Penulis: Luthfi Hamdani (Tim Redaksi Indonesia Imaji)

Neoliberalisme menjadi topik yang terus hangat dibahas di tengah perkembangan ekonomi Indonesia. Beragam kejadian seperti protes petani atas impor yang dilakukan pemerintah, problematika Tenaga Kerja Asing (TKA), dilema utang luar negeri sampai hadirnya perusahaan multinasional yang ditengarai banyak melewatkan tanggung jawab sosial dan ekologis menyebabkan topik ini perlu terus diulas. Beberapa contoh tersebut menjadi contoh permasalahan yang sedikit banyak timbul sebab corak ekonomi-politik kita yang mengarah pada neoliberalisme.

Neoliberalisme bisa diartikan sebagai sebuah teori tentang praktik ekonomi politik yang menyatakan bahwa jalan terbaik bagi peningkatan kesejahteraan kepada masyarakat dapat diraih dengan cara memberikan kebebasan kepada individu, dalam kerangka kelembagaan yang dicirikan oleh adanya hak kepemilikan pribadi, pasar bebas, dan perdagangan bebas (Harvey, 2005 dalam Rahmat dan Yustika 2017). Menurut Soesilowati (2009) paham neoliberalisme ekonomi semula berkembang dari liberalisme. Paham ini pada intinya memperjuangkan persaingan bebas (laissez faire), yakni paham yang memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Mereka percaya kekuatan pasar dapat menyelesaikan masalah sosial ketimbang melalui regulasi Negara. Kata “neo” dalam neoliberalisme sesungguhnya merujuk pada bangkitnya kembali bentuk baru aliran ekonomi liberal lama di mana pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja. Pemerintah diharuskan melakukan deregulasi dengan cara mengurangi restriksi pada industri, mencabut hambatan-hambatan birokratis perdagangan ataupun menghilangkan tarif demi menjamin terwujudnya free trade. Dengan demikian, liberalisme berkonotasi “bebas dari kontrol pemerintah”, termasuk kebebasan bagi kaum kapitalis mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Sementara itu, Baswir (2009:2) mengutip dari Giersch (1961) menuliskan bahwa inti dari kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah: (1) pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas sempurna, (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor pribadi diakui, (3) pembentukan harga pasar bukan sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang. Menurut Prasetiantono (Kompas, 2009) ada Sepuluh formula dilontarkan oleh John Williamson yang kemudian disebut Washington Concensus yang menjadi cikal bakal kemunculan neoliberalisme. Pertama, disiplin fiskal di mana pemerintah negara berkembang diminta menjaga anggarannya agar tetap surplus. Namun, apabila sisi fiskalnya tertekan dapat ditoleransi mengalami defisit asalkan tidak lebih 2% dari Produk Domestik Bruto. Kedua, belanja pemerintah sebaiknya diprioritaskan untuk memperbaiki distribusi pendapatan. Pemerintah disarankan membiayai proyek-proyek dan program yang dapat menaikkan pendapatan kelompok miskin. Ketiga, sektor fiskal perlu direformasi terutama dengan melakukan perluasan obyek pajak dan wajib pajak. Keempat, sektor finansial perlu diliberalisasi. Para penabung harus tetap mendapatkan suku bunga riil positif. Kelima, penentuan kurs mata uang seyogyanya dilakukan dengan mempertimbangkan daya saing dan kredibilitas. Kurs yang terlalu kuat seolah-olah kredibel, tetapi memperlemah daya saing ekspor. Sebaliknya, jika kurs terlalu lemah akan meruntuhkan perekonomian. Keenam, perdagangan sebaiknya diliberalisasikan di mana pemerintah harus menghapus ekspor atau impor (barrier to entry and out) agar efisien. Ketujuh, hendaknya investasi asing tidak didiskriminasi. Investasi asing harus diperlakukan sama dengan investasi domestik, karena keduanya diperlukan untuk mendorong perekonomian dan membuka lapangan pekerjaan. Kedelapan, BUMN sebaiknya diprivatisasi dengan tujuan efisiensi dan membantu pembiayaan defisit APBN. Kesembilan, melakukan deregulasi dengan menghilangkan berbagai bentuk restriksi sehingga pasar kompetitif. Kesepuluh, pemerintah perlu menghormati dan melindungi hak cipta agar menumbuhkan iklim inovatif.

Dengan sistem tersebut, maka tugas pemerintah sekadar menyediakan kelembagaan ekonomi yang sesuai dengan ‘gaya pasar’, misalnya menjaga kestabilan nilai mata uang, memelihara ketertiban dan keamanan, serta menegakkan aturan hak milik individu Menurut Rahmat dan Yustika (2017) dengan demikian neoliberalisme adalah bentuk paling ekstrim dari sistem pasar.

Ada beberapa agenda utama dari neoliberalisme, yaitu:

  1. Mengangkat peran pasar di atas peran pemerintah dalam tata kelola perekonomian untuk memediasi arus modal dan barang (melalui penghapusan bantuan harga, perdagangan bebas, nilai tukar mata uang yang ditentukan pasar dan lain-lain)
  2. Meningkatkan peran dan ruang lingkup sektor swasta serta kepemilikan privat (melalui privatisasi, deregulasi dan lain-lain)
  3. Mempromosikan gagasan Sound economic policy (melalui kebijakan anggaran berimbang, fleksibiltas pasar tenaga kerja, dan inflasi rendah). (Chang dan Grabel, 2004 dalam Rahmat dan Yustika, 2017:39)

 

Liberalisasi Ekonomi Indonesia

Dalam konteks Indonesia, corak perekonomiannya pada dasarnya selalu fleksibel atau terjadi  perubahan corak antara gaya ekonomi yang menekankan peran negara, dalam periode yang lain cenderung diwarnai oleh gaya ekonomi yang mendukung peran dominan pasar. Perubahan-perubahan dominasi ini tidak sepenuhnya bermotif ideologis (sosialisme melawan kapitalisme), seringkali hanya bersifat pragmatis dan politis. Misalnya dalam banyak kasus, ekonomi kita berhadapan dengan beragam masalah praktis yang mengharuskan adanya pemecahan masalah secara segera dengan jalan berpikir pragmatis dengan menerapkan teori atau model ekonomi yang telah tersedia, berdasarkan akal sehat dan berorientasi pada pemecahan masalah. (Rahardjo, 1992:11 dalam Rahmat dan Yustika, 2017:11)

Namun meskipun sering terjadi pergeseran dan bahkan sering bercampur antara paham ekonomi yang menekankan dominasi peran pemerintah dan paham yang menekankan dominasi peran pasar, Rahmat dan Yustika (2017:11) menilai bahwa secara umum perjalanan perekonomian Indonesia dicirikan dengan semakin besarnya peran pasar (neoliberal) dan semakin memudarnya peran pemerintah. Liberalisasi atau proses dominasi corak perekonomian neoliberal telah berlangsung cukup lama. Dalam kasus Indonesia, liberalisasi telah dilangsungkan dalam tiga tahap, yaitu pada 1966, pertengahan 1980-an hingga 1990-an, dan pasca krisis finansial. Baswir (2009:4) menilai bahwa agenda-agenda ekonomi neoliberal secara massif berlangsung di Indonesia setelah Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1997/1998.

Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997/1998 ditandai dengan beberapa kondisi di antaranya tingginya utang luar negeri yang sebagian besar (60% dari total utang eksternal) merupakan utang sektor swasta. Ketika sektor swasta gagal melunasi utang tersebut, maka pemerintah mengambil alih tanggung jawab sehingga statusnya berubah menjadi utang publik (Nasution, 2000 dalam Rahmat dan Yustika 2017:88). Pada tahun 1997 juga terjadi keluarnya arus modal hingga sebesar USD 24 miliar. Arus modal keluar ini yang kemudian menyebabkan nilai mata uang rupiah mengalami depresiasi. Kondisi ini menyebabkan pemerintah menaikkan tingkat suku bunga yang menyebabkan banyak perusahaan mengalami kesulitan sumber likuiditas (Rahmat dan Yustika, 2017:88).  Dampaknya banyak perusahaan mengalami bangkrut, jumlah pengangguran meningkat, dan kemiskinan bertambah.

Dalam situasi yang kalut, pemerintah memerlukan dana segar guna pemulihan perekonomian. Pada tangga 31 Oktober 1997 akhirnya pemerintah memperoleh dana segar sebesar USD 43 dari IMF. Namun dengan syarat agar  Indonesia melakukan liberalisasi pada sejumlah kebijakan yang tertuang dalam nota kesepahaman antara pemeritah dan IMF. Limapuluh butir kesepakatan tadi dapat dibagi menjadi kebijakan struktural jangka pendek seperti devaluasi nilai tukar mata uang dan kontrol mobilitas uang, liberalisasi perdagangan, pengetatan anggaran. Sedangkan kebijakan struktural jangka panjang meliputi liberalisasi perdagangan dengan mengurangi tarif dan kuota impor, reformasi sektor keuangan, reformasi sektor pajak dan peningkatan pajak tak langsung (Hadi et al, 2007 dalam Rahmat dan Yustika, 2017:89)

Namun kebijakan yang ditawarkan IMF tidak berjalan dengan baik, bahkan semakin memperparah keadaan yang dialami Indonesia. Misalnya penutupan 16 bank bermasalah justru menimbulkan kepanikan di kalangan nasabah yang berakibat terjadinya rush di sepuluh bank lain seperti BCA dan Danamon (Rahmat dan Yustika, 2017:89). Indonesia juga harus menanggung biaya sosial dan ekonomi seperti PHK, pengangguran dan naiknya jumlah penduduk miskin. Semua ekses atau dampak buruk tersebut berujung pada krisis politik pada Mei 1998. Menurut Rahmat dan Yustika (2017:90) beban utang yang sangat besar juga membuat belanja APBN tersedot dalam jumlah besar guna melunasi utang luar negeri. Beban utang yang kemudian membatasi kemampuan pemerintah dalam melakukan ekspansi fiskal guna menaikkan permintaan domestik.

Meskipun gagal menyembuhkan krisis, pengaruh IMF di Indonesia masih terus berlanjut dalam periode pasca krisis. Indonesia mengalami liberalisasi melalui keikutsertaan dalam perdagangan bebas, privatisasi, liberalisasi modal asing dan pengurangan subsidi pemerintah. Hambatan tarif mengalami pengurangan berarti selama era reformasi. Penurunan tarif dialami oleh produk tekstil, makanan sampai produk industri kayu, kertas, logam, mesin dan sebagainya. Perubahan lain yang patut diperhatikan adalah keterbukaan terhadap modal asing. Pada 2007, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 25 tentang Penanaman Modal. Dalam UU yang baru ini pemerintah membuka semua bidang usaha untuk dimasuki oleh modal asing maupun modal domestik, kecuali bidang yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. UU Penanaman Modal memberikan peluang kepada investor asing untuk beroperasi pada bidang-bidang usaha strategis dengan porsi kepemilikan hingga 100 persen (Rahmat dan Yustika (2017:91-92).

Di bidang agraria, dalam periode tahun yang lebih jauh sejak sebelum reformasi, Soesilowati (2009) mencatat ada banyak kebijakan yang erat kaitannya dengan pangan telah direformasi menuju kebijakan neoliberal. Banyak produk perundan-gundangan yang diciptakan demi untuk mendukung atau menciptakan iklim persaingan bebas. Misalnya, UU Pengairan No.11 Tahun 1974; UU Kehutanan No.41 Tahun 1999; UU Pelestarian Sumberdaya Alam Hayati dan  Ekosistemnya No.5 Tahun 1990; UU Sistem Budidaya Tanaman No.12 Tahun 1992; UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 Tahun 1997; UU Kesehatan No.23 Tahun 1992; dan UU Perlindungan Varietas Tanaman No.29 Tahun 2000 semuanya merupakan undang-undang yang menjamin untuk melindungi kepentingan perusahaan agribisnis yang menanamkan modal mereka dalam bidang pangan di Indonesia.

Lebih lanjut, Soesilowati (2009) menuliskan bahwa industri perbankan nasional yang merupakan jantung perekonomian nasional juga  telah dikuasai investor asing. Dengan dikuasainya industri perbankan nasional kita oleh investor asing, tentu dapat mengakibatkan perekonomian Indonesia dikuasai dan dikendalikan oleh pihak asing. Sejumlah bank swasta nasional baik bank papan atas maupun bank kecil kini telah dikuasai investor asing. Sebut saja BCA, Bank Niaga, Bank Permata, BII, Bank Danamon, Bank Lippo, Bank Panin, Bank NISP telah diambil alih manajemen asing melalui strategic sales. Namun, bukan cuma bank kelas kakap, bank-bank kecilpun telah dikuasai ‘asing’ pula, seperti; Bank Swadesi sahamnya dibeli State Bank of India, Bank Halim Internasional dijual ke ICBC (Industrial & Commercial Bank of China), Bank Haga dan Hagakita dibeli Rabo Bank International (Belanda), Bank Indomonex dibeli State Bank of India, Bank ANK dibeli oleh Bank Commonwealth. Oleh karena itu rasanya lebih tepat jika kita menyebut mereka itu bank swasta asing dan bukan lagi bank swasta nasional.

Rahmat dan Yustika (2017:317) memberikan kesimpulan bahwa meskipun peran pemerintah semakin minimal, namun pada dasarnya praktek liberalisasi di Indonesia sebenarnya bersifat parsial. Kesimpulan ini dibuktikan dengan masih tingginya hambatan masuk ke sektor industri yang berujung pada tingginya konsentrasi pasar, tingginya hambatan non-tarif dan lebih dipilihnya model privatisasi parsial dalam proses pengelolaan BUMN. Selanjutnya Rahmat dan Yustika (2017:318) menuliskan bahwa liberalisasi di Indonesia cenderung dititikberatkan dalam aspek makro-ekonomi, penanaman modal asing, dan sektor finansial. Sedangkan Belloc et al (2013:1033) menilai bahwa liberalisasi yang terjadi di Indonesia beberapa dekade terakhir menuju arah pro-pasar dengan menghilangkan hambatan perdagangan dan mempromosikan perpindahan kepemilikan perusahaan negara kepada tangan swasta atau privatisasi.

 

Kritik pada Neoliberalisme

Alih-alih menghadirkan kemandirian dan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat, perekonomian Indonesia dengan sistem neoliberalnya seringkali mengantarkan pada beragam permasalahan baru, selain kinerjanya belum pernah memuaskan. Jika melihat beragam aspek misalnya jumlah pengangguran, modal asing yang masuk secara besar-besaran, utang luar negeri yang salah kaprah sampai ketimpangan dan kemiskinan kita tampaknya masih jauh dari menjadi bangsa yang tergolong mandiri dan sejahtera. Gaya ekonomi neoliberal ini tentu mengandung beragam masalah. Stiglitz menilai pemujaan berlebih dari neoliberalisme terhadap pasar berpotensi menghadirkan beragam bahaya. Bagi Stiglitz, pasar hanyalah satu alat dan bukan satu-satunya alat untuk mencapai tujuan perekonomian. Sehingga menurut Baswir (2009:5) menjadikan pasar sebagai satu-satunya alat, terlebih sampai memujanya bisa berakibat memporak-porandakan pondasi integrasi sosial dan menjerumuskan masyarakat ke dalam lembah kehancuran.

Sedangkan Rahmat dan Yustika (2017:47) menuliskan bahwa konsep pasar bebas yang diyakini oleh para penganut neoliberalisme mengandung beragam kelemahan dalam sejumlah asumsinya, yaitu:

  1. Pasar bebas hanya dapat berfungsi jika informasi bersifat sempurna sehingga keputusan seetiap pelaku ekonomi dapat diambil secara tepat. Kondisi ini dinilai mustahil bisa terwujud dalam dunia nyata. Seringkali individu sebab ketidaksempuranaan informasi membuat keputusan ekonomi yang tidak efisien, atau sering keputusan diambil berdasarkan informasi yang keliru.
  2. Neoliberalisme mengabaikan besarnya potensi kegagalan pasar di negara-negara berkembang, yang mana hal ini memerlukan intervensi aktif dari pemerintah dalam kadar yang besar.
  3. Konsep manusia ekonomi (homo economicus) yang menjadi dasar analisa perilaku individu tidak sepenuhnya tepat dan sesuai dengan kenyataan. Dalam pandangan ini manusia selalu diinterpretasikan sebagai makhluk yang mencari kepuasan maksimal, dan seringkali guna memenuhi kepuasan tadi manusia melewatkan kalkulasi atau pertimbangan secara sadar.

Beragam dampak yang muncul dari gaya perekonomian neoliberal di Indonesia misalnya adalah: (1) Hambatan perdagangan yang semula berupa tarif tinggi pada arus keluar masuk barang mulai dihilangkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, (2) Terus melemahnya kontrol modal, kekuatan serikat buruh, regulasi bisnis dan kuasa pemetintah di hadapan modal, (3) Ketidak pastian anggaran belanja sosial, (4) BUMN yang tidak lagi (secara lumrah) dimiliki oleh pemerintah sejak adanya privatisasi, (5) nilai mata uang lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar dibandingkan oleh kesepakatan pemerintah, (6) strategi pembangunan lebih berorientasi ekspor daripada fokus membangun dalam negeri.

Baswir (2009:35) menuliskan beberapa kritik terhadap cara berpikir ekonom kita yang sebagian besar menurutnya berpandangan neoliberal. Ia menyatakan bahwa kebanyakan ekonom tidak memiliki agenda jelas dalam membangun struktur perekonomian Indonesia merdeka. Beberapa yang dianggap salah kaprah adalah banyak ekonom yang berpandangan bahwa peran BUMN sebagai penyelenggara cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak hanya bersifat sementara, dianggap tidak terlalu penting. Sementara dominasi asing terhadap sektor pertambangan mereka anggap sebagai sesuatu yang mulia.

Yang lebih parah yaitu pandangan kebanyakan ekononom terhadap modal asing (Baswir, 2009:36). Alih-alih dipandang sebagai ancaman, modal asing malah dianggap begitu dibutuhkan. Atas nama modal asing, pekerja dipaksa menerima sistem ketenagakerjaan yang fleksibel. Atas nama modal asing, pemerintah daerah diharuskan menghapus peraturan daerah yang menghalang-halangi investasi. Dan alih-alih berusaha keras mewujudkan kemandirian ekonomi nasional, mereka justru memuja dan memuliakan modal asing sebagai dewa penyelamat perekonomian Indonesia.

 

Neoliberalisme dan Krisis Keuangan 2008

Pembahasan dan terutama kritik terhadap sistem ekonomi neoliberal memuncak kembali kala terjadi krisis global tahun 2008. Menurut Wahyu Susilo dari International NGO in Indonesia (INFID) dalam artikel di situs web Indoprogress.com (04/03/2010) “Krisis di tahun 2008 terjadi akibat tidak seimbangnya sektor keuangan dengan sektor produksi karena adanya praktek monopoli sumber daya ekonomi oleh korporasi besar dan negara maju terhadap negara miskin. Modal untuk pembangunan hanya dimiliki oleh sekelompok korporasi besar dan negara tertentu saja, sementara negara miskin harus dengan cara berutang untuk mendapatkan dana pembangunan dengan kewajiban menjalankan seluruh persyaratan negara maju. Kondisi tersebut menyebabkan banyak masyarakat kehilangan sumber daya ekonominya akibat struktur ekonomi yang mengesahkan praktek monopoli. Penguasaan ekonomi yang tidak adil menciptakan struktur kemiskinan yang akut, yang pada akhirnya menurunkan kemampuan daya beli masyarakat.”

Lebih lanjut menurut Susilo:

“Ketiadaan daya beli berarti ketiadaan pasar yang menjadikan sektor keuangan tumbuh secara tidak seimbang dengan sektor produksi. Sektor produksi tidak memberi keuantungan yang besar dikarenakan daya beli konsumen tidak ada. Ketika sektor keuangan terus tumbuh sementara sektor produksi stagnan maka terjadilah finance bubble (gelembung keuangan), yang sewaktu-waktu bisa bisa meledak dan menimbulkan krisis. Sehingga kalau kita lihat, krisis tahun 2008 diawali dari krisis keuangan, diikuti krisis perbankan dan kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi. Sektor keuangan telah berkembang menjadi industri skala besar dengan beragam produk derivative yang diciptakannya, yang sesungguhnya hanyalah permainan judi semata tanpa ada hasil produksi yang diperdagangkan kecuali uang dan kertas. Monopoli keuangan dan produksi inilah yang seseungguhnya menjadi akar dari krisis ekonomi di tahun 2008 juga di tahun-tahun sebelumnya.”

Sejalan dengan Susilo, risis keuangan tahun 2008 menurut Gerard Dumenil, seorang Direktur Penelitian di Center Nasional de la Recherche Scientifique di Paris, mencerminkan adanya “krisis struktural,” seperti yang tercatat mempengaruhi jalannya kapitalisme setiap empat puluh tahun, yaitu akhir abad ke-19, ketika terjadi Depresi Hebat (the Great Depression), dan tahun 1970. Di atas segalanya, krisis 2008 mencerminkan krisis dalam paradigma neoliberal yang berlaku luas, yang telah mendominasi pembuatan kebijakan ekonomi-politik selama 40 tahun terakhir.

Dalam buku yang ditulis bersama Dominique Lévy, “The Crisis of Neoliberalism”   (2011) menurut Dumenil, neoliberalisme adalah tatanan sosial, bentuk baru kapitalisme, yang dapat dijelaskan dengan mengakui bahwa sekarang ada tiga kelas atau “tatanan sosial” dalam kapitalisme kontemporer: kelas kapitalis, ‘kelas populer’ yang terdiri dari pekerja upahan dan karyawan bergaji tingkat rendah; dan di antara keduanya ada kelompok yang oleh Dumenil digambarkan sebagai ‘kelas manajerial’. Tatanan sosial berubah ketika kelas manajerial berpihak pada salah satu dari keduanya. Jadi pada tahun 1930-an dan pada periode pasca perang, kelas manajerial memihak kelas populer melawan kelas kapitalis dan kita kemudian banyak negara memiliki sistem negara kesejahteraan ala Keynes dan sebagainya. Pada era neoliberal, kelas manajerial lebih memihak kelas finansial kapitalis dan kelas populer telah ditinggalkannya.

Dengan adanya krisis neoliberalisme pada tahun 2008, Dumenil melihat adanya peluang penataan kembali ‘tatanan sosial baru’ ini, dengan para manajer akan lebih berpihak kembali kepada kelas populer. Keberpihakan ini muncul ketika posisi mereka terus terkikis dan standar hidup mereka terancam. Guna memperbaiki ekonomi, Dumenil menuliskan bahwa kita membutuhkan pembalikan dramatis dari etos pasar bebas yang menyelimuti sebagian besar dunia selama beberapa dekade terakhir. Yang paling penting, proses perbaikan ini akan memerlukan perampingan sektor keuangan, karena finansialisasi ekonomi berarti bahwa keuangan telah menjadi pusat operasi harian dari sistem ekonomi. Lebih tepatnya, sektor swasta non-keuangan dari ekonomi telah menjadi lebih tergantung pada kelancaran fungsi sektor keuangan untuk menjaga likuiditas dan solvabilitas neraca mereka, dan untuk meningkatkan dan menjaga kesejahteraan ekonomi mereka. Misalnya, rumah tangga telah meningkatkan penggunaan utangnya untuk mendanai pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan, transportasi, dan mereka menjadi lebih tergantung pada bunga, dividen, dan capital gain sebagai sarana untuk mempertahankan dan meningkatkan standar hidup mereka.

Belajar dari krisis 2008, Dumenil memperingatkan bahwa menghidupkan kembali kebijakan neoliberal yang telah didiskreditkan selama 40 tahun terakhir tidak akan menghasilkan pemulihan yang berkelanjutan; pasar bebas tidak dapat mengubah timah yang tidak berharga menjadi emas. Selain itu, seperti pengalaman awal 1930-an memberitahu kepada kita, jika dibiarkan sendirian untuk mengatasi masalah saat ini, mekanisme pasar akan menyebabkan deflasi besar-besaran, kebangkrutan besar-besaran, penghancuran besar-besaran aset fisik, dan pengangguran yang sangat besar. Ini akan berlanjut sampai struktur hutang disederhanakan dan struktur ekonomi yang mendasarinya diubah secara radikal. Dalam prosesnya, keresahan sosial akan berkembang ke titik dimana seluruh sistem sosial ekonomi akan terancam.

Mykhnenko dan Birch dalam penutup buku The Rise and Fall of Neoliberalism (2010) menuliskan bahwa ada tiga arus utama dari politik internasional dalam menanggapi krisis 2007–2009. Pertama, pandangan telah menjadi representasi sosial dari konjungtur saat ini, yaitu menganggap kirisi 2007-2008 sebagai krisis dalam tubuh kapitalisme dan bukan menganggap kapitalisme (neoliberalisme) sebagai sistem tersendiri yang menyebabkan krisis. Publik pada umumnya berkali-kali ditekan untuk percaya bahwa, sistem kapitalisme yang sedikit lebih bertanggung jawab secara sosial‘ adalah yang terbaik yang bisa kita lakukan ke depan, setidaknya untuk saat ini. Kemudian tugas utama pemerintah kita adalah berusaha untuk tetap menjalankan model kapitalis-neoliberal sebagaimana saat ini.

Kedua, dan erat hubungannya dengan pernyataan pertama, muncul perasaan kepanikan moral. Kegagalan moral dikatakan telah mendahului kehancuran sistem keuangan. Ketika terjadi kegagalan ‘ekonomi baru’ (new economy) biasanya yang disalahkan adalah pada bankir ‘serakah’, pialang saham, dan para menteri pemerintah yang naif (naive’ government ministers). ‘Budaya bonus’ yang tidak tersentuh yang dimiliki (out-of-touch bonus culture) yang diberikan kepada manajer yang sangat kaya juga tidak luput dikritik atau disalahkan. Peraturan pasar modal dan keuangan internasional yang lebih baik dan lebih ketat, telah secara aktif diharuskan untuk memberikan hukuman bagi bankir yang tidak bertobat dan untuk mengakhiri ‘oligarki kapitalisme keuangan’.

Ketiga, seruan untuk menghadirkan kembali kapitalisme ‘bermoral baik ala masa lalu’ (good old morals) yang dibangun berdasar nilai-nilai puritan masa Victoria. Kapitalisme ini secara menarik hadir di tengah-tengah gelombang keempat (keuangan, ekonomi, dan pengangguran) dari krisis 2007-2008 – dengan adanya upaya mengalokasikan defisit pengeluaran publik (public deficit spending). Juga mengajak kembalinya pemerintahan di seluruh dunia menuju manajemen permintaan fiskal ala Keynesian, pelonggaran moneter yang belum pernah terjadi sebelumnya, bail-out dan agenda ‘penyelamatan’ dengan nasionalisasi.

 

Keharusan Membangun Institusi dan Kemandirian

Melihat pesatnya proses liberalisasi pada perekonomian Indonesia serta berbagai krisis yang disebabkan olehnya, Soesilowati () mengajak untuk memahami kembali isi Pasal 33 UUD 1945 dengan melihat sisi filosofis dan sejarah lahirnya, dimana pendiri republik ini menjabarkan pasal 33 dengan meletakan azas: Pertama, kegiatan ekonomi masyarakat harus didasrkan kepada rasa kebersamaan diantara anggota masyarakat. Kedua, azas “usaha bersama” ini harus berdasarkan semangat kekeluargaan yang saling menunjang dan saling menguntungkan di antara berbagai pelaku ekonomi. Ketiga, hal-hal yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemaknuran rakyat. Keempat, penguasaan negara dan penentuan bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dilakukan melalui peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan dan pengaturan lainnya. Kelima, tidak diberikannya tempat kepada liberalisme dengan membuang jauh ciri free fight liberalism. Sistem ekonomi yang termuat pada pasal 33 diciptakan untuk mempersempit bahkan idealnya meniadakan adanya pertentangan dan kesenjangan kelas sosial dalam masyarakat. Kekuatan ekonomi golongan atas golongan yang lain diganti dengan sistem kerjasama berdasar atas azas kekeluargaan. Selain itu, dalam konteks membangun sistem perekonomian Indonesia, maka pasal 33 harus selalu dikaitkan dengan pasal 27 ayat (2) dan pasal 34 UUD 1945.

Senada dengan Soesilowati (2009), Baswir (2009:162) menuturkan bahwa ekonomi kerakyatan menjadi seperangkat nilai yang seharusnya diamalkan dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 (sebelum amandemen) bahwa nilai yang menjiwai ekonomi kerakyatan adalah tegaknya kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Selanjutnya, Baswir (2009:163) menuliskan bahwa sebagai sebuah sistem, ekonomi kerakyatan mencakup sisi makro dan mikro dari perekonomian. Pada sisi makro, ia bisa didekati dalam rangka penyelenggaraan kebijakan fiskal, moneter, maupun dalam penyelenggaraan hubungan ekonomi internasional. Sedangkan pada sisi mikro, nilai-nilai ekonomi kerakyatan dapat diamalkan baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, koperasi, BUMN/BUMD, pemanfaatan sumber daya alam, maupun dalam penyelenggaraan perusahaan swasta.

Selanjutnya Baswir (2009:181) menuturkan bahwa koperasi merupakan primadona bagi jalannya ekonomi kerakyatan, meskipun bukan satu-satunya faktor pendukung. Dalam sistem ekonomi kerakyatan, koperasi diakui sebagai bentuk perusahaan yang ideal, tetapi juga sekaligus ditetapkan sebagai model mikro dari sistem perekonomian Indonesia. Baswir mengutip ungkapan bung Hatta: “jadinya Indonesia ibarat satu taman yang berisi pohon-pohon koperasi, yang buahnya dipungut oleh rakyat banyak.” (Hatta, 1932).

Melihat beragam dampak dari liberalisasi perekonomian Indonesia, dari sudut pandang ekonomi kelembagaan, pemburukan sebagian penampilan ekonomi pasca reformasi bukan hanya dapat dilihat dari pilihan kebijakan reformasi ekonomi, namun juga kelemahan dalam mendesain kelembagaan yang bermutu. Dalam bingkai besar, kelembagaan yang tidak berkualitas terpantul dari kegagalan pemerintah dalam menciptakan institutional environment berupa reformasi kelembagaan administratif, sistem legal (hukum), dan sistem politik (demokrasi). Ketiganya jadi syarat wajib agar kebijakan reformasi ekonomi dapat dikerjakan di lapangan. Selanjutnya institutional environment saja tidak cukup, karena masih diperlukan kelembagaan mikro (institutional arrangements) guna memperkuat kebijakan reformasi ekonomi. Kelembagaan pada level mikro dalam kasus ketimpangan pendapatan adalah rincian regulasi upah minimum, kebijakan harga pangan, dan pemanfaatan sumber daya di sektor keuangan.

Berikutnya lingkungan kelembagaan yang perlu dibangun terkait masalah kemiskinan adalah adanya aturan main tentang statuta hubungan antar pelaku ekonomi, menghidupkan asset yang mati, perdagangan internasional yang selektif. Terakhir, dalam masalah pengangguran kelembagaan yang harus disiapkan adalah desain insentif bagi yang tidak bekerja di sektor pertanian, mengurangi mahalnya biaya izin usaha, menghapus perilaku rent seeking dalam promosi sektor ekonomi, akses permodalan yang tidak berjalan baik serta ketiadaan perlindungan hukum bagi sektor informal. Selain itu, kelembagaan sosial juga harus dihadirkan guna memastikan bahwa dalam proses reformasi tersebut tidak ada kelompok masyarakat yang tergilas roda perubahan ekonomi, yaitu dengan perbaikan instrument jaminan sosial dan transfer pendapatan. (Rahmat dan Yustika, 2017:317-318).

Sebagai catatan, kelembagaan yang dimaksud disini dimengerti sebagai regulasi perilaku atau aturan yang secara umum diterima oleh anggota suatu kelompok sosial, yang pelaksanaannya bisa diawasi secara internal (self-policed) maupun eksternal (external authority) (Yustika, 2014:228). Dalam perkembangannya, pendekatan ekonomi kelembagaan bisa dibagi menjadi dua, yakni old institutional economics (OIE) dan new institutional Economics (NIE). Penganut OIE berpendapat bahwa kelembagaan merupakan faktor kunci dalam menjelaskan dan mempengaruhi perilaku ekonomi, sambil menolak seluruh bangunan teoritis yang diciptakan oleh aliran neoklasik. Sedangkan pendukung NIE juga berpendapat bahwa mengenai pentingnya kelembagaan, hanya pendekatan ini tidak menolak semua kerangka pemikiran neoklasik. Dalam beberapa hal, pendekatan NIE menerima asumsi yang dimiliki oleh aliran neoklasik, misalnya perilaku mementingkan diri sendiri (self seeking), namun beberapa asumsi lain ditolak misalnya informasi yang sempurna dan tidak adanya biaya transaksi. (Kherallah dan Kirsten, 2001 dalam Yustika 2014:230). Pendekatan kelembagaan yang digunakan Rahmat dan Yustika (2017) dalam menganalisa dan memberikan solusi bagi dampak liberalisasi pasar di Indonesia termasuk new Institutional Economics (NIE).

Senada dengan Rahmat dan Yustika (2017), Basri (2007) dalam Humphreys et al (2007:xxiv)  menilai bahwa keberhasilan dalam mengelola kekayaan alam Indonesia akan tercermin antara lain dari peningkatan daya beli dan kesejahteraan rakyat yang lebih merata. Misalnya apabila ada kebijakan harga BBM dinaikkan, masyarakat telah memiliki kemampuan yang lebih untuk menghadapinya. Hanya dengan peningkatan kesejahteraan riil masyarakat Indonesia bisa lebih siap mengarungi mekanisme pasar yang menghadirkan rasa keadilan. Jadi, unsur kedua yang harus betul-betul disiapkan ialah terhadirkannya berbagai persyaratan bagi proses ‘marketisasi’ pengelolaan sumberdaya alam.

Lebih lanjut, Basri (2007) dalam Humphreys et al (2007:xxiv) menuliskan bahwa syarat yang dibutuhkan bagi terwujudnya peran negara dan mekanisme pasar yang menjamin rasa keadilan ialah penguatan kerangka institusi. Tanpa institusi atau kelembagaan yang kuat, pengelolaan kekayaan alam akan mengalami banyak kendala. Kerangka institusi yang kuat memungkinkan terhadirkannya pembagian peran yang tegas antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat. Juga membuat rambu-rambu yang kokoh agar kekayaan alam tak menjadi “bancakan” para elit, politisi, dan kelompok-kelompok kekuatan lain. Selain itu, institusi yang baik membuka luas akses bagi siapa pun yang punya kemampuan dan kompetensi untuk mengusahakan sumberdaya alam.

Belajar dari krisis 2007-2008, Mykhnenko dan Birch (2010) menuliskan proses reformasi sektor keuangan substansial, yang mau tidak mau terletak di jantung ‘kapitalisme moral’ yang lebih adil, sejauh ini kurang bisa diandalkan. Sebaliknya, sudah banyak bukti bahwa pasca krisis, bisnis perusahaan tetap berjalan seperti biasa; dengan gaji eksekutif dan kenaikan bonus (bonuses rising) dan dilahirkannya kembali kelompok kapitalis yang dijuluki penguasa keuangan alam semesta (financial masters of the universe). Kemudian, yang juga menjadi lebih jelas adalah pemulihan krisis menjadi awal sebenarnya dari ‘penghematan biaya hidup’ bagi sebagian besar wajib pajak kelas menengah dan berpendapatan rendah. Sehingga kapitalisme moral gaya lama (old morals capitalism) yang baru tidak akan mampu memberikan ‘hasil yang lebih adil’ terlepas dari semua jaminan yang diberikan(Osborne 2009; lih. Brown 2009).

Dekade kedepan akan berisi pemotongan pengeluaran publik, standar hidup yang lebih rendah, pajak yang lebih tinggi untuk semua (kecuali mereka yang dapat menghindarinya), dan privatisasi lebih lanjut badan usaha milik negara atau beragam layanan public. Ttidak diragukan lagi akan menjadi satu dekade konfrontasi industri yang intens dan arena perjuangan sosial. Pasca krisis 2007-2008, menurut Mykhnenko dan Birch (2010) juga akan menjadi momentum bagi spektrum kekuatan politik (kiri) progresif dan semua banyak inkarnasinya (pragmatis-reformis, revolusioner sosialis, libertarian-anarkis, populis, dan hijau atau pejuang kelestarian lingkungan), untuk berada di dalam satu kendaraan perjuangan politik yang sama untuk mengupayakan keadilan sosial, keadilan pekerjaan, keadilan mata pencaharian, dan mengadvokasi terhadap berbagai dampak bencana lingkungan. Sejauh ini, dunia akademik dan literatur populer atau populis sayap kiri sudah mulai menyediakan beberapa jawaban kontemporer untuk banyak pertanyaan mendesak yang dihadapi oleh mayoritas orang di seluruh dunia. Kompleksitas dan besarnya krisis saat ini, dikombinasikan dengan meningkatnya kekhawatiran akan stabilitas sosial dan keamanan pribadi di antara orang-orang pada umumnya, menimbulkan banyak tantangan komunikasi dan persepsi bagi kaum Kiri dalam hal menyediakan alternatif yang layak dan konstruktif untuk kapitalisme baru ataupun lama di masa ketidakpastian pasca krisis.