Penulis: Ghofirudin (Trenggalek)

Siang bolong yang begitu terik. Namun suhu panas sudah tidak mampu membuat tubuhku mengucurkan keringat lagi. Bahkan meneteskan setitik pun tidak. Keringat dari dalam tubuhku telah terkuras seperti hendak habis. Cairan asin yang keluar dari dalam tubuh itu kini telah membekas pada kaos merah jersey klub sepakbola terkemuka asal Italia yang saat ini aku pakai.

Cairan yang mulai dingin dan mengering itu lambat laun berubah menjadi serbuk-serbuk kristal yang bila dalam jumlah yang lebih banyak bisa digunakan sebagai pengganti garam dapur. Serbuk-serbuk itu terasa agak lengket di tubuhku dan mulai membuatku gatal- gatal. Dalam keadaan seperti ini aku biasanya akan segera mandi.

Sayang, saat ini aku sedang tidak berada di rumah dan aku juga tidak membawa sabun dan handuk untuk mandi di salah satu kamar mandi yang ada di sini yang airnya sangat jernih dan menyegarkan yang kadang menggodaku untuk meminumnya.

Memang, seperti itulah keadaan sehabis mengayuh sepeda di saat matahari sedang dalam posisi ganas-ganasnya, walaupun hanya dengan kecepatan sedang. Keringat yang telah mengering berubah menjadi serbuk-serbuk kristal, dahaga pada tenggorokan terasa mencekik dan juga napas yang terengah-engah.
Terkadang juga diselingi dengan kunang-kunang yang menampakkan wujud-wujud remang pada pandangan mata yang semakin buram. Tapi hal-hal seperti ini yang merupakan tanda-tanda dehidrasi dan mulai berkurangnya energi seringkali aku biarkan begitu saja. Seringkali hanya dengan beberapa tarikan nafas panjang dan dalam, penampakan-penampakan tersebut hilang dengan sendirinya. Meskipun harus aku akui, ini hanya bersifat sementara. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, memangnya apakah ada di dunia ini yang sifatnya tidak sementara. Semuanya serba sementara.

Aku ini memang terbiasa ke mana-mana naik sepeda, termasuk saat ngampus seperti yang kali ini aku lakukan. Aku sering heran mendengar kawan-kawanku takjub dengan kebiasaan bersepeda ke kampus ini. Bagi mereka jarak 15 kilometer itu terlalu jauh untuk ditempuh dengan sepeda. Padahal jarak ini sebenarnya tidak terlalu istimewa dan bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam.
“Bro, ndak lelah bersepeda sejauh itu?” tanya seorang kawan kampusku suatu hari di kantin kampus yang sedang ramai-ramainya.

“Tentu saja lelah. Namanya juga bersepeda, pasti beresiko mengalami yang namanya kelelahan,” jawabku.

“Kenapa ndak naik sepeda motor saja? Kan lebih enak itu, lebih cepat lagi.”

“Ya adanya sepeda itu. Mau apalagi.”

“Alah mosok? Jaman sekarang masa ndak punya sepeda motor. Aku kok ndak percaya. Sekarang itu kan sudah mudah beli kendaraan bermotor. Kredit kan bisa,” ujarnya mengutarakan pandangannya.

“Kredit kan juga tetap harus mengeluarkan uang terlebih dulu. Lha bisa dapat uang darimana orang seperti aku ini?” jengah juga aku dengan kawanku yang mudah sekali menggampangkan urusan.

“Ya dari orang tuamu lah,” balasnya enteng.
“Wah, kalau minta orang tua terus bisa menjadi beban mental. Orang tuaku lho baik sekali padaku. Setiap bulan tanpa meminta aku ini dapat jatah uang. Walaupun tidak banyak tapi cukuplah buat makan sehari-hari. Belum lagi, sudah berapa banyak pengorbanan yang mereka lakukan untukku sejak lahir sampai sekarang. Tidak terhitung. Aku merasa tidak nyaman bila harus menambahnya dengan permintaan- permintaan yang bagiku itu tergolong kemewahan.” Kawanku itu hanya diam mendengarkan sambil sesekali mengisap rokok filter yang baru dibelinya.

“Lagipula,” aku melanjutkan. “Bersepeda kan jelas lebih sehat. Bagiku bersepeda juga merupakan wujud kepedulianku terhadap lingkungan. Inilah hal mudah yang bisa aku lakukan.”

Dia tidak berkomentar apa-apa lagi selain hanya terdengar bunyi O panjang namun begitu lirih yang juga dia konkretkan dalam hembusan-hembusan asap rokok berbentuk lingkaran yang susul-menyusul keluar dari mulutnya. Aku merasa puas membuat dia terdiam, terlebih lagi setelahnya aku menyeruput kopi hitam kental panas yang telah aku pesan sebelumnya. Rasanya sungguh nikmat. Aku benar-benar puas.

Memilih bersepeda ke mana-mana berarti juga harus siap untuk bersabar dengan para pengendara kendaraan bermotor yang terkadang bersikap seenaknya. Entah mengapa kebanyakan dari mereka itu gemar sekali membunyikan klakson keras-keras ketika hendak menyalip pengendara sepeda. Padahal jelas sekali pengendara sepeda itu benar-benar mengendarai sepedanya di bagian jalan beraspal yang paling tepi dan tidak menghalangi laju mesin-mesin yang membuat bising itu.

Mereka seolah-olah menyuruh pengendara sepeda itu untuk turun dari aspal, seolah-olah memberi perintah kepada pengendara sepeda bahwa tempat mereka adalah di jalanan tanah. Aku sering merasa jengkel dengan sikap yang demikian, dan sering sekali mengumpati orang-orang yang demikian meskipun hanya dalam hati atau terkadang terucap lirih di lisan tetapi hanya terdengar oleh diriku sendiri.

Lebih menjengkelkan lagi adalah ketika pengendara mesin-mesin yang tak berhati itu mendahului kendaraan mesin lainnya tanpa mempertimbangkan pengendara sepeda yang ada di depannya. Mereka bahkan mengancam pengendara sepeda itu dengan mendongakkan lampu depannya yang apabila malam bisa sangat menyilaukan, bahkan nyaris membutakan. Mereka seperti hendak berkata ‘hoey, minggir! Mau ditabrak!’.

Bila sudah begini maka tidak ada pilihan lain bagi pengendara sepeda itu untuk minggir, lagi-lagi terjun dari jalan beraspal yang mulus ke jalan tanah yang terkadang berpasir, terkadang berkerikil dan berbatu atau terkadang ke tanah yang lembek dan becek serta tergenang oleh air yang memuakkan. Memang menjadi pengendara sepeda harus siap dipinggirkan oleh kendaraan-kendaraan bermesin yang lebih besar. Tidak jauh beda dengan wong cilik yang senantiasa dipinggirkan oleh orang-orang yang lebih berkuasa, baik yang menguasai modal atau orang- orang yang berkuasa dengan jabatan.

Resiko lain menjadi penunggang sepeda di masa sekarang ini yang serba materialistis adalah diacuhkan atau dipandang sebelah mata oleh para wanita. Tidak peduli serupawan dan secerdas apapun seorang pria, jika dia hanya mengendarai sepeda akan menjadi berkurang nilainya di pandangan para wanita, terlebih jika tidak mengenal kepribadian, terlebih lagi jika sepeda yang dikendarai adalah sepeda butut yang mengeluarkan bunyi berkeret.

Seorang pengendara sepeda itu tidak bisa diharapkan untuk mengantarkan mereka ke sana kemari, menuruti hasrat untuk selalu berplesir menghamburkan uang yang tidak bisa dipertahankan. Seorang pengendara sepeda itu selalu tampak dekil, kumuh dengan bau tubuh yang tidak menyenangkan akibat dari keringat yang memang tidak bisa ditahan untuk terus keluar. Seorang pengendara sepeda itu akan berada di urutan yang paling belakang dari daftar incaran tembak para wanita yang suka bermake-up tebal. Namun, aku sungguh tidak peduli dengan itu. Aku cukup membiarkan waktu terus berjalan dan lihat saja nanti.
Sepeda yang sering aku pakai ini adalah sepeda pinjaman dari pamanku. Dia adalah seorang yang berwajah agak kearab-araban dengan postur yang cukup tinggi besar. Bulu-bulu di wajahnya tidak dia biarkan tumbuh semaunya. Wajahnya selalu tampak bersih seperti tanpa bulu. Mungkin hal itulah yang membuat dia terlihat lebih muda dari usianya yang hampir menginjak setengah abad.

Dia juga selalu konsisten dengan rambut model cepak ala tentara. Pendek kata, segala hal yang ada pada penampilan fisiknya jelas menunjukkan sebuah keteraturan pada kehidupan sehari-harinya. Selain itu, pekerjaannya sebagai pegawai kantor departemen pemerintahan dengan jabatan yang lumayan tinggi pasti memaksanya untuk selalu teratur dalam melakukan setiap rutinitas. Dan dia juga telah berhasil menerapkan keteraturan tersebut kepada seluruh anggota keluarganya.

Aku sangat berterimakasih kepadanya atas pinjaman tersebut. Sebelumnya aku harus merogoh uang kurang lebih delapanribu rupiah setiap hari untuk ongkos naik bis pulang-pergi kampus. Satu bulan bisa menghabiskan duaratus ribu lebih. Sedangkan aku hanya mendapat jatah empatratus limapuluh ribu setiap bulannya dari bapakku. Dengan adanya sepeda tersebut tentu saja aku jadi tidak perlu mengeluarkan uang transport tersebut sehingga uangnya bisa aku gunakan untuk membeli buku dan juga untuk lebih mengenyangkan perutku.

“Ndak lelah mas?” sapa seorang wanita yang sedang lewat di depan tempat aku duduk, yaitu di sebuah bangku panjang warna coklat tua di teras gedung pertemuan. Dia membuyarkan lamunanku.

“Ya lumayan,” jawabku beberapa saat kemudian setelah menoleh ke arahnya. Alis mata kananku mengencang dan mata di bawahnya menyipit. Aku merasa tidak mengenalnya.

“Sampean siapa?” lanjutku kemudian.

“O iya. Saya Wulan mas,” jawabnya sambil mengulurkan tangan untuk berjabatan.

“Saya Udin. Salam kenal,” jawabku sembari menjabat uluran tangannya.

Tangannya begitu kecil dan ringkih, dan di balik keringkihan itu aku bisa merasakan telapak tangannya yang benar-benar halus. Jauh lebih halus daripada telapak tanganku sendiri yang seharusnya sebagai seorang lelaki bisa lebih kasar sedikit. Aku ingin menikmati kelembutan itu sedikit lebih lama lagi, tapi suara di pikiranku mengatakan kepadaku untuk menjaga gengsi. Aku lepaskan genggamanku dan kurasakan ternyata belaian angin yang menerpa tangan kananku lebih lembut dari telapaknya. Hanya saja kelembutan angin itu tidak menggetarkan dan juga tidak akan membuat darah berdesir.
Tanpa dipersilahkan, dia duduk di sampingku begitu saja. Sedikit mengambil jarak tentunya. Pikirku berani juga wanita ini. Jarang sekali ada wanita yang seperti ini di sini. Di sebuah daerah dengan kultur pedesaan yang masih kentara, hampir tidak ada wanita yang memulai berkenalan dengan seorang pria. Apalagi jika setelah berkenalan langsung duduk di samping seorang pria begitu saja seperti pasangan yang hendak bermesraan. Aku mulai menerka-nerka, mungkin wanita ini pernah merasakan budaya kota yang lebih liberal atau mungkin dia memiliki sebuah kepentingan denganku.

“Oya mas, saya mau minta bantuannya. Bisa kan?” katanya memulai setelah hening beberapa saat.

“Bantuan apa dulu?” jawabku balas bertanya.

“Kalau bisa, ya saya bantu. Kalau saya merasa tidak bisa, ya maaf.”

“Jadi begini mas, saya mau pinjam beberapa buku tentang sastra. Katanya, sampean punya banyak.”

“O, kalau cuma itu, saya bisa,” kataku mengiyakan. Sebenarnya aku ingin sedikit basa-basi dengan menanyakan dia tahu dari siapa, tapi yang terlontar justru,“Besok tunggu saja di sini sekitar pukul dua siang.”

“Terima kasih ya mas” katanya.

Aku cuma membalas ucapan terima kasihnya dengan anggukan kepala dan senyuman yang agak tertahan. Dia tidak segera pergi tetapi juga tidak mengatakan sesuatu hal lagi. Dia mengeluarkan telepon genggam dari dalam saku celananya dan terlihat canggung untuk berbicara. Aku biarkan saja kecanggungan itu menguasainya. Aku pura-pura tidak tahu. Aku menghadap ke arah yang berseberangan dengannya, memandang gedung perkuliahan dua lantai yang dicat dengan warna oranye seperti seragam timnas Belanda membujur kaku dari timur ke barat.

Di sebelah barat gedung itu mushalla kecil kampus bernama Baitur Rahman yang tempat wudhunya dicampur baur antara lelaki dengan perempuan tampak lengang. Jalanan kampus di depannya yang beraspal kelabu dengan beberapa titik lubang sering memaksa beberapa pengendara untuk menurunkan kecepatan kendaraan bermotornya. Lalu di sana tempat parkir mahasiswa yang beratapkan seng sudah mulai dipenuhi oleh sepeda- sepeda motor bermacam merek buatan luar negeri. Beberapa saat lagi pasti sepeda-sepeda motor itu akan tumpah ruah hingga jalan dan akan mempersempit ruang laju kendaraan lain yang melintas. Aku teringat sesuatu.

“Oya, tadi buku sastranya yang tentang apa?” tanyaku sambil menghadap ke arah wajahnya yang merona.

“Tentang puisi, tentang prosa fiksi, tentang drama atau buku-buku seputar teori dan kritik sastra?”

“Anu mas, tugasnya itu disuruh buat artikel tentang analisis novel,” jawabnya dengan memandang lekat ke arah mataku.

“Lha terus, novel apa yang bakal kamu analisis?” tanyaku lagi. Kali ini darahku agak berdesir. Ternyata Wulan ini semakin terlihat cantik bila terus dipandang.

“Belum tahu mas,” katanya singkat sambil memalingkan matanya karena sorot tajam pandanganku.

“O ya sudah. Kalau begitu besok tak bawa dua novel sekaligus. Yang satu serius, yang satu novel nyantai. Juga beberapa buku tentang teori dan kritik sastra,” kataku sambil mengalihkan pandangku ke arah sepedaku yang parkir di area paling timur. Aku takut kekagumanku terbaca.

“Sekali lagi terima kasih ya mas,” ucapnya sambil menoleh kembali kepadaku dan menampakkan senyum itu.

“Ya, sama-sama,” kataku dan kali ini aku balas senyuman itu.

“Saya masuk kelas dulu mas.”

Dia mengakhiri pembicaraan kemudian beranjak dan melangkah menuju salah satu ruang kelas di gedung oranye itu. Mataku menurutkan pandang dari belakang, menurutkan langkah-langkah kaki gemulai yang dibalut dengan jins biru yang jelas menunjukkan lekuk yang mengundang nafsu.

Dia memakai kaos hitam polos lengan panjang yang untung saja sedikit longgar sehingga pori-pori tubuhnya masih memiliki ruang untuk bernafas. Rambut hitam panjangnya yang sedikit berombak menari-nari tertiup angin yang berhembus cukup kencang dari arah bukit di sebelah utara.

Aku mencoba mengingat wajah yang sedang berjalan menjauh itu. Wajahnya agak berbau oriental dengan mata sipit yang dihiasi dengan celak hitam melingkarinya. Bentuknya agak lonjong tapi agak terlihat meruncing di dagu. Hidungnya sedang-sedang saja, tidak mancung tetapi juga tidak bisa dikatakan pesek. Dan yang paling memikat dari semuanya adalah bibirnya. Warnanya merah muda alami tanpa lipstik.
Bentuknya mungil yang apabila tersenyum terlihat barisan gigi yang berjajar rapi. Keindahannya alami. Tetapi sungguh teramat sayang bedak yang dioleskan agar terlihat lebih putih di wajahnya itu menjadi tabir yang mengurangi kehalusan dan kemulusan kulit wajah yang murni. Tetapi, sekali cantik tetaplah cantik. Namun, aku berpikir akan sampai kapan kecantikan itu akan bertahan. Tidak mungkin akan bertahan selamanya.

Dia kini sudah tidak tampak lagi. Pasti sudah masuk ke dalam kelas. Sedangkan aku masih di sini mengamati hiruk pikuk keadaan kampus yang semakin ramai. Tempat parkir pun sudah disesaki oleh sepeda- sepeda motor mahasiswa. Aku lihat sepedaku di ujung timur sana terjepit sendiri seperti merasa terasingkan di antara kemewahan dan kegagahan di sekitarnya. Sepeda bututku ini adalah jenis sepeda yang disebut orang-orang dengan sepeda mini.

Warna peraknya yang sudah semakin memudar ditempeli oleh debu-debu jalanan di setiap bagiannya. Kedua remnya sudah tidak berfungsi sehingga setiap kali menurunkan kecepatan ketika akan berhenti aku menyeretkan kedua kakiku. Tentu hal ini berakibat pada semakin menipisnya bagian bawah selop yang kupakai, bahkan sudah terlihat ada lubang kecil di sana.
Sepeda butut dari pamanku ini sejelek apapun, memiliki kenangan tersendiri dalam hidupku. Dulu, sewaktu masih SMA sesaat setelah aku mampu mengendarai sepeda (Ya, aku memang baru bisa mengendarai sepeda ketika menginjak usia SMA), aku meminjam sepeda pamanku ini untuk aku buat dolan-dolan mengelilingi tempat-tempat di daerah sekitarku.
Selain untuk senang-senang tentu saja juga agar kemampuan mengendarai sepedaku semakin baik dan berkembang. Tidak tanggung-tanggung, sepeda mini butut itu aku buat berkendara hingga ke kabupaten tetangga yang berjarak kurang lebih limapuluhan kilometer pulang pergi. Pernah juga aku memaksa sepeda butut ini untuk naik gunung ke rumah temanku, meski ketika menghadapi jalanan yang begitu menanjak aku tidak kuat mengayuhnya dan harus turun untuk kemudian menuntunnya perlahan-lahan.

Bersepeda hingga ke kabupaten tetangga yang dulu sering aku lakukan itu bukan sekedar dolan-dolan atau gowes saja. Tetapi memang ada tempat, bukan tempat sebenarnya, lebih tepatnya adalah seseorang, gadis tentunya yang ingin aku kunjungi. Dia adalah teman masa kecil yang pernah menjadi pasanganku saat karnaval SD. Aku masih ingat dulu kami berdua ditunjuk untuk memeragakan pakaian adat khas Jawa, entah Jawa bagian mana aku sudah lupa. Potret kami berdua saat itu aku tidak ingat lagi di mana meletakkannya.

Yang jelas kenangan-kenangan itu masih banyak yang tergeletak dan berserakan di dalam otak dan sulit dihapuskan. Bukan karena kami pernah menjalin hubungan asmara yang bernama pacaran, tetapi karena dia begitu baik kepada teman-temannya, bahkan kepada teman lama yang mengunjunginya hanya dengan sepeda butut yang tidak berharga.

Setiap kali aku mengunjungi gadis ini, aku selalu mengajak kawanku yang bernama Polo. Sepeda yang dia gunakan bahkan lebih butut lagi dari sepeda yang aku pinjam dari pamanku ini. Sepeda milik Polo adalah sepeda jengki berwarna hitam legam selegam kulit pemiliknya yang harus bekerja membantu keluarganya memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan menjadi buruh tani. Hari itu, kebetulan sedang bukan musimnya ke sawah. Buruh tani seperti Polo ini akan diperas keringatnya ketika musim tanam dan musim panen. Saat itu, padi yang ditanam sedang pada masa pertumbuhan, sedangkan untuk urusan pupuk-memupuk tidak perlu dikerjakan oleh banyak orang sehingga dia punya waktu nganggur.

“Bagaimana cak, jadi berangkat?!” kataku ketika menyambangi rumahnya yang kecil dan sederhana.

“Ya jadi no. Ini sebentar tak lihat dulu mur sama bautnya. Butuh nyiseti kelihatannya,” balasnya sambil tersenyum menandakan semangat muda yang masih membara.

“Ealah. Sekalian lihatkan punyaku, bisa?” pintaku. “Gampang geng. Sik yo.”

Dia kemudian masuk ke dalam rumahnya yang berlantaikan tanah, berdindingkan anyaman bambu yang dicat dengan warna putih yang begitu pucat seperti sekarat. Atap gentengnya terlihat sekali ada beberapa bagian yang bercelah sehingga beresiko bocor ketika hujan tiba.

“Sarapan geng. Itu di dalam rumah ada makanan. Lek pingin” katanya ketika keluar dari rumah sambil membawa obeng dan engkol.
“Peh, sebenarnya yo lapar ini. Belum sarapan ini tadi. Wong omah wis podo sarapan belum cak?” tanyaku dengan merasa tidak enak kalau saja pemilik rumah malah belum ada yang sarapan.

“Wis geng podoan. Tenang ae,” katanya.

“Beneran cak. Aku ndak sungkan-sungkan lho,” jawabku lalu masuk ke dalam rumah.

“Wis to iyo” katanya dengan menampakkan wajah sumringah hingga tampak giginya yang bergisul.

Di dalam rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Tampaknya bapak dan mamaknya sedang pergi keluar entah ke mana. Aku langsung saja menuju dapur. Aku buka tudung saji di meja dan di sana sudah ada nasi yang tampak sudah terkeruk menandakan ada seseorang yang baru saja makan. Lalu ada tempe goreng lima potong dan juga sambal teri sebagai pelengkap citarasa. Pikirku begini saja sudah mantap dan sudah mencukupi untuk mengenyangkan perut.
Tetapi aku sendiri terkadang bingung kenapa aku sering merasa tidak puas. Sudah makan ini masih saja menginginkan yang itu. Sudah mendapatkan ini, malah menjadi tertarik untuk mendapatkan yang lain.

Selesai makan, aku keluar menghampiri Polo dan mengucapkan terima kasih. Mantap sekali sambalnya, kataku. Semuanya sudah tampak siap dan tanpa basa- basi lagi kami naik dan menggenjot sepeda kami masing- masing. Dengan perlahan-lahan awalnya. Tetapi semakin terus bergerak kami semakin tertantang untuk terus menambah kecepatan. Kami berpacu hingga batas maksimum kemampuan kami. Tidak kami rencanakan sebelumnya, kami memacu sepeda kami dan malah balapan di jalanan. Ya, dua sepeda butut yang sedang balapan dan tidak akan mungkin menjadi tontonan orang-orang di pinggir jalan.
Telepon genggam yang kuletakkan di saku celana jinsku sebelah kiri bergetar. Getarannya agak berlebihan hingga membuat sekitar bagian itu merasakannya pula. Dan, tentu saja getaran itu juga menyadarkanku dari lamunanku tentang masa lalu yang telah menjadi kenangan, yang tidak mungkin terulang kembali.

Ayo ngopi kang. Tempat biasa. Daripada ngelamun ae, hehehe

Begitulah tulisan pesan masuk yang tertera di layar telepon genggamku yang juga bisa dikategorikan sebagai telepon genggam butut. Memang layarnya sudah berwarna dan ada kameranya juga. Tapi, tetap saja butut bila dibandingkan dengan telepon genggam milik kawan-kawan kampusku yang sudah memiliki beragam aplikasi canggih yang benar-benar sangat memudahkan komunikasi dan mengakses berbagai macam informasi melalui internet. Telepon genggamku tidak memiliki fitur-fitur secanggih itu. Aku belum membutuhkannya saat ini. Untuk saat ini, asalkan sudah bisa digunakan untuk telepon, SMS dan ada pemutar musiknya bagiku sudah lebih dari cukup.

Baiklah, sekarang sudah cukup melamunnya. Ngopi sebelum menerima perkuliahan yang membosankan pasti nikmat. Setidaknya bisa membuat mata ini melek sedikit sebelum nanti di dalam kelas dibuai lagi dengan cerita-cerita masa lalu pak dosen. Cerita-cerita yang bagaikan dongeng sebelum tidur.