Penulis: Luthfi Hamdani
Hari-hari terakhir kita bak dihujani kabar duka. Kabar kematian disebar lewat pengeras suara masjid, dikirim melalui ke grup-grup Whatsapp atau dipasang di berbagai fitur story sosial media. Kita menghadapi situasi yang begitu berat dan menyedihkan sebab pandemi kali ini.
Respon kita terhadap kematian bisa sangat beragam. Namun mayoritas berupa benci dan takut. Kita benci orang-orang terdekat kita harus “secara fisik” meninggalkan kita selama-lamanya, bersama dengan kenangan dan perilaku baik yang selama ini mereka sumbangsihkan pada hidup kita.
Saya haqqul yaqin, masing-masing kita, sebaik apapun ibadah dan ritual-ritual keagamaan yang kita jalani; kita pasti punya ketakutan akan kematian kita kelak.
Kematian berarti habis sudah kesempatan menikmati beragam fasilitas materiil yang selama ini kita perjuangkan hari demi hari. Habis sudah masa pakai semua fasilitas inderawi; penglihatan, penciuman, peraba dan sebagainya yang kita latih serta kembangkan sejak masih berupa janin.
Kita bisa mati sebab berbagai macam hal. Oleh karenanya, beberapa ahli filsafat bilang bahwa kita sebenarnya tidak takut akan kematian. Namun semua orang, tidak mau menjalani proses ”mati” menuju kematian. Proses tersebut memang kerap kali tragis; seperti kecelakaan berdarah, penyakit yang menyiksa, dan sebagainya.
Satu lagi yang membuat kita benci dan takut pada kematian adalah “ketidakpastian” tentang bagaimana kondisi kehidupan setelahnya. Saya pribadi, sebagai muslim penganut paham ahlussunnah wal jamaah percaya bahwa kematian sekadar proses berhentinya fungsi organik-mekanis-biologis kita sebagai makhluk hidup. Namun jauh di belakang itu semua, kesadaran dan ‘ruh’ kita hanya berpindah alam. Ya ke alam kubur, sebelum kelak berpindah lagi ke alam akhirat.
Kita semua khawatir akan kondisi semacam apa yang akan kita jalani pasca kematian, bukan?
Dalam kitab “Al-Muhtashar al-Mufiid” karya Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudoh, salah satu ‘syarh’ dari kitab Jauhrut al-Tauhid yang dulu pernah saya ikut pelajari di pesantren, kita diwajibkan untuk iman perkara-perkara berikut: pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir dalam kubur, diwajibkan beriman pada keberadaan nikmat dan siksa kubur, mengimani ‘kebangkitan kembali’ pasca mati dan mengimani ‘hasyr’ setelah pembangkitan tersebut.
Saya pribadi dalam beberapa waktu sering tafakur (atau lebih tepatnya melamun) tentang bagaimana rasanya kelak menunggu sendirian di dalam kubur ratusan atau bahkan ribuan tahun sampai kemudian saya dibangkitakn lagi pasca kiamat lalu menjalani proses ‘hasyr’.
Hari-hari yang sangat panjang tanpa smartphone, tanpa kuota, tanpa jalan-jalan ke mall, tanpa ngobrol di coffee shop.
Baca juga: Menjadi Manusia Bermanfaat
Di kampus, ketika mengajar manajemen resiko, saya sering mendiskusikan kepada mahasiswa bahwa resiko muncul sebab ketidakpastian. Semua pelaku usaha dihadapkan pada beragam jenis ketidakpastian. Untuk itu, sebagai pelaku usaha kita diharuskan mampu melakukan identifikasi sampai mitigasi supaya resiko-resiko yang kelak terjadi tidak merugikan.
Jika dirunut pada konsep resiko di atas, ada banyak ajaran dalam agama yang “memberi instruksi” pada kita untuk menghindarkan resiko mengalami kondisi yang menyeramkan, mengenaskan dan menakutkan kelak pasca mati. Misalnya rajin membaca al-Qur’an, melaksanakan shalat secara tertib, berbuat baik sampai memastikan kesucian saat ‘istinjak’.
Sejauh yang saya pahami, kehadiran agama punya dua misi berupa menghadirkan kehidupan yang sejahtera dan damai saat manusia hidup di dunia, juga memastikan manusia mendapatkan kehidupan yang kelak menyenangkan pasca jasad/fisik kita mati.
Masing-masing kita pasti mati. Sambil terus berjuang untuk hidup, kita musti mulai berdamai dengan diri sendiri, melakukan hal-hal baik, berdialektika dengan beragam nilai dan pemahaman (entah dari agama atau dari manapun) agar kelak ketakutan, kekhawatiran dan kecemasan berkaitan dengan kematian dan segala prosesnya bisa dijalani dengan lebih menenangkan bahkan menyenangkan.