Oleh : Faizul Iqbal*
Sudah hampir 4 tahun berjalan hari santri nasional diperingati oleh seluruh umat islam di Indonesia. Terhitung sejak Presiden Joko Widodo meresmikannya pada tanggal 21 oktober 2015. Bukan hanya dari kalangan pesantren yang notabene basis para santri, tapi juga segenap kalangan baik di majelis-majelis pengajian, masjid, bahkan universitas.
Hiruk pikuk kemeriahan hari santri dilaksanakan dengan berbagai macam event, mulai pengajian akbar, pembacaan sholawat,hingga pawai karnaval.
Walaupun di awal peresmiannya, hari santri sempat menimbulkan penolakan dari beberapa ormas yang menganggap hanya mengakomodir aspirasi ‘nahdliyin’ dan ditengarai sarat dengan manuver politik, tapi mari kita tengok kembali bagaimana awal tonggak penentuan hari santri nasional.
Kembali pada fatwa jihad tokoh fenomenal umat islam Indonesia, yakni Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari tentang “Resolusi Jihad” di tanggal 22 Oktober 1945.
Resolusi Jihad merupakan seruan atau fatwa yang dikeluarkan Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 22 Oktober 1945 yang ditulis oleh Pendiri NU sekaligus pendiri Pesantren Tebuireng Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Resolusi tersebut dikeluarkan atas keresahan kaum santri dan kiai karena Sekutu bersama NICA dan AFNEI ingin menjajah Indonesia kembali pasca kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dan juga jawaban atas permintaan saran yang diajukan Bung Karno kepada Hadratusyaikh.
RESOLUSI JIHAD HADRATUSSYAIKH
Fatwa Resolusi jihad pertama kali diputuskan dalam rapat besar konsul NU se-Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945 di Surabaya Jawa Timur. Melalui musyawarah dan kesepatan seluruh ulama NU yang hadir di pertemuan tersebut disepakatilah beberapa poin fatwa “Jihad” umat islam.
Diserukannya resolusi jihad tersebut direspon positif seluruh umat islam di tanah Jawa-Madura, termasuk laskar-laskar islam seperti laskar Hizbullah yang dikomandoi oleh putra Hadratusyyaikh KH. Hasyim Asy’ari, yaitu: KH. Yusuf Hasyim dan KH. Khaliq Hasyim.
Umat islam tergerak berangkat tak gentar dengan kematian yang setiap saat bisa menimpa mereka. Predikat mati syahid disematkan bagi mereka yang mati mempertahankan agama dan bangsanya dalam peperangan melawan penjajah kafir NICA.
Perlu diketahui, Fatwa Resolusi jihadlah yang menjadi “ruh” ribuan pejuang laskar dan santri bergerak dalam peristiwa 10 November 1945. Tidak hanya itu, resolusi jihad juga mendorong perjuangan kemerdekaan hingga empat tahun kemudian. Kegiatan gerilya pasukan laskar juga membuat sekutu menerima perundingan dan diplomasi.
Pesan dan isi resolusi jihad sangat jelas dan tegas. Namun dalam penafsirannya, terutama melalui penyebaran secara lisan kadang-kadang memperoleh tekanan yang lebih luas dan keras, seperti fatwa kewajiban bagi setiap laki-laki (fardhu ain) muslim untuk ikut berperang dalam jarak radius 94 km di lingkungannya untuk berjuang.
Resolusi Jihad juga mengirimkan sinyal bahwa Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan segenap para ulama, santri, serta umat muslim Indonesia sangat teguh mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan meyakinkan kalangan nasionalis bahwa ideologi islam sejalan dengan Pancasila.
Resolusi Jihad adalah bukti kontribusi NU, Kiai, dan santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dan dalam perjalannya pasca itu, santri dan kiai banyak memberikan warna tersendiri bagi sejarah perjalanan bangsa ini hingga sekarang.
Selain bermakna ‘jihad fi sabilillah’, resolusi jihad juga menampik anggapan bahwa kyai NU yang sempat ‘dicap’ antek Jepang dan Belanda apatis akan sebuah perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
REFLEKSI JIHAD SANTRI MILENIAL
Di zaman sekarang tentunya umat muslim tak perlu gerilya angkat senjata karena Indonesia sudah mutlak merdeka secara de jure dan de facto dari penjajahan. Umat muslim hingga sekarang masih bebas menyelengarakan kegiatan keagaaman dan turut berkontribusi dalam membangun kemajuan bangsa Indonesia.
Pertanyaannya: Apakah masih penting resolusi jihad di jaman sekarang?
Dalam hal ini, KH. Salahuddin wahid yang merupakan cucu Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari memberikan pemahaman bagi santri mengenai pentingnya memaknai “Neo-Jihad” bagi umat muslim, khususnya santri.
Beliau menjelaskan mengenai esensi jihad bagi generasi milenial dengan belajar dan bekerja secara ikhlas, jujur, kerja keras, dan toleransi (intisari dalam kitab Adabul Alim wal Mutaalim).
Selain itu, menghargai jasa para kyai dan santri terdahulu yang mati-matian mempertahankan kemerdekaan dengan setia berpegang teguh dengan ideologi Pancasila secara kaffah dengan mengintrepetasikan nilai-nilai bernegara dan beragama dalam kehidupan sehari-hari.
(wallahu’alambisshawab)
_________________________________________
*Penulis adalah alumni Ponpes Tebuireng dan aktivis Kawula warga alumni tebuireng Malang