homo Economicus, atau manusia ekonomi, mewakili gambaran karyawan ideal: (ibarat) lebah pekerja yang energik yang merupakan pembuat keputusan yang rasional namun kompetitif. Namun dari sudut pandang yang lain, kita bisa memandang konsep homo economicus ini sebagai orang gila kerja yang sikapnya ‘dingin’ dan egois tanpa henti mencari akumulasi uang dan kemajuan – suatu representasi kapitalisme yang mengerikan. Atau mungkin, seperti yang dikemukakan Peter Fleming, Homo Economicus sebenarnya tidak ada sama sekali.

Lebih lanjut, Fleming berpendapat bahwa sebagai model manusia (hasil ciptaan atau konstruksi), Homo Economicus pada kenyataannya adalah alat yang digunakan oleh para ekonom dan kelas kapitalis untuk mengelola dunia sosial kita melalui negara, bisnis, dan bahkan keluarga. Sebagai pekerja, kita dihantui dengan pengingat terus-menerus bahwa kita harus selalu berusaha menuju kepribadian ideal ala Homo Economicus ini. Secara tersirat dan kadang-kadang secara terang-terangan dinyatakan bahwa jika kita tidak melakukannya maka kita termasuk manusia yang gagal. Ironisnya, menurut Fleming, orang-orang yang paling sering didorong untuk meniru model ini adalah mereka yang cenderung paling gagal karena keadaan sosial ekonomi mereka: orang miskin, pengangguran, pelajar, dan tahanan (h.99). Homo economicus adalah faktor utama untuk memelihara dan menyebarkan pesan maksimalisasi utilitas, terutama varian individualistisnya. Karena model ini, kita sering lupa betapa dunia kita telah ditranskodekan secara berlebihan menjadi serba uang.

Menurut Fleming lagi, resep perilaku Homo Economicus ini berasal dari gagasan John Stuart Mills, para pengikut Adam Smith dan Vilfredo Pareto. Homo Economicus yang dipahami sebagai model manusia yang dianalogikan ‘binatang pemburu dolar’ (dollar hunting animal) terwujud dalam diri manusia bersamaan dengan munculnya kapitalisme neoliberal yang fokus utamanya pada pengembangan individualisme dan perluasan perusahaan (h.98). Fleming mengingatkan bahwa cara-cara di mana homo economicus sebagai konstruksi proyek ekonomi neoklasik telah menjadi berantakan akhir-akhir ini. Mengutip karya dari Hayek dan Becker, manusia kemudian tidak lagi mendekati perilaku homo reciprocans (manusia timbal balik tanpa transaksi) atau homo politicus (manusia politik), atau tidak lagi peduli pada garis dasar mereka sebagai homo biologicus (manusia biologis yang hidup dalam suatu ekosistem yang harus selalu dirawat). Sebaliknya manusia sebagai homo economicus didorong menaati prinsip utilitas murni dari uang, diartikulasikan melalui matriks moral pilihan rasional, serta terus-menerus melakukan akumulasi kekayaan dan peningkatan daya saing egosentris. Uang dan kerja karena itu telah menjadi bentuk kelembagaan sentral dalam masyarakat yang diselenggarakan oleh manusia homo economicus.

Apa yang kemudian harus diselesaikan? Fleming mengajak memilih melakukan ‘perampasan radikal dari ruang publik’ (radical deprivatisation of the public sphere), mendukung penerapan dari beberapa versi pendapatan dasar universal (universal basic income) dan adanya persekutuan masyarakat untuk menuntut hak-hak universal pekerja. Selain tentu mengajak manusia kembali memahami beragam dimensi dalam hidupnya, bukan sekadar ekonomi.

Dalam buku “Homo Economicus: The (Lost) Prophet of Modern Times”, ekonom terkemuka Daniel Cohen menuliskan bahwa peradaban Barat telah lama mendefinisikan pengejaran kebahagiaan dalam istilah ekonomi, tetapi setelah krisis keuangan 2007-2008, Cohen menganggap bahwa sudah waktunya untuk berpikir lagi tentang apa yang merupakan kebahagiaan kita. Hal ini menurutnya bisa dilakukan dengan melacak kembali pada kebangkitan asumsi homo economicus. Selama 200 tahun terakhir, dunia modern telah mendefinisikan kebahagiaan dalam hal perolehan materi. Menurut Cohen, Homo Economicus telah menyingkirkan saingannya, Homo Ethicus dan Homo Empathicus, dan menyebarkan logika neo-Darwiniannya ke seluruh penjuru dunia. Namun, bukannya membawa kebahagiaan, Homo Economicus menjebak manusia di dunia tanpa cita-cita. Kini kita dibiarkan merasa hampa dan tidak pernah puas.

Lebih lanjut, Cohen menuliskan bahwa saat ini semakin banyak orang mulai menyadari bahwa persaingan dan perolehan materi bukan satu-satunya hal yang penting dalam hidup. Paradoks sentral dari era kita adalah bahwa kita memandang ekonomi untuk memberikan arahan kepada dunia kita pada saat ketika kebutuhan sosial bermigrasi ke sektor-sektor yang sulit ditempatkan dalam ruang lingkup logika pasar. Aspek-aspek seperti kesehatan, pendidikan, penelitian ilmiah, dan dunia Internet membentuk jantung masyarakat pasca-industri kita, tetapi tidak satu pun di antaranya yang termasuk dalam desain ekonomi tradisional. Sementara kreativitas manusia meningkat lebih tinggi dari sebelumnya, manusia model Homo Economicus menurut Cohen kini ibarat memaksakan dirinya hadir seperti seorang nabi (prophet). Namun ia selalu tampak sedih. Homo economicus tak lain adalah kesenangan yang mematikan bagi zaman yang akan datang.

Cohen lebih lanjut mengeksplorasi revolusi digital dan perkembangan ilmu genetika baru dan menyimpulkan keterbatasan asumsi serta desain manusia Homo Economicus di dunia kita yang kini begitu cepat berubah. Karena manusia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk beradaptasi, ia berpendapat bahwa kita perlu menyeimbangkan kembali hubungan antara persaingan dan kerja sama antar manusia demi membangun ekonomi serta kehidupan yang lebih baik.

Pemahaman bahwa manusia adalah makhluk multidimensi seperti di atas juga ditunjukkan oleh para kontributor buku “Moral Markets; The Critical Role of Values in the Economy” (2008), bahwa nilai-nilai manusia adalah campuran dari bawaan lahir (innate), hasil evolusi, fenomena biologis, sehingga manusia adalah campuran kompleks dari sifat alamiah dan hasil asuhan atau pendidikan. Budaya kita, pengasuhan, dan pelatihan memainkan  peran penting dalam pengembangan dan proses transmisi nilai kita. Singkatnya, “nilai-nilai selalu bisa dipelajari.” Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai bahwa manusia bukan hanya makhluk ekonomi (Homo Economicus) harus terus diajarkan.

Colombo (2009) mengutip Richerson & Boyd (2008) menuliskan bahwa “Beberapa sarjana manajemen bisnis percaya bahwa pengaruh ekonom neoklasik dengan model manusia egois dan intuisi mereka telah menggerogoti moral-perilaku para lulusan sekolah manajemen.” Herbert Gintis dan Rakesh Khurama (2008) dalam Colombo (2009) secara terus terang menyatakan bahwa “materi ajaran sekolah bisnis saat ini mensosialisasikan kepada para siswa etika keegoisan dan keterbatasan akuntabilitas. ” Oleh karena itu, model itu tampaknya hanya memberi ruang bagi model Homo Economicus untuk memunculkan keberadaannya; jika kita mengajar dan percaya bahwa individu adalah makhluk pemaksimal kekayaan yang selalu mementingkan diri sendiri, kita menjadikan dan menciptakan “makanan” bagi mereka untuk selalu mementingkan diri sendiri dalam upaya memaksimalkan kekayaan mereka. Colombo (2009) mengutip kontributor lain dari buku “Moral Market”, William Casebeer, menuliskan bahwa “cerita” tentang kapitalisme yang telah memunculkan gambar manusia sebagai “sosok egois dan para baron perampok yang tidak punya kepekaan,”. Cerita ini akan sangat mendalam pengaruhnya pada kehidupan sosial. Casebeer menegaskan bahwa “cerita” -bagaimana seorang individu atau masyarakat mengemas sebuah ide — adalah “fondasional untuk berpikir. Banyak bukti bahwa cerita memengaruhi kemampuan kita untuk mengingat peristiwa, memotivasi orang untuk bertindak, memodulasi reaksi emosional kita terhadap peristiwa, memberi tanda heuristik dan bias tertentu, menyusun struktur kemampuan memecahkan masalah kita, dan pada akhirnya, mungkin, bahkan merupakan identitas kita.

Berangkat dari model perilaku manusia Homo Economicus, banyak pertimbangan kebijakan muncul dengan berdasar asumsi ini. Pertimbangan ini sebagian besar berkisar pada penggunaan hukum dan kebijakan (law and policy) “sebagai sarana memperkuat nilai-nilai yang dimotivasi secara internal.” Namun di sisi lain, pemaksaan (dalam ekonomi atau lainnya) jelas memiliki keterbatasan serius dalam kemampuannya untuk mencegah terjadinya perilaku salah, penyimpangan dan melindungi kelompok yang lemah. Sehingga idealnya sebuah masyarakat yang memahami dimensi moral dari sifat manusia, akan mampu membebaskan diri dari keterbatasan asumsi Homo Economicus ini; masyarakat seperti itu memiliki akses kepada serangkaian alat yang lebih luas untuk memengaruhi perilaku individu ideal yang diinginkan dalam membentuk komunitas masyarakat sampai negara, bukan sekadar melalui hukum dan kebijakan formal. Selanjutnya menurut Colombo (2009): untuk alasan yang sama, insentif keuangan dan dis-insentif berdasarkan pada gaya hukuman dan penghargaan material telah menunjukkan bahwa keduanya sangat terbatas  kemampuannya untuk mempengaruhi perilaku manusia. Secara simultan, temuan  Colombo (2009) tersebut menjelaskan kesulitan dalam mengandalkan solusi yang disodorkan dari perspektif kebijakan formal, ekonomi dan perspektif hukum formal saja.

 

Kesimpulan

Mereduksi manusia hanya menjadi makhluk ekonomi (economic man/homo economicus) selain salah dari beragam sudut pandang atau pendekatan (approach), juga memiliki beragam dampak negatif bagi jalannya perekonomian, kehidupan sosial sampai kelestarian lingkungan hidup. Atau jika mengutip Peter Fleming, asumsi manusia ideal ala Homo Economicus bisa jadi adalah perangkap serta tipu daya kapitalis guna membentuk manusia sesuai kebutuhan tenaga kerja mereka. Memahami serta memberikan edukasi bahwa motivasi perilaku manusia bukan hanya uang dan maksimalisasi keuntungan, bahwa manusia punya naluri alami untuk peduli (rela berkorban) kepada sesama dan bersikap bijaksana; akan mengubah pendekatan kita dalam menyusun beragam kebijakan yang mengatur kehidupan sosial-masyarakat hingga menyusun regulasi ekonomi-bisnis. Dari yang sekadar diatur oleh kebijakan, larangan dan sanksi, menjadi satu masyarakat yang secara pribadi sadar untuk membangun perilaku yang harmonis antar manusia dan antar mereka dengan kelestarian lingkungan hidup atau ekosistem berdasarkan nilai-nilai (values) terutama nilai moral yang mereka pegang.