Penulis: Isniati Safitri Wardani (Mahasiswa UIN Malang)

Semasa kecil dahulu, mahasiswa “kasta” baru yang benar-benar memesona hatiku[1] Mahasiswa adalah kesatria baru yang sejak dulu dianggap sebagai agent of control, agent of social dan agent of change, keberadaanya menjadi harapan seluruh elemen termasuk negara.

Pemuda khususnya mahasiswa adalah tangan-tangan dari keberhasilan negara menuju kemajuan ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, politik dan hal-hal lain. Pendidikan mengisyaratkan pengajaran, pengajaran mengisyaratkan pengetahuan, pengetahuan adalah kebenaran, kebenaran, di manapun, kapanpu sama saja.[2]

Perguruan tinggi didirikan bukan hanya untuk ajang pematangan diri untuk mencari pekerjaan jika kelak sudah lulus, namun juga pada pembentukan moral dan kepribadian manusia, menumbuhkan semangat sosial dan belajar memanusiakan manusia.

Sekilas jika dilihat, kehidupan mahasiswa pada era milineal ini, mereka cenderung suka berkumpul, terlalu banyak bermain dan kadang melupakan identitas diri. Juga terjadi dekadensi moral tanpa bisa dielakkan dari kehidupan mahasiswa.

Gerakan membaca, menulis dan berdiskusi menjadi suatu hal yang asing padahal mereka adalah tiga elemen yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan akademisi. Demonstrasi juga  adalah bagian yang (sering disebut) tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mahasiswa, namun tak selamanya setiap persoalan birokratisme dan kemanusiaan dapat dipecahkan dengan megapfhone, menantang tanpa pengetahuan adalah tindakan bunuh diri yang hanya dilakukan oleh orang yang tak berwawasan.

Maka dari itu, mahasiswa harus mampu menganalisis permasalahan agar dapat bertindak dengan tepat. Mahasiswa harus mampu mengubah persepsi masyarakat bahwa mahasiswa tak lagi memberikan peran yang signifikan terhadap kehidupan bangsa dan negara. Hal ini karena tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi mahasiswa hari ini diragukan oleh sebagian masyarakat.

Kita selalu memiliki garis paralel dengan sejarah. Ini bukanlah doktrin untuk terus berpihak pada masa lampau, dan juga bukan mengharamkan sesuatu yang berbau visioner.[3] Dunia tak lagi menggunakan otot dan kekerasan untuk memecahkan sebuah persoalan, tetapi menggunakan otak dan kreatifitas sebagai pertahanan diri.

Era sekarang bukan lagi era Soeharto dan bukan lagi masa Soe Hok Gie yang setiap persoalan harus dipecahkan dengan demonstrasi dan kekerasan, seharusnya mahasiswa mencari strategi dan alternatif lain dalam memposisikan diri ditengah-tengah masyarakat dan birokrasi.

Mahasiswa adalah pemuda yang dipercaya sebagai sosok yang berpendidikan, memiliki acuan dalam setiap tindakan yang diambil, memiliki landasan teori dalam berpikir dan dalam mengutarakan pendapat.

Jika ingin melawan, maka jadilah pemuda yang tangguh, berwawasan luas, memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, jadilah generasi yang akan menggatikan pelaku birokrasi yang memiliki jiwa kemanusiaan, jadilah guru, dosen, hakim, pengacara, dokter dan profesi lainnya yang professional, yang tidak dibutakan oleh gaji ataupun uang dan jadilah para ekonom yang bertanggung jawab.

Dalam buku Escape From Freedom, Erich Fromm menjelaskan:

“Otoritas merupakan hubungan superioritas dan inferioritas. Ada pihak yang dipandang kuat dan hebat dan ada pihak yang memandang atau (terpaksa) mengakui yang superior.”

Budaya tersebut telah mengakar pada kehidupan masyarakat, maka mahasiswa harus berkompetisi dalam bidang keilmuan dan menjadi orang hebat pada masanya kelak, agar dapat mengangkat martabat kaum buruh, memperbaiki tatanan politik yang tidak ideal dan banyak fenomena yang secara jelas dianggap tidak sesuai dengan norma negara dan norma kemanusiaan.

Perang pada hari ini bukan lagi menggunakan bambu runcing sebagai senjata utama, penjajahan terhadap negara maupun suatu kelompok tidak lagi menggunakan strategi gerilya di medan tempur, namun mengarah pada perang ideologi dan peradaban.

Teladan Soe Hok Gie

“GIE” adalah panggilan akrab Sok Hok-gie. Pribadinya amat paradoksal. Ia seorang yang bukan saja gemar membaca tetapi gemar menulis. Gie dapat bergaul, berdebat, atau berdiskusi denga siapa saja, dari Bung Karno, beberapa Menteri Kabinet Gotong Royong, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), kaum intelektual muda Indonesia, Australia dan Amerika Serikat.[4]

Pemuda adalah mereka yang memiliki kepasitas keilmuan yang matang dan semangat kemanusiaan yang tinggi, mahasiswa seharusnya dapat bergaul, berdebat dan berdikusi dengan siapa saja, menunjukkan bahwa dirinya mampu menjadi bagian dari kemajuan pembangunan Indonesia.

Masa demokrasi seperti saat ini menawarkan banyak peluang bagi pemuda untuk berkarya dan berjihad sesuai dengan kebutuhan zamannya. Mahasiswa era sekarang melupakan sebagian perjuangan seorang Gie, yang mereka kenal Gie adalah aktivis mahasiswa yang berada di berisan terdepan menentang demokrasi terpimpin dan menumbangkan pemerintah orde lama.

Akan tetapi mahasiswa sekarang lupa bahwa Gie adalah pemuda yang memiliki Intuisi politik yang amat tajam karena kekayaan ilmu dan pengetahuaanya.[5] Bacaan apapun dilahapnya, dari filsafat, sosiologi, hukum sampai ke politik. Ini mewarnai gaya dan analisis tulisannya yang tajam pula, setajam sembilu.

Gie adalah pemuda yang gemar membaca dan menulis. Baginya, tulisan adalah wahana untuk menguak tabir persoalan yang mengganjal pikirannya.[6]. Menulis seharusnya menjadi begian dari kehidupan akademisi, menulis merupakan media untuk mengungkapkan pendapat dan ide dengan cara yang lebih elegan dan berpendidikan.

Jika kehidupan akademisi hanya diisi dengan duduk mendengarkan dosen lalu pulang, memilih kehidupan yang hedonis, lupa pada perjuangan orang tuanya di rumah dan begitu seterusnya, maka sebaiknya tidak ada perkuliahan bagi mahasiswa yang sedemikian rupa.

Mereka tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali ijazah yang hakikatnya hanya sebuah formalitas untuk melamar pekerjaan. Para mahasiswa masa lalu mendasari aktivisnya dari bacaan-bacaan yang amat kaya, sedangkan kebanyakan mahasiswa pasca 1970-an lebih mendasari pergerakannya pada gegap langkah yang kadang miskin ide untuk memberi arah bagi Indonesia masa depan.[7]

Mahasiswa harus rajin melahap ribuan lembar buku, berkarya, berprestasi, mengasah intelektualitas dan diakletika. Sebab begitulah tuntutan dunia hari ini.!

Mahasiswa harus menjadi generasi dan pemimpin yang membawa Indonesia pada kemerdekaan yang hakiki. Menjadi pilar penyanggah kemajuan Indonesia. Setiap era memiliki momentumnya sendiri dan biasanya sangat khas dengan zamannya, dan tidak berulang.[8]

Marilah awali perubahan dengan angkat pena, agar semua orang tau bahwa mahasiswa ada dan mampu menjadi wakil rakyat yang sesungguhnya. Kepada seluruh mahasiswa mari bersama untuk berpikir, berdiskusi, berdialektika, menggoreskan pena, menantang ketidakadilan dan keserakahan tanpa harus kehilangan identitas diri dan agama.

REFERENSI PUSTAKA:

[1] Agus Santosa, Memoar Biru Gie (Yogyakarta:Gradian Books, 2005), hlm. 13

[2] Eko Prasetyo, Bangkitlah Gerakan Mahasiswa (Yogyakarta:Social Movement Institute, 2014), hlm. 24

[3] Agus Santosa, Memoar Biru Gie (Yogyakarta:Gradian Books, 2005), hlm. 13

[4] Rudi Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R., Soe Hok-gie Sekali Lagi (Jakarkata:Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), hlm. 313

[5] Rudi Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R., Soe Hok-gie Sekali Lagi (Jakarkata:Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), hlm. 313

[6] Rudi Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R., Soe Hok-gie Sekali Lagi (Jakarkata:Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), hlm. 314

[7] Rudi Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R., Soe Hok-gie Sekali Lagi (Jakarkata:Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), hlm. 316

[8] Rudi Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R., Soe Hok-gie Sekali Lagi (Jakarkata:Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), hlm. 319