Suatu saat, ketika pejalanan dari Semarang ke Surabaya menggunakan bis, saya berkesempatan ngobrol banyak hal dengan penumpang di sebelah tempat duduk saya. Seorang pria berusia 40 an tahun, dan mengaku memiliki dua orang anak.

Hari kamis dia izin ke pabrik karena ada acara nikahan di Sidoarjo. Dia pria asli Sidoarjo, kemudian setelah menikah memutuskan pindah ke Kudus dan kerja di pabrik semacam perbaikan alat-alat listrik.

Sebagai orang lebih tua, obrolan kami di bumbui beberapa nasihat hidup darinya. Mulai urusan kerja sampai pernikahan, hingga sampai pada topik tentang biaya hidup.

“Saya ini heran, dengan UMK yang ada pada kisaran sejuta delapan ratus an kok  bisa yaa penduduk sini ngatur uang. Apalagi di sini biaya hidup mahal juga.”

*UMK= Upah Minimum Kota/Kabupaten

“Berapa biaya sekali makan standar pak?” saya tanya.

“Setidaknya perlu 15 ribu lah sama es teh. Itu kalau makan biasa. Kalau ayam goreng, bisa sampai 25 ribu. Bayangkan, belum biaya sekolah anak dan keperluan rumah lain.” Jawabnya.

“Bukannya kalau ayam goreng ala lamongan dimana-mana juga segitu pak?” tanya saya lagi.

“Iyaa, kalau di Surabaya, Gresik atau Sidoarjo segitu masih bisa dijangkau. UMK disana sampai tiga juta setengah. Terpaksa saya ini sering makan nasi kucing, seng telung puluk an enthek iko mas, hahaha. Harusnya dinaikkan upah buruh ini, mas.”

Perkara upah ini yang setiap tahun jadi PR rumit bagi pemerintah.

Pemerintah tentu harus mengakomodasi kenaikan upah buruh sebab secara faktual kondisinya memang masih mengenaskan, di luar alasan adaptasi dengan inflasi yang terjadi tiap tahun. Namun, pemerintah tidak mungkin mengabulkan begitu saja karena harus berhitung dengan kemampuan pengusaha menanggung dampak kenaikan upah tersebut.

Menurut Erani Yustika (2013), tuntutan kenaikan upah merupakan hal yang lumrah karena dua hal pokok.

Pertama, biaya hidup yang berubah (meningkat) karena tekanan inflasi. Oleh karena itu agar kualitas hidup tetap terjaga seperti semula, maka peningkatan upah harus dilakukan. Jadi, pada dimensi ini kenaikan upah sekadar untuk mengimbangi kenaikan ongkos kebutuhan hidup. Biasanya, pada sisi ini kenaikan upah selalu mengacu kepada kenaikan inflasi yang terjadi. Pemerintah biasa juga memakai patokan inflasi untuk menaikkan gaji pegawai negeri (PNS).

Kedua, memberikan ruang bagi peningkatan kesejahteraan untuk memerbaiki kualitas hidup dan produktivitas. Seperti halnya petani, pedagang sektor informal, nelayan, dan lain-lain; buruh adalah salah satu kelompok yang tingkat kesejahteraannya rendah. Dengan meningkatkan upah lebih besar (di atas tingkat inflasi), maka terbuka ruang bagi mereka memerbaiki produktivitas melalui peningkatan gizi maupun akses terhadap pengetahuan (pendidikan/keterampilan).

Maka pemerintah, buruh, dan pengusaha harus memutuskan “upah dasar” yang mencerminkan standar kebutuhan hidup layak dengan variabel yang representatif dan terukur.

Terkait masalah upah ini, faktor lain yang perlu diberi perhatian adalah masing-masing kewajiban buruh dan pemerintah, yaitu:

Kewajiban pokok buruh adalah meningkatkan produktivitas setara dengan kenaikan upah. Tanpa kenaikan produktivitas, kenaikan upah akan menenggelamkan perusahaan dalam daya saing yang rendah sehingga tak dapat bertahan dalam jangka panjang, lebih-lebih dalam era globalisasi. Bila skema ini yang terjadi, maka buruh justru akan dirugikan pada masa depan.

Sementara itu, pemerintah mesti mengerjakan tugas yaitu: menciptakan iklim usaha yang bagus, mengurangi rente ekonomi (pungli), ongkos birokrasi yang rendah, dana investasi yang murah (misalnya menekan bunga kredit), dan memerbaiki sistem logistik. Semua ini isu lama tapi tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah.

Pengusaha sering mengeluh oleh kenaikan upah bukan karena tak sanggup memikulnya, namun akibat beban yang besar sebab pemerintah abai terhadap tugasnya.

Masih menurut Erani Yustika, tantangan utama Indonesia saat ini adalah menurunkan disparitas pendapatan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita kurang memiliki daya guna dalam konteks kesejahteraan semesta apabila ketimpangan pendapatan meningkat.

Dalam skala makro, kita sebagai negara berkonsep kesejahteraan, perlu mencontoh Swedia.

Swedia merupakan negara yang anggaran negaranya sangat besar (sekitar 30% terhadap PDB, sedangkan di Indonesia hanya pada kisaran 12% dan habis untuk belanja birokrasi dan bayar utang), yang sebagian besar untuk alokasi pendidikan, kesehatan, dan tunjangan sosial.

Dengan pendidikan dan kesehatan yang bagus, semua orang memiliki akses yang sama untuk meraih pekerjaan yang laik dengan insentif upah yang tinggi. Inilah yang menjadi kunci Swedia memeroleh pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan per kapita yang menjulang, daya saing hebat, dan ketimpangan pendapatan yang sangat rendah (Gini Rasio 0,25). Semoga kita belum telat untuk memulai ikhtiar mulia ini.

Dalam skala kecil, yaa jangan makan ayam goreng setiap hari juga. Selain tidak baik untuk dompet, juga tidak baik untuk kesehatan.