Diskursus atau wacana tentang relasi anatara agama islam dengan nasionalisme mulai ramai dibahas lagi beberapa waktu terakhir. Beberapa kelompok mengangkat wacana bahwa nasionalisme bertentangan dengan islam, sebab tidak ditemukan dalil dari al-qur’an dan hadist.
Hal ini berimplikasi pada bentuk dan sistem negara-bangsa kita perlu dipertanyakan ulang, bahkan harus dirubah. Misalnya kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan beberapa kelompok yang memiliki perspektif sama, telah mengharamkan demokrasi dan sistem nasionalisme di Indonesia, dengan menyebut bahwa Nasionalisme bertentangan dengan islam, racun mematikan, serta kufur dan merusak.
Fenomena munculnya beberapa kelompok yang mempertentangkan antara nasionalisme dan islam ini patut membuat kita turut mengkaji ulang relasi antar keduanya.
Sementara kita tahu, kehidupan kita dilandasi paham negara-bangsa (nation-state) yang salah satu pondasinya adalah nasionalisme atau cinta tanah air. Pondasi yang dirumuskan juga oleh para ulama.
Setelah 73 tahun kemerdekaan, eksistensi dan perkembangan negara ini cukup bergerak menuju arah yang positif, masih saja ada bagian masyarakat kita yang mempertnyakan keabsahan cinta tanah air.
Lebih jauh, jika diamati arah perjuangan kelompok yang menafikan nasionalisme seperti itu seringkali merujuk pada usaha untuk mendirikan suatu bentuk negara-agama.
Nasionalisme sendiri bisa ditelusuri berangkat dari kondisi perjuangan merebut kemerdekaan, yang dalam prosesnya dipandang perlu memunculkan suatu konsep bersama sebagai pembenaran rasional dan pengikat keikutsertaan semua orang. Dalam perjuangan atas nama sebuah bangsa yaitu Indonesia.
Sartono Kartodirjo dalam Muchtar Ghazali (2004) mengungkapkan bahwa nasion (nation) menunjuk pada suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama yang berbeda dalam aspek etnis, golongan sosial, kepercayaam, bahasa dan sebagainya.
Yang kesemuanya terintegrasikan dalam perkembangan historis sebagai satu kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas antar mereka. Heterogenitas dan pluralitas ini akan menjadi potensi kolektif jika diarahkan pada orientasi tujuan bersama, yaitu ideologi nasional atau nasionalisme.[1]
Dalil Nasionalisme (Cinta Tanah Air) dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Sebagai penguat bahwa nasionalisme atau sikap cinta tanah air merupakan hal yang juga diajarkan dalam islam, maka kita bisa menelaah beberapa dalil:
Dalam QS. Al-Hasyr ayat 8, Allah SWT berfirman:
“(juga) bagi orang fakifr yang berhijrah yang diusir dari kampong halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasulnya. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Ayat ini menggambarkan kesulitan yang dihadapi oleh kaum Muhajirin yang harus meninggalkan harta-benda, rumahnya, anak-anaknya, keluarganya.
Maka, jadilah mereka orang-orang fakir miskin pada saat menjadi orang-orang yang berhijrah. Dan ayat ini menggambarkan bahwa pujian Allah SWT atas kaum Anshar (yang telah beriman sebelumnya, membangun Madinah dengan baik.
Dan lebih mengutamakan kaum Anshar atas harta-harta mereka) itu disamakan dengan orang-orang Muhajirin yang harus meninggalkan semua yang mereka miliki (baik harta-benda, keluarga, handai taulan, dan seterusnya) terutama tanah-airnya tercinta.[2]
Perasaan yang hancur lebur sebab terusir ini lebih dekat kesedihannya daripada hanya membagi harta benda, sedangkan mereka masih tinggal di negerinya, di rumahnya bersama anak istri, keluarga dan sahabat.
Dalam ayat lain, Allah SWT menyamakan level kesulitan pengusiran dengan kematian:
“Dan (ingatlah) ketika orang kafir (Quraisy) memiikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipudaya.” (QS. al-Anfal 30)
Dari ayat tersebut bisa dilihat bahwa pengusiran suatu kaum dari tanah airnya sama dengan penghilangan nyawa. Sebagaimana juga dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah 191, dengan frasa “al-fitnatu asyaddu minal qatli” itu adalah lebih baik mati daripada menjadi menjadi musyrik setelah dipaksa oleh orang-orang kafir.
Ini menegaskan bahwa pengusiran dari negara suatu kaum sama levelnya dengan pembunuhan. Pilihannya kemudian adalah: terusir dan mengungsi, atau terbunuh dan tetap memeluk agama islam.[3]
Ayat lain yang menguatkan kesamaan level antara terbunuh dan terusir ini adalah ayat berikut:
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka.
Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih mengutamakan (iman mereka).” (QS. Al-Nisa: 66)[4]
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecintaan pada tanah air sehingga nyama menetap di dalamnya, mempertahankan jika diserang dan rindu jika sedang jauh darinya, serta akan marah jika tanah airnya dicela oleh bangsa lain. Hal ini menunjukkan cinta tanah air sudah menjadi tabiat manusia.
Rasulullah SAW sendiri pernah mengekspresikan kecintaanya kepada Mekah sebagai tempat kelahirannya. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban berikut ini:
“Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu,” (HR Ibnu Hibban).
Kecintaan Rasulullah SAW terhadap Madinah juga tak terelakkan. Karenanya, ketika pulang dari bepergian, Beliau memandangi dinding Madinah kemudian memacu kendarannya dengan cepat. Hal ini dilakukan karena kecintaannya kepada Madinah.
“Dari Anas RA bahwa Nabi SAW apabila kembali dari berpergian, beliau melihat dinding kota Madinah, maka lantas mempercepat ontanya. Jika di atas atas kendaraan lain (seperti kuda) maka beliau menggerk-gerakkannya karena kecintaannya pada Madinah” (HR. Bukhari)
Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika kembali dari bepergian, yaitu memandangi dinding Madinah dan memacu kendaraannya agar cepat sampai di Madinah sebagaimana dituturkan dalam riwayat Anas RA di atas, menurut keterangan dalam kitab Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani menunjukkan atas keutamaan Madinah dan disyariatkannya cinta tanah air. “Hadits tersebut menunjukan keutamaan Madinah dan disyariatkannya mencitai tanah air serta merindukannya”[5]
Beberapa dalil diatas menunjukkan bahwa islam secara langsung maupun tidak langsung juga menganjurkan umatnya untuk mencitai tanah air, tempat dimana mereka lahir, tumbuh dan menetap.
Dengan menerima berbagai kondisi heterogenitas serta multikultural yang ada didalamnya. Sebab bahkan ketika nabi berada di Madinah, negara yang begitu dicintainya, beliau dihadapkan pada berbagai kaum, yaitu adanya muslim pendatang atau kaum muhajirin, muslim pribumi (anshar) yaitu ‘auz dan khazraj, umat yahudi yang terdiri dari Bani Quraizhah, Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan umat Nashrani.
Sehingga beliau menyusun penataan dan pengendalian sosial dalam mengatur hubungan-hubungan antar golongan di bidang sosial,ekonomi, politik dan agama.
Akar Fenomena Pertentangan Nasionalisme dan Islam
Kecemasan mulai hilangnya nasionalisme dari diri masyarakat muslim ini perlu diwaspadai. Hal ini sebab berdasar jejak pendapat pada tahun 2005 oleh Pew Research Center (Allawi; 2015), bahwa mayoritas muslim di beberapa negara misalnya Pakistan, Maroko, Turki dan Yordania mereka lebih memandang diri mereka sebagai muslim daripada warga negara-bangsa mereka masing-masing.[6]
Paham anti nasionalisme ini jika dibiarkan disebarluaskan di Negara-bangsa Indonesia tentu akan merusak beberapa prinsip nasionalisme yang telah kita pegang teguh sejak masa perjuangan kemerdekaan sampai sekarang, yaitu: kesatuan, kebebasan, kesamaan, identitas-kepribadian sebagai bangsa Indonesia, juga prestasi-prestasi kita sebagai negara-bangsa yang membanggakan.[7]
Dalam ranah yang lebih luas, sebenarnya islam secara ontologis memandang semua manusia merupakan bagian dari satu keluarga tanpa batas, satu umat manusia.
Meskipun kemudian terbagi dalam beberapa komunitas moral yang berbeda-beda (umam), islam secara esensial mengajak untuk saling menghormati dan berperilaku baik.[8]
Dilihat dari pandangan tersebut maka semua muslim dimanapun merupakan anggota umat islam, suatu komunitas ideal tanpa memandang geografis. Namun sebab suatu identitas tidak pernah monolitis, selain islam memandang setiap muslim memiliki suatu keanggotaan moral yang tunggal, islam juga menerima kenyataan jika ada masyarakat muslim yang terpisah dalam berbagai kesatuan Negara-bangsa.
Singkat kata, bisa dikatakan islam mengkui pengelompokan manusia atau umat-umam dalam Negara tertentu.
Negara dan pemerintahan dalam islam memang tidak secara spesifik disebutkan, namun al-Qur’an menyebut seperangkat prinsip atau fungsi yang mengimplikasikan keberadaan tatanan sosio-politik, atau penggunaan otoritas yang terorganisir demi terwujudnya prinsip-prinsip kontrak (‘ahd), ketaatan (amanat), dan legitimasi hukum (hukm).[9]
Sehingga kecintaan umat islam (nasionalisme) terhadap tanah airnya yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segala karakter multikultral dan tujuan berbangsanya yang sama, tidak lagi perlu dipertentangkan atau bahkan berusaha dirobohkan. Dengan argumentasi tidak adanya dalil dan sebagainya.
Sedangkan daripada itu, gejala kemunculan kelompok yang mempertentangkan nasionalisme (cinta tanah air) dengan islam ini perlu ditelusuri akar permasalahannya.
Fenomena hadirnya kelompok islamis seperti ini dan begitu pesatnya pertumbuhan pengikutanya, menurut telaah penulis disebabkan oleh beberapa kondisi, diantaranya:
Pertama,
Kemelaratan perekonomian dan ketidakadilan sosial dunia islam. Perbedaan antara kekayaan dan kemiskinan yang ekstrim menjadi dilema serius bagi umat muslim. Disatu sisi ada negara-negara teluk penghasil minyak dengan kekayaan yang luar biasa, disisi lain ada beberapa negara seperti Pakistan, Bangladesh dan Indonesia dengan umat muslim yang dominan namun hamper setengah jumlah penduduknya hidup dengan kurang dari 2 dolar sehari.[10]
Fenomena ini ditambah kinerja ekonomi dunia islam yang hampir selalu di posisi inferior mengahadapi globalisasi dan negara-negara ‘barat’ dengan seperangkat modal, infrastruktur dan aturannya.
Kedua,
Paham wahabi dan pandangannya yang monolitik. Kelompok yang mengajarkan bahwa nasionalisme bertentangan dengan islam mucul dari pikiran yang monoitik dan keras. Jika ditelusuri, beberapa peneliti menunjukkan fenomena ini berasal dari ajaran Wahabisme dan tokoh teologi abad pertengahan Ibnu Taimiyah.[11]
Pemikiran kelompok ini dicurahkan pada merubah ortodoksi dalam dunia sunni yang dia pandang sebagai kerusakan dalam kehidupan islami sebab tersebarnya berbagi aturan dan kebiasaan yang tidak terdapat dalam syariah dan contoh nabi. Lebih spesifik bahwa, segala yang tidak lolos dari pengujian syariah Ibnu Taimiyah adalah bid’ah, sehingga termasuk sesat dan harus dihindari. Mulai dari pujian terhadap para wali sampai konsep nasionalisme.
Ketiga,
Layunya spiritualitas islam. Kecemasan yang melanda umat muslim saat ini bisa digambarkan sebagai katekutan hilangnya orisinilitas dalam kehidupan mereka.[12] Suatu perasaan bahwa ‘keadaan amoral’ sedang meningkat dan keprihatinan pada pengaruh barat. Sementara itu, kesadaran etis umat juga tengah mengalami erosi, sebab keluarga dan organisasi sosial sebagai sistem yang memelihara dan melindunginya tengah melemah perannya.
Masyarakat muslim yang tengah bergerak menuju modernitas juga tengah disibukkan dengan cara pencarian spiritual mereka. Sehingga sering mucul anggapan bahwa ilmu tasawuf yang dianut oleh kelompok mayoritas-tradisionalis, saat ini distigmakan sebagai takhayul, halusinasi, penciptaan mitologi dan belum teruji kebenarannya.
Keempat,
Keterjajahan pikiran dan peradaban. Filosof Aljazair, Malek Bennabi dalam (Allawi: 127) memandang keterjajahan islam oleh dominasi barat terjadi sebab kecenderungan umat muslim membiarkan pikiran mereka terjajah, atau dalam istilahnya colonisabilite.[13]
Ditengah keterjajahan tersebut, masyarakat muslim dipandang masih saja terjebak pada silogisme berbahaya, yaitu ‘kami muslim, karenanya kami sempurna’. Sehingga masyarakat terperangkap oleh kondisi yang begitu-begitu saja dan ketika dihadapkan pada realitas peradabannya, mereka akhirnya sulit bangkit dan kebingunan menemukan solusi yang bisa digunakan.
Beberapa faktor tersebut yang kemudian mempengaruhi umat muslim secara global maupun lokal hendak membangun gerakan bersama dengan upaya membangkitkan lagi suatu kondisi kejayaan islam.
Dalam ranah lebih teknis di upayakan dengan membangun kekhalifahan global, yang implikasinya adalah penghapusan batasan-batasan teritori geografis dan kedaulatan negara-bangsa yang terlah terbangun. Termasuk, secara perlahan ingin menghapuskan cinta tanah air dari benak masyarakat muslim terhadap NKRI.
Namun keempat faktor tersebut juga tidak bisa dipungkiri sebagai kondisi arus utama yang tengah melanda umat muslim. Sehingga jika problematika tersebut tidak terselesaikan, gagasan atau pandangan bahwa nasionalisme tidakn sesuai dengan islam akan semakin besar pengikut dan pengaruhnya.
Upaya-Upaya Pelestarian Nasionalisme
Melihat berbagai fenomena yang dialektis tadi, maka perlu adanya suatu upaya strategis oleh seluruh kalangan untuk menjadikan semboyan dan pandangan cinta tanah air Indonesia ini menjadi suatu yang lebih bermakna.
Kecintaan pada tanah air yang juga diajarkan oleh islam tersebut perlu kita transformasikan semangatnya guna mewujudkan keadilan sosial, kehidupan yang maju dan masyarakat religious yang tidak ‘kaget’ menghadapi perbedaan dan perkembangan zaman. Sehingga tidak lagi muncul wacana memecah belah dengan menggunakan nasionalisme tidak ada landasannya dalam agama.
Menurut hemat penulis, beberapa agenda kolektif perlu dikerjakan dengan semangat yang lebih tinggi, diantaranya:
Pertama,
Proyek pembangunan civil society atau konsep masyarakat Madani. Mentransformasikan masyarakat menuju cita-cita masyarakat madani menjadi penting guna membangun keselarasan antara islam dan nasionalisme.[14]
Secara kolektif kita perlu membangun masyarakat yang mandiri secara individu maupun kelompok, memiliki ruang publik yang bebas untuk mengemukakan pendapat, proses penegakan demkrasi dan keadilan sosial, tegaknya supremasi hokum dan mewujudkan suatu masyarkat yang pluralis dan toleran.[15]
Kedua,
Penguatan peran negara dalam menjamin hak-hak sosial dan ekonomi warga (109)[16]. Keadaan sosial ekonomi masyarakat merupakan faktor penting untuk menilai apakah dalam masyarakat ada keadilan sosial atau tidak. Keadilan sosial ekonomi yang bukan hanya dalam asrtin fisik berupa kekayaan, namun juga menyangkut aturan main dalam mengatur perekonomian. Sehingga terwujud pemerataan.
Negara memiliki peran strategis dalam hal ini, namun masyarakat secara mandiri juga perlu meningkatkan kualitas diri supaya mampu mengelola potensi alam yang sedemikian besar menjadi memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.
Ketiga,
Pendidikan dengan keluasan wawasan dan pendekatan seperti sistem kurikulum pesantren. Pendidikan sebagai suatu proses transfer ilmu dan budaya serta pembiasaan karakter-karakter baik suatu bangsa bisa menjadi pondasi kokoh guna membangun nasionalisme kebangsaan. Dalam pendidikan ini bisa kita sampaikan bahwa relasi antara agama dan nasionalisme bukanlah bertentangan, tapi saling mengisi.
Peserta didik dalam pendidikan formal maupun pesantren perlu terus diajarkan pendekatan komparatif supaya kaya perspektif dalam memandang persoalan. Misalnyan santri-santri di pesantren yang terbiasa dengan hal-hal terkait isu khilafiyah, membandingkan argumentasi dan menemukan pendapat mana yang paling kokoh (rajih).
Wawasan dan perspektif kritis ini penting ditengah maraknya paham membid’ahkan dan takfir yang monolitik dan membuat keresahan ditengah masyarakat.[17] Dalam pendidikan ini pula religiusitas generasi penerus bangsa bisa ditanamkan.
Keempat,
Kepemimpinan yang kokoh dan progresif. Khairudin (2005) mengutip pendapat Al Farabi bahwa seorang pemimpin negara ibarat hati dalam tubuh. Kondisi sosial masyarakat akan berkembang seiring perkembangan pemikiran pemimpin dan rakyatnya.
Dalam konteks Indonesia berarti presiden, gubernur, bupati atau walikota dan pemimpin-pemimpin di bawahnya. Semakin baik pemimpin baik secara pribadi maupun kebijakan (policy), maka keutamaan masayarakat akan semakin bertambah pula.[18]
Terakhir, maka kita temukan bahwa nasionalisme adalah bagian tidak terpisahkan dari islam, namun kecintaan pada tanah air itu perlu kita isi dengan proses transformasi strategis supaya lebih mengena esensinya dan bisa mewujudkan masyarakat negara-bangsa yang kuat, mandiri dan maju. Sehingga tidak lagi ada yang mempertentangkannya dengan ajaran islam.
REFERENSI
[1] Muchtar Ghazali, Civic Education; Pendidikan Kewarganegraan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2004) h. 3
[2] Al-Qur’an dan Tafsirnya. (Jakarta: Departemen Agama RI,2009)
[3] Al-Qur’an dan Tafsirnya. (Jakarta: Departemen Agama RI,2009) Jilid. 3
[4] Al-Qur’an dan Tafsirnya. (Jakarta: Departemen Agama RI,2009) Jilid 2
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, Beirut, Darul Ma’rifah, 1379 H, juz III, halaman 621).
[6] Ali A. Allawi, Krisis Peradaban Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015) h.432
[7] Nurcholis Majid, Islam Kemoderenan Dan Keindonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1987) H.37
[8] Bassam Tibi, Etika Politik Islam, Civil Society, Pluralisme dan Konflik, (Jakarta:ICIP, 2005) h.81
[9] Muchtar Ghazali, Civic Education; Pendidikan Kewarganegraan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2004) h. 34
[10] Ali A. Allawi, Krisis Peradaban Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015) h.359
[11] Ibid, h. 195
[12] Ibid, h. 419
[13] Ibid, h. 127
[14] Bassam Tibi, Etika Politik Islam, Civil Society, Pluralisme dan Konflik, (Jakarta:ICIP, 2005) h.80 dan 95
[15] Muchtar Ghazali, Civic Education; Pendidikan Kewarganegraan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2004) h. 107
[16] Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, (Yogjakarta: LKiS, 200) h.109
[17] Masdar Hilmy, Pendidikan Islam Dan Tradisi Ilmiah, (Malang: Penerbit Madani 2016) h. 81
[18] Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, Menyingkap dinamikan dan sejarah politik kaumn sunni (Yogjakarta: Safiria Insania Press, 2005) h.145