Di akun media sosial Instagram, saya menjadi pengikut (follower) dua orang politisi; Ridwan Kamil dan Emil Dardak. Dalam kapasitas keduanya sebagai pejabat publik, komunikasi yang dibangun melalui media sosial bisa dikategorikan aktif dan cukup efisien.

Ridwan kamil memiliki 10,1 juta pengikut, sedangkan Emil Dardak selaku wakil gubernur Jawa Timur memiliki pengikut 138 ribu. Ridwan kamil tentu unggul jauh dari segi jumlah pengikut, juga dari kualitas foto serta gambar yang diunggah. Politisi dengan pengikut tertinggi, bisa jadi adalah presiden Joko Widodo dengan 17,3 juta pengikut.

Tapi tenang, dalam urusan jumlah pengikut akun Instagram, semua politisi tersebut kalah jauh dari selebriti Ayu TinTing. Penyanyi lagu ‘Alamat Palsu’ ini punya pengikut mencapai 30,7 juta.

kemana…. kemana…. kemana.. ku harus mencari kemana…?’

Baik dimiliki oleh artis maupun politikus, kepemilikan media sosial punya tujuan yang sama, yaitu: guna mengkomunikasikan ide, gagasan, perasaan dan berbagai kegiatan.

Bagi politikus, media sosial secara perlahan mampu mengganti peran media-media tradisional seperti koran, TV dan radio dalam proses penyampaian informasi pada khalayak ramai. Karakter media tradisional yang dominan satu arah, kurang digemari oleh masyarakat yang semakin terbuka dan kritis, dalam ruang demokrasi.

Dalam kondisi ini, media sosial menawarkan cara baru berkomunikasi antara politikus dengan publik, dengan keunggulan berupa akses komunikasi dua arah.

Wijayanto (2010) dalam jurnal berjudul ‘Social Networking Sites, Komunikasi Politik dan Akurasi Prediksi dalam Pemilihan Presiden di Indonesia’ menyatakan bahwa sebagai suatu ruang publik (public sphere), politik dengan proses komunikasi politiknya harus menjadi tempat dimana para anggota komunitas dapat secara kolektif membentuk pendapat umum dalam satu lingkungan. Komunikasi politik yang baikmembutuhkan partisipasi dari aktor politik, media, dan publik.

Mari mengambil sample yaitu Ridwan Kamil dan Jokowi. Kedua tokoh ini bisa melakukan posting (mengunggah) di akun media sosial bahkan lebih dari satu kali dalam sehari, dengan konten berupa berbagai aktifitas yang mereka lakukan pada hari tersebut serta berbagai perencanaan pembangunan dalam kapasitas mereka sebagai eksekutif.

Apabila dilihat dari sisi posittifnya, tentu banyak. Misalnya kita sebagai masyarakat jadi tahu apa sebenenarnya kerja-kerja pemerintah. Keberadaan beberapa politikus-kepala pemerintahan yang mengabarkan kegiatannya di media sosial akan mendorong politikus dan kepala pemerintahan lain guna melakukan hal serupa. Di era keterbukaan seperti saat ini, politikus tentu mendapat penilaian negatif dari masyarakat apabila tampak ‘tidak punya kerjaan dan agenda’ yang jelas.

Melalui akun media sosial pula, para politikus dan kepala pemerintahan bisa menjawab berbagai pertanyaan masyarakat (netizen), menanggapi kritik serta keluhan dan memberikan klarifikasi pada isu-isu ‘tidak benar’ yang beredar di tengah masyarakat.

Pun apabila sedang dalam masa kampanye, media sosial bisa menjadi sarana paling efektif dan murah guna menggantikan peran berbagai alat peraga kampanye berupa banner dan baliho atau memasang iklan di TV dengan biaya yang mahal. Meskipun dalam hasil survey Cyrus Network (2019) ditemukan bahwa keriuhan kampanye pasangan capres-cawapres di media sosial telah mencapai titik jenuh dan tidak akan terlalu berguna untuk menjaring pemilih.

Sehingga, secara umum bisa disimpulkan bahwa pemanfaatan media sosial telah meningkatkan modal sosial bagi pelaku politik berupa jaringan, kepercayaan sosial, ikatan politik, serta partisipasi dan kepuasan masyarakat.

Disisi lain, dalam wilayah komunikasi politik ini media sosial juga memberikan dampak negatif. Irine Gayatri dalam artikel berjudul ‘Kekuatan Media Sosial dalam Pembentukan Opini Politik’ menemukan bahwa masifnya penggunaan media sosial memberikan efek berupa kekuasaan negara menjadi lebih menyusut, dan ada kesan, berkurang  daya kontrolnya. (politik.lipi.go.id, diakses 2019)

Menurut Gayatri, kondisi ini tercipta sebab media sosial berhasil memperlancar apapun format hubungan yang dibangun, selain tentunya, bagaimana komunikasi diproduksi, direproduksi, dimediasi, dan diterima.

Masyarakat juga diantar untuk memasuki dan terlibat dalam rezim baru citra visual di mana budaya layar menciptakan peristiwa spektakuler, seperti halnya ketika mereka merekam diri sendiri dan menyebarluaskannya (postings) ke Instagram, Twitter dan facebook sekaligus, untik dibaca oleh ratusan, ribuan bahkan jutaan orang.

Sejalan dengan pendapat Gayatri, Samovar LA & Porter RE (2010) dalam buku ‘Communication Between Culture’ menyatakan bahwa media sosial dapat mengakibatkan perubahan pada unsur budaya yaitu kepercayaan (belief), nilai (values), dan sikap (attitudes). Dengan media sosial, masalah hubungan seseorang dengan sang pencipta koten tidak lagi dianggap sebagai hubungan individual, tetapi kelompok.

Dalam hal ini, media sosial dapat mengubah nilai-nilai dalam masyarakat, misalnya budaya masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya sopan santun. Dengan media sosial, terjadi pergeseran nilai karena seseorang dapat memberi kritik tajam, hujatan, bahkan makian secara langsung terhadap individu atau kelompok lain tanpa memikirkan konsekuensi pada sang terhujat.

Dalam konteks politikus, tentu berbahaya apabila mereka mendapat serangan negatif dari lawan politiknya, diserang berita bohong atau melakukan berbagai kesalahan seperti korupsi. Sekali saja ada berita buruk dan kesalahan dalam kerja pemerintahan, netizen bisa tanpa ampun ‘menyerang’ akun politikus yang bersangkutan. Pada kondisi ini, bisa berdampak rusak total segala proses komunikasi dan hubungan intens yang dibangun melalui akun mereka.

Pada kondisi yang lain, media sosial juga dikhawatirkan menjadi ‘piranti’ dijalankannya praktik otoritasianisme oleh rezim yang tengah berkuasa. Dikutip dari laman website Tirto.id, Seva Gunitsky (2015) menulis esai berjudul “Corrupting the Cyber-Commons: Social Media as a Tool of Autocratic Stability”.

Menurut Gunitsky, beberapa tahun terakhir para elite politik yang menunjukkan tendensi otoriter semakin gencar menggunakan media sosial untuk kepentingan politik mereka, selain menjamin stabilitas rezim. Tulisnya:

“Otokrat telah mulai bergerak di luar strategi ‘kontrol negatif’ dari internet. Strategi yang diambil rezim berubah: dulu mereka berusaha memblokir, menyensor, dan menghambat aliran komunikasi. Kini mereka mengarah ke strategi kooptasi yang menggunakan media sosial untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu dari rezim,” 

Otoritarianisme bertujuan untuk “mengontrol orang dan menabur kebingungan, ketidaktahuan, prasangka, dan kekacauan untuk merusak akuntabilitas publik.”

Guna mengatasi berbagai dampak negatif yang potensial timbul, maka politikus atau pelaku politik harus melakukan Komunikasi dan kampanye politik dalam media sosial secara positif dan sehat. Hal ini akan menjadi modal berharga dalam membentuk kedewasaan politik bangsa, dalam masyarakat di lingkungan demokrasi.

Selain itu, masyarakat harus memperlakukan informasi dengan hati-hati. Pada saat yang bersamaan, sistem edukasi publik harus dibangun dengan menempatkan literasi media, etika, kesopanan dan toleransi sebagai fondasi dasarnya.