Salah satu sistem nilai yang perlu kita definisikan ulang dari aspek ekonomi kita adalah istilah pekerjaan, terutama pada motivasi dan pengaruhnya pada kehidupan kita.

Sebelumnya, mari memahami dulu bagaimana kerja dan kemiskinan ini dalam sebuah sistem:

Pemerintah kita masih cenderung menggunakan ekonomi model Keynes. Dimana dalam pandangan Keynes, investasi tambahan akan selalu meningkatkan pekerjaan (membuka lapangan kerja). Oleh karena itu akan menaikkan tingkat pendapatan total, yang pada gilirannya gilirannya juga akan meningkatkan permintaan pada barang-barang konsumen (consumer goods).

Dengan cara inilah, investasi diasumsikan akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kekayaan nasional. Kekayaan yang kemudian secara bertahap akan meretas ke bawah (trickle down) pada si miskin.

Lalu apakah masalah pengangguran dan pekerjaan penuh telah teratasi? Tentu belum. Banyak asumsi yang muncul, bahkan bisa saja bergerak ke arah sebaliknya.

Maka kita harus kerja, terkadang dengan alasan yang paling dasar adalah guna memenuhi obsesi kita pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang dipandang esensial oleh ekonom dan politisi kita. Padahal ujung dari pertumbuhan, eksploitasi dan perluasan yangt tak terbatas dalam lingkungan yang terbatas inilah yang akan mengantar kita pada malapetaka, kemusnahan.

Maka setelah membahas dorongan-dorongan eksternal yang mengharuskan kita untuk bekerja, mari menelaah lagi apa makna kerja bagi masyarakat kita:

Dalam masyarakat modern kita, pekerjaan identik dengan lapangan kerja, yaitu aktifitas yang dilakukan demi atasan dan demi uang, sedangkan aktifitas-aktifitas lain yang tidak dibayar tidak diperhitungkan sebagai pekerjaan.

“Misalnya pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga tidak dianggap memiliki nilai ekonomi, walaupun sebenarnya pekerjaan rumah tangga tersebut dari segi moneter hampir sama nilainya dengan dua pertiga jumlah keseluruhan gaji yang di bayarkan oleh semua korporasi.” (Chapra, 2014)

Sementara, pekerjaan dalam lapangan kerja yang dibayar tidak lagi dapat di akses oleh (semakin) banyak orang yang menginginkannya. Kemudian menganggur membawa suatu cacat sosial, dimana orang akan kehilangan status dan kehormatan di mata orang dan dimata mereka sendiri. Sebab mereka tidak mampu mendapatkan pekerjaan.

Di waktu yang sama, mereka yang memiliki pekerjaan seringkali harus melakukan aktifitas yang tidak dapat mereka banggakan. Pekerjaan yang mengantarkan mereka pada kondisi terasing dan tidak puas. Pekerja industri modern tidak lagi merasa bertanggungjawab atas pekerjaan mereka dan mereka juga tidak bangga.

Seperti kata Karl Marx: “Keterasingan ini berasal dari kenyataan bahwa pekerja tidak memiliki manfaat dari alat-alat produksinya sendiri, tidak tahu tentang manfaat hasil pekerjaan mereka dan tidak dapat mengidentifikasi dengan baik proses produksinya.”

Kurangnya rasa bertanggung jawab dan kebanggan, bersamaan dengan alasan mengejar setinggi-tingginya keuntungan, telah mengantarkan kita pada kondisi industri dimana pekerjaan yang dilakukan di dalamnya jadi serba boros dan tidak dapat dibenarkan.

Theodeore Roszak dalam bukunya The Making of a Counter Culture (1969:220) mengkritik keras pola kerja yang kita lakukan:

Pekerjaan yang menghasilkan sampah konsumen dan senjata perang  yang tidak berguna adalah salah dan boros. Pekerjaan yang dibangun atas kebutuhan palsu dan selera yang tidak perlu itu salah dan boros. Pekerjaan yang melukai lingkungan atau membuat dunia menjadi buruk itu salah dan boros.”

Tuntutan kerja dan ketidakpuasan juga ketiadaan makna dalam melakukan pekerjaan membuat sebagian besar kita memandang rekreasi sebagai fokus yang utama kehidupan. Padahal jika ditelaah, kita ibarat masuk dalam bentuk pemborosan yang lain.

Sebagaimana menurut Chapra (2014: 275) pekerjaan telah menjadi lawan dari waktu luang dan waktu luang (wisata) itu dimanfaatkan oleh industri besar yang menonjolkan peralatan padat sumberdaya dan energi juga, misalnya: game komputer, perahu mesin dan speedboat, kereta wisata. Sehingga semakin terjebak pada konsumsi yang memboroskan.

Kita perlu keseimbangan dan mengurangi obsesi pada pertumbuhan yang berlebih.

Ambil contoh masyarakat jaman dulu (tradisional) yang mana perempuan dan laki-laki biasa terlibat dalam berbagai macam aktifitas, misalnya bertani, mencari ikan, berburu, merajut, membangun bangunan, membuat alat-alat rumah tangga, memasak dan menyembuhkan.

Semua aktifitas tersebut tidak memandang hirarki, semuanya terhormat dan tidak sekedar memenuhi obesesi akumulasi modal dan pertumbuhan.

Menata ulang definisi kerja berarti mengarahkan supaya kerja atau pekerjaan yang kita lakukan didasarkan atas prinsip keseimbangan dan bukan sekedar di eksploitasi oleh industri, mengurangi eksploitasi lingkungan dan obsesi pertumbuhan, serta kesediaan untuk mewariskan bumi yang layak huni bagi generasi-generasi mendatang.