“Keberagaman itu berkah, iya jika dikelola dan disadari dengan betul. Bisa juga sebaliknya.”

Tahun 2017 sebentar lagi berakhir, tahun yang panjang dan melelahkan bagi penikmat media massa. Sebab menjelang usia ke 73 dari kemerdekaan, masih saja ada yang mempertanyakan dan menggoyang prinsip ‘persatuan dalam keberagaman’ khas Indonesia.

Tapi, alhamdulillah 7 abad pasca Mpu Tantular memunculkan istilha Bhinneka Tunggal Ika ­dalam Kakawin Sutasoma, bangsa kita yang ditakdirkan terpisan-pisah oleh lautan ini masih secara formal menjadikannya sebagai semboyan persatuan.

Mpu Tantular seolah tahu jika di Al Quran surat Al Hujurat (13) dan Ar Rum (22), Allah menggariskan bahwa manusia memang diciptakan beragam: suku, bangsa, bahasa dan warna kulit. Dalam kondisi demikian, ada tanda bagi mereka yang berpikir, ada dorongan untuk saling mengenal ~~kenal loh ya, bukan sekedar tahu~~, ada dorongan supaya menjadi mukmin yang bertaqwa dan tentu saja bukti keagungan penciptaan Tuhan. ~~ atau jangan-jangan Mpu Tantular ini muslim, saudara Gaj (Haj) Ahmada. Nama aslinya: Muhammad Pu~tra Tantular.~~~~

Bukan kondisi yang kebetulan tentu saja jika Menurut Badan Pusat Statistik 2010, ada 1.211 bahasa daerah di Indonesia. Sensus BPS 2010 menyebutkan, ada 300 kelompok etnis dan 1.340 suku bangsa di Indonesia. Dari Sabang ke Merauke, dan menurut sebuah akun berita IG, Merauke adalah kota paling luas di Indonesia.

Data yang sangat mempermudah komunikasi Pak Jokowi jika berkunjung ke daerah-daerah, setelah atau sebelum sambutan membagikan kartu atau sertifikat tanah, maka yang paling ditunggu adalah ketika seorang atau dua orang penduduk asli maju ke panggung ~~mestinya sudah dipilih yang kurang paham, bukan mahasiswa, bukan bupatinya~~ untuk di beri pertanyaan:

“Sebutkan 5 nama suku di Indonesia..! Sebutkan 5 pulau di Indonesia..!”

(Bukan apa-apa dipilih dari nelayan dan ibu-ibu buruh tani, lha mau ditaruh mana wajah negeri ini kalau ketahuan mahasiswa dan bupati atau gubernurnya sama-sama gak tahu.)

Lha memang yang disuruh maju yang kurang hapal, maka pecahlah tawa seluruh ruangan. Tawa diatas ketidaktahuan, di atas keluguan, dan di atas realitas sebenar-sebenarnya persentuhan pendidikan dengan masyarakat pinggiran kita.

Lebih jauh, isu tentang etnisitas, ras, agama, bahasa dan antar golongan ini jadi hal yang memuakkan ketika secara sengaja digunakan untuk mendiskreditkan, mendiskriminasi, atau menjelek-jelekkan ‘yang lain’ dalam banyak ruang. Mulai sepakbola, kewarganegaraan (misalnya Rohingnya) sampai pada ruang politik dan kebijaka (policy).

Rasisme atau penggunaan isu sara dalam sepakbola misalnya masih sering dijumpai. ~~ya meskipun FIFA memiliki slogan kampanye: SAY NO TO RACISM.~~ Tahun 2011 ada kasus yang melibatkan John Terry dengan Anton Ferdinand, 2010 fans Lokomotiv Moskow melakukan aksi rasis dengan memasang spanduk bertulis ‘Thanks Wes Brom’ dengan gambar pisang, sebagai ejekan kepindahan Peter Odemwingie ke klub Liga Inggris Wes Brom.

Yang terakhir dan paling popular yang melibatkan Patrice Evra dan Luiz Suares, menyebabkan Suarez dihukum larangan bermain 8 pertandingan dan wajib membayar sejumlah denda.

Ciri fisik berupa warna kulit, bentuk rambut yang kemudian di asosiasikan dengan ‘ras’ adalah sesuatu yang given, atau dalam hal ini manusia tidak bisa memilih harus lahir dalam kondisi yang bagaimana. Selaras dengan Al-Qur’an, bahwa perbedaan penciptaan memang sudah ‘dari sananya’, jadi tidak layak untuk jadi bahan bercandaan atau aksi diskrimiatif.

Diluar itu semua, Indonesia ini sampai kapanpun akan tetap dihantui kasus atau konflik rasial dan antargolongan. Mau tidak mau yaa sebab tingkat keberagaman Negara kita sangat tinggi. Mungkin salah satu yang tertinggi di dunia. Konflik dan friksi antargolongan bisa muncul sewaktu-waktu mulai sebab nonton sepakbola, sebab acara TV, kelompok fundamentalis, sampai penggunaan isu identitas kelompok dalam event politik Pemilu.

Ditinjau dari pembangunan ekonomi, keberagaman kita yang sedemikian tinggi juga mempengaruhi lambatnya proses pertumbuhan. Sebagai data perbandingan, negara yang homogen secara etnis lebih makmur dibanding dengan negara yang memiliki multi etnis, dengan pengecualian Amerika Serikat.

Negara-negara Eropa yang di dominasi warga kulit putih sudah sekian lama berjaya dalam perekonomian dunia. Di Asia, Negara yang diidentifkasi sebagai kelompok kaya baru misalnya Korea Selatan, Hongkong, dan Cina adalah Negara yang memiliki satu etnis yang sangat dominan. Smentara Jepang juga sangat homogen secara etnis.

Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi-kemakmuran sebagian negara di Asia dan banyak negara di Afrika. Banyak dari Negara di Afrika dan timur tengah, sampai saat ini masih terjebak pada perang antar etnis yang tidak berkesudahan. Demikian pula Indonesia, terjadi perang~~tapi Alhamdulillah hanya di media sosial, yang sesekali terjadi bentrokan fisik~~ Indonesia juga masih terjebak berada pada posisi negara kelas menengah secara ekonomi (middle income trap).

Sementara itu, dibanding ras yang given, etnisitas, kesukuan dan afiliasi golongan ini sebenarnya lebih fleksibel sebab terbentuk dari hasil konstruksi sosial, hubungan-hubungan sosial, stigmatisasi, atau perilaku rasis seseorang (kelompok) kepada yang lain. (Abdillah S. Ubed, 2002). Sehingga etnisitas lebih merujuk pada praktik-praktik budaya dan cara pandang alami sebuah komunitas yang memisahkan mereka dengan yang lain. Bagaimana persoalan etnisitas dan antargolongan bisa menghambat pembangunan ekonomi tersebut bisa dijelaskan sebab beberapa model:

Pertama, dalam konteks ekonomi, perbedaan etnis melahirkan keragaman kemampuan dari masing-masing etnis-kelompok untuk melakukan kegiatan ekonomi. Etnis-kelompok yang maju, terbuka dan mempunyai ketrampilan yang tinggi berpotensi meraih pendapatan ekonomi yang lebih bagus dibandingkan etinis-kelompok yang terisolasi dan rendah tingkat kemampuannya maka cenderung melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sendiri, dengan pendapatan lebih rendah.

Kedua, Negara atau pemerintah masih sering salah dalam memahami kemampuan masing-masing etnis-kelompok, khususnya nilai-nilai spesifik yang mempengaruhi secara positif terhadap pembangunan ekonomi.  (Erani Yustika, 2014: 319)

Ketiga, Keberhasilan pertukaran dan kebijakan ekonomi ditentukan oleh kepercayaan yang saling menguntungkan (mutually trust dan Mutually interact) yang bersumber dari norma-norma, baik eksplisit maupun implisit. (Sen,1999) Kecemburuan dan kecurigaan antar etnis-kelompok bisa menyebabkan kemandekan bahkan konflik ekonomi dari level mikro sampai makro. Tentu masih ingat, peristiwa kerusuhan 1998. Saat itu etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan, penjarahan dan diskriminasi hebat.

Gejala Xenofobia ini merupakan buntut dari kesenjangan ekonomi dan kebencian berdasar prasangka kepada etnis Tionghoa. Saat peristiwa ini terjadi banyak perempuan-perempuan Tionghoa yang diperkosa, tokonya dibakar dan usaha milik mereka dirusak. (Tirto.id, diakses 31 desember 2017) Kasus ini tak pernah selesai sampai hari ini dan pelakunya tak pernah diusut. Menyikapi keberagaman dan identitas manusia Indonesia, kita perlu sedikit membaca pemikiran Amartya Sen, yang mengajak untuk lebih baik dalam memahami perilaku sosial manusia. 

Dalam buku Identitas dan Kekerasan (cet. 2016), Sen menunjukkan bahwa ada dua kesalahan mendasar yang kerap dilakukan manusia dengan identitasnya. Pertama, persepsi adanya identitas tunggal telah mereduksi kesejatian manusia yang kompleks dengan berbagai afiliasi.

Kedua, persepsi bahwa identitas adalah temuan, meski kenyataannya adalah pilihan. Terkait kesalahan pertama, Sen mencontohkan bahwa ada kecenderungan manusia untuk mendudukkan manusia lain pada satu identitas saja. Seseorang dengan kecenderungan ini akan membuat sebutan yang tunggal kepada orang lain, misalnya, sebagai “orang Cina/Tionghoa”.

Padahal, betapa pun identitas sebagai “Cina/Tionghoa” adalah yang paling kuat, manusia tetaplah memiliki afiliasi dengan identitas lain. Misalnya, selain memilih keyakinan Islam, dia adalah seorang warga negara Indonesia, keturunan campuran Jawa atau Sunda, dia juga seorang eksekutif, sarjana ilmu politik, berpandangan moderat, pendukung larangan minuman keras dan sebagainya.

Belum lagi lambatnya perkembangan sebab formasi partai politik yang warna-warni, sebab ormas yang bermacam-macam dan sebagainya. Yang masing-masing punya misi, punya proses konstruksi dan ideologisasi, juga punya kepentingan untuk tetap bertahan hidup.

Tinggal, sumur yang tidak tergali (serta berpotensi melambatkan perkembangan sosial-ekonomi) sebab dinamika etnis-kelompok itu adalah pilihan-pilihan sulit: Via Vallen versus Nella Kharisma, Ronaldo versus Messi, Jihan Audi versus Tasya Rosmala, PDIP versus Gerindra, PKB versus PKS, Gus Ipul versus sahabati Khofifah, Wuling Cortez  versus Innova, dan perkara metode makan Beng-Beng: MAKAN LANGSUNG VERSUS MAKAN DINGIN….!!

Sehingga, keberagaman kita ini sebenarnya berkah atau musibah?