Penulis: Luthfi Hamdani

Membahas topik menikah tampaknya tidak akan ada habisnya. Anda bisa memaknai pernikahan dengan perspektif apa saja; memenuhi tuntutan sosial, pemuasan nafsu seksual, pemenuhan perintah agama, atau murni motif cinta. Juga bisa jadi kombinasi dari ke-semua motif tersebut.

Kamis kemarin, datang lagi undangan pernikahan dari seorang teman dekat selama tinggal di basecamp oraganisasi ekstra kampus. Tentu sebuah kabar bahagia.

Dalam tempo singkat sejak berkenalan, kedua mempelai bertekad penuh mengikat janji suci pernikahan. Dalam satu suasana yang sederhana. Keberanian dan kemauan untuk membangun komitmen jangka panjang ini yang mereka ikrarkan, satu faktor yang tidak dimiliki banyak generasi seumuran keduanya. Ketiadaan faktor komitmen ini pula yang menurut Himawan et al (2018) menjadi penyebab peningkatan tren menunda pernikahan (delaying-marriage) di Indonesia.

Jadi bagi para jomblo, kalian bisa sedikit berbesar hati. Sebab masih banyak manusia sejenis. Tentu saja dengan berbagai motif. Namun, mayoritas orang Indonesia tetap tidak ada yang mau menua dengan hanya menjadi jomblo.

Tulisan ini coba me-review riset dari Himawan (2018) berjudul “Either  I  do  or  I  must:  An  exploration  of  the  marriage  attitudes of  Indonesian  singles”.

***************

Jurnal yang diterbitkan The Social Science Journal tersebut memiliki tujuan untuk menggambarkan sikap para lajang (jomblo) terhadap pernikahan melalui interaksi tiga indikator: niat untuk menikah, tekanan sosial yang dirasakan untuk menikah, dan alasan mendasar untuk menikah.

Penelitian ini didasari berdasarkan data dari Australian Bureau of Statistic (2016), yang menemukan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi perubahan tren secara global terkait pernikahan. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah individu yang memilih tetap single (tidak menikah) atau menunda pernikahan. Tren semacam itu banyak terjadi di negara-negara barat, sehingga kemudian akrab diasosiasikan dengan budaya barat (western culture)

Sementara itu, negara-negara benua Asia memiliki respon yang berbeda-beda menyikapi tren jomblo ini. Singapura misalnya menganggap tren ini sebagai gaya hidup personal. Sehingga menurut Himawan et al (2018), orang-orang jomblo di Singapura menganggap menjadi jomblo merupakan gaya hidup dan buka suatu kegagalan sosial, menyebabkan gaya hidup menjomblo tidak divonis macam-macam secara sosial. Dampaknya, masayarakat cenderung memilih memberikan sikap menghargai pada ke-jomblo-an sebab muncul dari preferensi personal.

Beda kondisi dengan Singapura, negara-negara seperti Malaysia, China dan Indonesia yang tampaknya menganggap single (jomblo) sebagai transisi dan periode sementara, menyiratkan jomblo sekedar merupakan kondisi belum terpenuhinya nilai sosial bagi mereka yang masih lajang untuk dianggap telah melewati usia layak menikah.

Ada pola sosial tertentu mengenai fenomena single di Indonesia yang pantas diberi perhatian secara ilmiah. Statistik dari Badan Pusat Statistik (2010) menunjukkan bahwa proporsi wanita Indonesia yang belum menikah yang secara konsisten meningkat 30–39 tahun hampir tiga kali lipat (3,8%) dalam empat terakhir dekade. Namun, proporsi lajang di Indonesia masih tetap lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Modernisasi misalnya, telah berkontribusi pada tingkat transformasi sosial dan mengubah persepsi tentang pernikahan, khususnya di kalangan generasi muda (Himawan et al., 2017). Proses modernisasi juga dapat menjelaskan pertumbuhan gaya hidup jomblo di seluruh dunia.

Fachrudin F (2016) dalam artikel di media Kompas berjudul “Ketentuan  soal  perzina-han  dalam  KUHP  dinilai  perlu  diperluas” menuliskan bahwa, hukum Indonesia tidak mengakui status hukum hidup atau tinggal bersama (tanpa menikah), walaupun tinggal bersama semacam ini sekarang cukup lazim di masyarakat Indonesia. Meningkatnya jumlah perilaku seks pranikah (di luar nikah) adalah salah satu indikasi nilai yang menjelaskan bahwa saat ini pernikahan mulai dianggap kurang penting.

Akibatnya, lebih banyak anak muda yang menghindari pernikahan (yang menuntut komitmen jangka panjang dan tanggung jawab) karena alternatifnya telah tersedia, misalnya berupa tinggal bersama, hidup bersama atau membuat hubungan de facto, tanpa status hukum berlaku.

Menurut Jones et al., (2012), dalam jurnal berjudul “Understanding High Level of Singlehood in Singapore”, mereka yang memutuskan untuk tetap melajang karena tersedianya alternatif pernikahan bisa secara diklasifikasikan sebagai lajang sukarela (voluntary  singles).

Sementara fenomena di atas menekankan pilihan sukarela untuk melajang, melajang atau menjadi jomblo di Indonesia bisa juga terjadi tanpa sengaja karena lebih banyak orang lajang mengalami kesulitan dalam menemukan pasangan.

Indonesia adalah negara Asia di mana masyarakat lebih menyukai tradisi perkawinan yang berlebih-lebihan (Himawan et al., 2017). Dalam tradisi ini, pernikahan yang ideal adalah antara seorang pria dengan status ekonomi dan sosial yang lebih tinggi dan seorang wanita dengan status sosial-ekonomi yang lebih rendah daripada pria-nya.

Konsep seperti itu bahkan telah diperluas untuk tidak hanya memasukkan status sosial-ekonomi, tetapi juga usia, di mana pernikahan lebih disukai ketika pengantin wanita lebih muda dari pengantin pria.

Menemukan pasangan untuk menikah telah menjadi tantangan karena modernisasi mempromosikan kesetaraan gender di kedua bidang yaitu pendidikan dan industri. Kondisi ini menyebabkan lebih banyak wanita bersaing di pasar tenaga kerja.

Peluang pernikahan sesuai dengan tradisi berlebih-lebihan tadi selanjutnya menjadi berkurang,  karena lebih banyak wanita telah mengambil posisi yang sebelumnya diisi pria dalam industri, dimana jalur karier wanita meningkat sedangkan pria relatif stagnan (Furstenberg, 2015).

Kegigihan pola – pola ini mengarah pada peningkatan proporsi lajang yang bersedia menikah tetapi tidak dapat menemukan pasangan yang cocok, yang selanjutnya diklasifikasikan sebagai ‘tidak disengaja lajang’.

 

KESIMPULAN RISET DAN DISKUSI

Meskipun transformasi sosial telah lumayan berhasil mempromosikan satu gaya hidup melajang atau jomblo, pernikahan masih dianggap menguntungkan atau baik oleh orang indonesia. Hal ini tercermin melalui temuan yang menyatakan bahwa kira-kira empat dari setiap lima lajang (lebih dari 80% peserta) menunjukkan niat positif mereka untuk menikah.

Selain itu, niat untuk menikah juga bersifat universal di antara para jomblo, terlepas dari usia dan jenis kelamin.

Niat untuk menikah tidak bisa menjadi satu-satunya referensi untuk menyimpulkan sikap perkawinan yang menguntungkan karena beberapa responden berpikir bahwa pernikahan melampaui pilihan pribadi dan menganggapnya sebagai tuntutan agama atau kewajiban sosial.

Temuan ini selaras dengan kenyataan bahwa, dalam konteks Asia, orang tua memiliki pengaruh besar pada keputusan anak-anak mereka, termasuk menikah atau tidak. Sebagaimana diuraikan oleh  To, S (2015) dalam riset berjudul “My  mother  wants  me  to  Jiaru-haomen  (Marry  into a  rich  and  powerful  family)!”

Keyakinan keagamaan juga memainkan peran utama dalam memengaruhi keputusan pernikahan individu, dengan pernyataan bahwa melajang dipandang tidak menguntungkan atau tidak baik.

Selanjutnya, di antara tema-tema yang melambangkan motivasi pernikahan para jomblo, religiusitas tampaknya cukup memiliki dampak substansial pada preferensi pernikahan mereka. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa komunitas agama memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan niat pernikahan individu.

Ini khususnya berlaku di kalangan orang Indonesia, yang mayoritas adalah Muslim, meskipun menikah umumnya disukai dan dianggap baik oleh hampir semua agama. Afiliasi agama dapat memengaruhi motivasi pernikahan individu apabila ajaran agama mereka telah diinternalisasi menjadi bagian dari norma-norma sosial dari komunitas agama yang mereka termasuk di dalamnya.

Menurut ajaran Islam, yang menjadi doktrin agama yang diinternalisasi di tengah kehidupan masyarakat, pernikahan dianggap sebagai mandat agama (Ibrahim & Hassan, 2009); kegagalan untuk menikah dengan demikian bisa menyebabkan rasa bersalah.

Mengingat bahwa agama adalah suatu faktor identitas penting di antara masyarakat adat Indonesia, norma agama sering mengatur parameter utama dalam menentukan sikap individu dan perilaku. Oleh karena itu, ajaran agama yang mendukung pernikahan daripada melajang sangat membentuk sikap yang mendukung individu menuju pernikahan.

Selanjutnya, penelitian tersebut juga mengungkap bagaimana tekanan dari masyarakat dianggap memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pernikahan para lajang. Menurut penelitian ini, hanya satu dari setiap lajang tidak merasa tertekan untuk menikah.

Tekanan seperti itu dirasakan lebih intens sebagai orang lajang yang berusia lebih tua dan lebih berpendidikan. Temuan ini semakin menguatkan temuan Situmorang (2007), bahwa masyarakat sering mencemooh para lajang dengan tingkat pendidikan dan karier yang tinggi karena mereka dianggap egois dengan memprioritaskan prestasi mereka daripada membangun keluarga.

Wanita yang belum menikah merasakan tekanan yang lebih tinggi untuk menikah daripada rekan-rekan pria mereka. Temuan ini menunjukkan bahwa, meskipun kesetaraan gender telah menjadi hasil dari proses pendidikan dan kemajuan industri, harapan sosial konvensional masih lekat dengan dukungan ‘feminitas normatif’ yang mengaitkan wanita dengan pernikahan dan kewajiban menjadi ibu (Simpson, 2016).

Keluarga dan orang tua dianggap memberikan tekanan paling signifikan untuk menikah dengan orang lajang. Penemuan ini adalah bukti kuat bahwa pernikahan masih dianggap baik dan pada saat yang sama, menandakan keberadaan proporsi ‘lajang sukarela’ yang cukup besar.

Di samping itu, hasil ini sepertinya tidak mendukung penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa para lajang lebih bahagia daripada mereka yang menikah, sebagaimana dijabarkan dalam laporan Badan Pusat Statistik, (2015) berjudul “Indeks  kebahagiaan  Indonesia tahun  2014”

Pada umumnya, penelitian ini memberikan wawasan penting yaitu: meski jumlah jomblo semakin meningkat di Indonesia selama beberapa dekade terakhir, sebagian besar orang jomblo masih menghargai pernikahan dan secara intrinsik termotivasi untuk menikah di masa depan.

Kuatnya sikap mendukung pernikahan tetap ada, meskipun beberapa jomblo memiliki motivasi yang tidak jelas terhadap pernikahan yang akan mereka laksanakan. Penelitian ini juga menunjukkan kecenderungan kuat dari kebanyakan jomblo Indonesia untuk menjadi lajang hanya dalam sementara waktu, bukan sampai meninggal.

Apapun motif dan faktornya: Selamat menikah, sahabat.