Pada salah satu sesi debat kedua, capres Joko Widodo menuding kompetitornya, Prabowo Subianto, menguasai HGU untuk lahan seluas ratusan ribu hektar. Prabowo disebut menguasai lahan di Aceh sebesar 120.000 hektare (ha). Status lahan tersebut disebut berstatus Hak Guna Usaha (HGU).

Sebaliknya, melalui media massa, kubu Prabowo menyebut sejumlah taipan di belakang Jokowi juga memegang HGU atas lahan besar.

Pasca topik penguasaan lahan (sumber-sumber agraria) ini ramai dibahas, berbagai pihak mulai ramai mencari informasi mengenai rincian siapa saja nama pemegang HGU, lokasi, luas lahan, peta area, dan jenis kompditas yang diproduksi di atas lahan tersebut.

Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan (ATR/BPN) masih menutup akses informasi tersebut dengan dalih hak privasi. Hal ini menurut mereka sebab data HGU, terutama yang menyangkut nama pemegang hak dan luas lahan, sebagai informasi privat.

Kita sudah sangat sering mendengar tokoh publik menyampaikan kritik pada kondisi ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia. Kita akrab dengan narasi seperti: ‘segelintir orang menguasai lebih dari separuh lahan negeri ini’.

Bahkan berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, disebutkan sebanyak 74 persen tanah (sumber-sumber agraria) di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.

Erani Yustika (300: 2014) dalam bukunya berjudul ‘Ekonomi Politik; Kajian Teoritis dan Analisis Empiris’ mengungkap fakta bahwa ketimpangan penguasaan lahan (sumber-sumber agraria) di Indonesia sudah sangat akut.

Disebut akut sebab kurang lebih 470 perusahaan perkebunan menguasai sekitar 56,3 juta hektar lahan hutan dalam bentuk konsesi kehutanan, atau rata-rata setiap perusahnn memiliki konsesi seluas 120 ribu hektar.

Lebih lanjut, dalam data Yustika, 561 perusahaan penambanngan menguasai konsesi rata-rata 150 hektar. Pada 1998 ada 10 konglomerat yang menguasai lahan seluas 65 ribu hektar yang digunakan untuk pembangunan kompleks perumahan mewah.

Hingga akhir tahun 1996, sejumlah 178 kawasan industri di 17 propinsi telah menguasai total area seluas 53 ribu hektar. Terakhir, di wilayah Jabotabek, tahun 1995 herdapat 32 lapangan golf yang memakai tanah seluas lebih kurang 11,2 ribu hektar.

Dalam data yang sedikit lebih baru, pada tahun 2015 lembaga bernama Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia merilis hasil riset berjudul “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”.

Dari riset terssebut dijabarkan bahwa sebanyak 25 grup perusahaan kelapa sawit menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa yang luasnya 128.297 kilometer persegi. Dari 5,1 juta hektare (51.000 kilometer persegi), sebanyak 3,1 juta hektare telah ditanami sawit dan sisanya belum ditanami. Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sekitar 10 juta hektare.

Kelompok perusahaan itu dikendalikan 29 taipan yang perusahaan induknya terdaftar di bursa efek, baik di Indonesia dan luar negeri. Dimana pada tahun 2013, kekayaan mereka sebesar US$ 71,5 miliar atau Rp 922,3 triliun. Angka konservatif ini diperoleh dari kajian yang dibuat Forbes dan Jakarta Globe. Sebagian besar kekayaan tersebut didapat dari bisnis perkebunan sawit, dan beberapa bisnis lainnya.

TAIPAN LAHAN VERSUS POTRET KLISE PERTANIAN KITA

Dilihat dari aspek politik, capres Jokowi menyampaikan kritik kepemilikan lahan (sumber-sumber agraria) oleh Prabowo tentu bukan datang tiba-tiba. Selama kurang lebih empat tahun kepemimpinan Jokowi-JK, Reforma Agraria merupakan salah satu Program Prioritas Nasional.

Program ini disebut oleh pemerintah ditingkatkan dalam upaya membangun Indonesia dari pinggir serta meningkatkan kualitas hidup rakyat kecil.

Mengutip penjelasan di laman web Kementerian ATR/BPN (diakses 2019), pada UU Pokok Agraria tahun 1960, terdapat tiga tujuan mulia yang ingin dicapai dari reforma agraria: Pertama, Menata ulang struktur agraria yang timpang jadi berkeadilan, Kedua, Menyelesaikan konflik agraria, dan Ketiga menyejahterakan rakyat setelah reforma agraria dijalankan.

Dalam banyak kesempatan kunjungannya ke daerah-daerah, Presiden Jokowi begitu sering mengadakan forum-forum pembagian sertifikat tanah langsung pada masyarakat. Kepedulian pada status aset rakyat kecil ini mungkin dinilai jadi nilai positif bagi Jokowi guna kampanye, melawan Prabowo yang ternyata salah satu taipan tanah.

Diluar perspektif politik praktis berupa kampanye capres-cawapres, ketimpangan penguasaan lahan (sumber-sumber agraria) menjadi salah satu topik yang tidak habis dibahas dalam kajian ekonomi politik. Penguasaan lahan ini menjadi masalah ketika melihat fakta bahwa kebanyakan petani kita sangat sempit lahan garapannya.

Beberapa studi mengenai rumah tangga petani menunjukkan realitas bahwa sebagian besar petani memang memiliki lahan yang sangat sempit, bahkan banyak di antaranya yang tidak punya sepetak lahan pun sehingga cuma menjadi buruh tani.

Dengan kondisi semacam itu, sering kali petani mengerjakan pertanian lebih banyak ruginya, apalagi pada musim-musim yang tidak menguntungkan (kemarau).

Data yang dikutip Yustika (299:2014) memperlihatkan bahwa jumlah petani gurem (yang berlahan sempit) rata-rata setiap tahun bertambah 2,6%. Di Jawa petani gurem bahkan mencapai 75% dari seluruh total rumah tangga petani.

Akhirnya, tidak ada cara lain, rumah tangga petani menyiasati pemenuhan kebutuhan ekonominya dengan cara mencari sumber pendapatan di luar sektor pertanian (non-farm). Bahkan, bagi petani yang memiliki lahan kurang dari satu hektar, proporsi pendapatan yang berasal dari non-farm mencapai 80%.

Langkah semacam itu merupakan strategi umum yang biasa dilakukan rumah tangga petani untuk mengatasi kehidupannya yang serba subsisten.

Melihat fakta ini, isu reformasi lahan menjadi agenda mendesak dilaksanakan. Supaya dalam jangka panjang negara ini tidak herperosok dalam problem ketimpangan dan kemiskinan yang tidak bertepi.

Persoalannya, menurut Yustika (297: 2014) agenda reformasi lahan itu tidak mudah dilaksanakan karena kompleksitas aspek ekonomi politik yang mengitarinya.

Misalnya dalam debat capres kemarin, kita sebagai publik jadi tahu bahwa negara mengambil kembali tanahnya dan membagi-bagikan pada petani kecil tidak mudah sebab yang menguasai lahan-lahan luas tersebut memiliki ‘kekuasaan’ (power) secara sosial, politik dan ekonomi skala nasional.

SAMPAI MANA AGENDA REFORMA AGRARIA?

Dalam literatur-literatur yang tersedia, sekurangnya sampai saat ini terdapat empat model reformasi tanah yang sering diambil oleh beberapa negara untuk mendistribusikan lahan.

Pertama, radical land reform. Model ini dilakukan dengan jalan membagikan lahan milik tuan tanah kepada masyarakat (petani) tunalahan. Biasanya, model reformasi tanah ini dikerjakan di negara yang ketimpangan kepemilikan lahannya sangat tinggi, seperti di Amerika Latin atau Selgtan.

Kedua, restitution of land right. Model ini merupakan pemberian atau ganti rugi atas hak kepemilikan tanah yang diberikan kepada petani. Tipe ini lebih lunak (soft) dan banyak diadopsi oleh pemerintah Indonesia untuk membagi sekitar 8,15 juta hektar lahan.

Ketiga, colonization. Model ini mengambil cara seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju yang dulu mencaplok wilayah negara berkembang. Jika ini yang akan dikembangkan, maka negara membagi tanah kepada masyarakat terhadap wilayah-wilayah yang saat ini belum bertuan.

Keempat, market-based land reform. Model ini secara sederhana memberikan kesempatan kompetisi kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan tanah sesuai dengan melanisme pasar. Meskipun jenis ini kelihatan adil, namun sesungguhnya sangat rawan untuk ditelikung oleh’pelaku ekonomii yang lebih kuat.

Sementara itu, dikutip dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Reforma agraria yang telah dipahami dan dilaksanakan oleh pemerintah bentuknya ada tiga, yaitu legalisasi aset, redistribusi tanah dan perhutanan sosial.

Dalam bentuknya reforma agraria yang ditargetkan akan dilaksanakan seluas 9 juta hektar sebagaimana Lampiran Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, dalam skemanya legalisasi aset 4,5 juta hektar yang meliputi legalisasi terhadap tanah-tanah transmigrasi yang belum bersertipikat yaitu seluas 600.000 hektar dan legalisasi terhadap tanah-tanah yang sudah berada dalam penguasaan masyarakat seluas 3,9 juta hektar.

Untuk redistribusi tanah (sumber-sumber agraria) seluas 4,5 juta hektar, meliputi Hak Guna Usaha Habis, tanah terlantar dan tanah Negara lainnya seluas 400.000 hektar dan tanah-tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta hektar.

Peran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam Reforma Agraria adalah memberikan aset dan akses.

Dalam hal aset, Kementerian ATR/BPN menjamin kepastian hukum atas tanah yang dimiliki seperti memberikan sertipikat tanah, mempercepat pendaftaran tanah dan inventarisasi penguasaan, pemilikan dan penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam kerangka reforma agraria yang dilakukan melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Untuk hal akses Kementerian ATR/BPN memberikan pemberdayaan terhadap infrastruktur jalan dan irigasi, termasuk prasarana pascapanen, pendidikan dan pelatihan, kredit usaha, serta pemasaran.

Selain harus berhadapan dengan banyak taipan dengan berbagai kekuatan sosial, politik dan ekonominya, masalah yang masih sering dijumpai adalah bagaimana mendekatkan tanah (sumber-sumber agraria) kepada masyarakat miskin.

Kasus ini jamak ditemui, karena fakta yang ada menunjukkan bahwa tanah (sumber-sumber agraria) yang siap dibagi terletak di wilayah yang sangat jauh dari pemukiman penduduk miskin. Dimana realitas empiris menunjukkan sebagian besar petani gurem ada Pulau Iawa, sementara lahan yang siap dibagi lokasinya di luar Pulau Jawa. Sedangkan melaksanakan transmigrasi juga sering meneyebabkan keterkejutan sosial dan budaya.

Pada akhirnya, penyelesaian ketimpangan pengusaan lahan (sumber-sumber agraria) ini perlu menjadi agenda prioritas, siapapun presdennya. Sebab sejauh ini sektor pertanian masih menjadi salah satu penopang terbesar GDP kita, juga dalam banyak kesempatan kita masih memiliki angan-angan tentang swasembada pangan yang perlu di maksimalkan kontribusinya oleh petani-petani kecil.