Beberapa waktu yang lalu, dari 157 desa di 14 kecamatan di Kabupaten Trenggalek, 132 desa di antaranya menggelar Pilkades serentak.
Pada masa yang akan datang, proses demokrasi ini tentu perlu selalu mendapat perhatian khusus. Sebab, Pilkades sangat vital dalam proses pembangunan Indonesia. Dimana saat ini desa bukan lagi obyek pembangunan, melainkan subyek pembangunan. Desa sudah bisa menentukan arah pembangunan secara mandiri.
Potensi konflik dalam Pilkades pun tentu sangat tinggi dibandingkan pemilu eksekutif dan legislatif diatas kepala desa. Hal ini sebab masyarakat desa berinteraksi langsung secara intens antar kubu pendukung masing-masing kandidat. Dalam ruang yang tentu cukup sempit, satu desa.
Berbeda misalnya dengan pemilu bupati/walikota bahkan presiden, apalagi calon legislatif, cakupan wilayah yang terlalu luas, proses yang ditangani langsung oleh KPU dan para kandidat serta pendukungnya tidak bersaing melawan orang yang sehari-hari berinteraksi dengan mereka, maka potensi konflik tentu lebih rendah.
Selain potensi konflik, fenomena yang sangat sering dijumpai dalam pemilihan kepala desa adalah praktik money politics. Kandidat yang bersaing bahkan tidak tanggung-tanggung menggelontorkan dana guna meraih kemenangan. Sampai di masing-masing pemilik hak pilih, nilainya bisa mencapai ratusan ribu, bahkan menurut beberapa informasi, di desa-desa yang sedikit penduduknya, jumlah ‘uang untuk beli suara’ mendekati jutaan per-orang.
Konflik, gengsi sosial dan praktik money politic ini tentu jangan sampai mengaburkan tujuan Pilkades itu sendiri. Sebagai bagian dari demokrasi, juga upaya awal membangun desa yang mandiri dan sejahtera.
Desa saat ini telah bertambah perannya. Berdasarkan subtansi makna yang tercantum dalam UU No.6 Tahun 2014, desa merupakan lokus yang terintegrasi dengan prinsip rekognisi dan otonomi yang menempatkan desa sebagai arena politik, arena demokrasi, arena sosial, arena adat istiadat, dan arena ekonomi.
Derajat pengakuan terhadap desa oleh negara, bukanlah alur melepaskan desa dari hubungan kausalitas dalam bernegara, akan tetapi mendorong dan menempatkan desa sebagai indentitas bernegara. Oleh sebab itu state akuntability menjadi prinsip utama yang dikedepankan dalam berdesa
Besarnya peran desa dalam UU Desa tersebut, masih menyisakan banyak masalah di level pelaksanaan. Mengutip laporan Syarief Aryfaid, yang dipublikasikan pada situs web lsn.or.id (2018), memasuki periode empat tahun implementasi UU Desa, ada banyak persoalan yang terjadi, khususnya menyangkut tanggung jawab berdesa dalam koridor sebagai bagian dari tanggungjawab bernegara.
Masalah tersebut mulai dari persoalan malpraktik perencanaan, malpraktik anggaran, disfungsi kewenangan, disorientasi program, hingga manipulasi proyek pembangunan desa, merupakan gambaran umum proses berdesa.
Semua persoalan tersebut, harus mendapat respon dari berbagai kalangan, dan pemerintah merespon melalui regulasi dan kebijakan.
Ada dua faktor kunci yang perlu mendapat perhatian khusus dalam jalannya pemerintahan desa, yaitu: kepemimpinan kepala desa dan rasionalitas penerapan dana desa.
Kepemimpinan Kepala Desa
Kepala desa menempati posisi paling penting dalam kehidupan desa. Semangat UU No. 6/2014 adalah guna menempatkan kepala desa bukan sekedar sebagai kepanjangan tangan pemerintah, melainkan sebagai pemimpin masyarakat. Artinya kepala desa harus mengakar dekat dengan masyarakat, sekaligus melindungi, mengayomi dan melayani warga masyarakat.
Menurut buku Modul Pendamping Desa (dalam web blog Insan Desa Institute, 2017), beberapa karakter penting kepemimpinan kepala desa sebagai berikut:
Pertama, kepemimpinan baru yang inovatifprogresif dan pro perubahan. Di berbagai desa telah tampil banyak kepala desa yang relatif muda dan berpendidikan tinggi (sarjana), yang haus perubahan dan menampilkan karakter inovatif-progresif. Mereka tidak antidemokrasi, sebaliknya memberikan ruang politik (political space) bagi tumbuhnya transparansi, akuntabilitas dan partisipasi.
Kedua, kepemimpinan yang absah (legitimate) secara sosial, politik, hukum dan administratif. Legitimasi (keabsahan, kepercayaan dan hak berkuasa) merupakan dimensi paling dasar dalam kepemimpinan kepala desa. Seorang kepala desa yang tidak legitimate maka dia akan sulit mengambil inisiatif fundamental.
Dalam hal ini, prosedur yang demokratis merupakan sumber legitimasi (Cohen, 1997). Prosedur demokratis dan legitimasi ini bisa disaksikan dalam arena pemilihan kepala desa. Legitimasi kepala desa (pemenang pemilihan kepala desa) yang kuat bila ia ditopang dengan modal politik, yang berbasis pada modal sosial, bukan karena modal ekonomi alias politik uang.
Ketiga, kepemimpinan yang bersandar pada nilai dan mekanisme akuntabilitas. Akuntabilitas kepala desa merupakan jantung kepemiminan dan demokrasi desa. Sebagaimana dalam UU Desa ditegaskan bahwa akuntabilitas merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Rasionalitas Penerapan Dana Desa
Pengesahan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa diundangkan dalam lembaran Negara RI tahun 2014 No. 7 yang termaktub 122 pasal di dalamnya. Regulasi tersebut diikuti dengan penganggaran pemerintah pusat dengan menggelontorkan dana yang cukup besar untuk setiap desa.
Tahun 2016, dana desa meningkat menjadi Rp. 46,98 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp 628 juta. Di tahun 2017, dana desa kembali ditingkatkan, yaitu Rp. 60 triliun dengan rata-rata tiap desa Rp. 800 juta (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2017).
Data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2017), hasil evaluasi selama tiga tahun dilaksanakan, Dana Desa terbukti telah menghasilkan sarana/prasarana yang bermanfaat bagi masyarakat, antara lain berupa terbangunnya lebih dari 95,2 ribu kilometer jalan desa; 914 ribu meter jembatan.
Kemudian 22.616 unit sambungan air bersih; 2.201 unit tambatan perahu; 14.957 unit PAUD; 4.004 unit Polindes; 19.485 unit sumur; 3.106 pasar desa; 103.405 unit drainase dan irigasi; 10.964 unit Posyandu; dan 1.338 unit embung dalam periode 2015-2016
Kunci sukses kemajuan desa adalah pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas manusia yang harus bersamaan. Paparan data pembangunan infrastruktur tersebut cukup menjadi bukti bahwa dana desa dikelola dengan cukup baik. Sementara peningkatan kualitas kesejahteraan manusia perlu mendapat perhatian lebih.
Indikator masyarakat dikatakan sejahtera yang terangkum dalam indeks pembangunan manusia (IPM), terdiri dari Pendapatan per kapita, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat.
Masalah klasik yang perlu diselesaikan dengan dana desa salah satunya adalah kesenjangan. Di desa-desa, kesenjangan amat terlihat. Kesenjangan bukan semata tentang penghasilan dan kekayaan.
Kesenjangan juga menyangkut peluang atau kesempatan, seperti tidak meratanya akses atas layanan kesehatan dan pendidikan. Keduanya memiliki keterkaitan yang erat, di mana ketidaksetaraan kesempatan tersebut mengakibatkan outcomes yang tidak setara.
Alokasi dana desa tentu harus selalu memperhatikan koridor pengembangan perbaikan kualitas hidup masyarakat desa. Terutama guna mengatasi masalah tradisional berupa kesenjangan pendapatan, antar penduduk desa ataupun antara penduduk dengan penduduk kota-kota besar.
Sehingga, perpaduan antara besarnya kewenangan desa, kapabilitas kepemimpinan kepala desa dengan gelontoran dana desa yang sedemikian besar, kedepannya mampu mewujudkan desa yang sepenuhnya mandiri dan sejahtera.