Hari minggu siang, 25 maret, ketika hendak mengambil uang di mesin ATM, berkali-kali transaksi yang saya lakukan selalu gagal. Pada layar mesin ATM, ada petunjuk untuk mengunjungi kantor Bank BRI terdekat. Setelah sedikit mencari tahu, ternyata ada pemblokiran massal kartu ATM BRI untuk dirubah dengan yang baru, yang menggunakan chip.
Maraknya nasabah yang jadi korban kejahatan skimming beberapa waktu terakhir membuat bank BRI tidak mau lagi kecolongan, dan berusaha meningkatkan keamanan kartu ATM mereka.
Di BRI kantor cabang Pandanaran, Semarang, antrean sudah padat dan kantor tampak penuh sesak, nomor antrian bahkan mencapai angka 330-an. Ada yang nggerudhel ada yang khawatir sebab meninggalkan kantornya. Tapi, setelah ada pemberitahuan dari pihak bank bahwa semua yang sudah mengambil nomor antrian akan dilayani sampai selesai, semua orang bisa lebih lega.
Sambil menunggu, saya berbincang dengan pria di samping saya yang datang bersama pacarnya. Kami akan memulai perbincangan disela-sela mereka berdua bermain game Mobile Legend. Ya, dua-duanya.
“Sampeyan dari mana mas?” tanya pria tersebut.
“Trenggalek, mas.” Jawab saya. Kemudian dia menyampaikan asalnya dari Pati.
“Trenggalek itu yang nama istri wakil bupatinya Novita Muhammad ya?”
Luar biasa.
Orang Kabupaten Pati, yang ke Jawa Timur baru sekali yaitu ke Surabaya, bisa tahu Novita Hardini. Istri wakil bupati Trenggalek, yang memang cukup terkenal di media sosial Instagram.
“Itu anaknya sudah tiga ya mas? Padahal masih se-umuran saya, tapi tiga tahun setengah saya studi pascasarjana belum selesai.” Lanjutnya, melengkapi penjelasan wawasannya yang mendalam tentang manusia Trenggalek.
Pengakuan jujur pria tersebut, yang disampaikan tepat di samping pacarnya, melengkapi keheranan saya, sebagai orang asal Trenggalek pada sahabat-sahabat dulu di Malang, yang saya bisa pastikan setidaknya 30 persen dari mereka mengenal dan follow akun Instagram Novita.
Orang-orang seperti saya dan mereka, punya pandangan klise bahwa mereka yang sukses secara harta, tahta (politik) dan wanita, seperti Emil Dardak dan Nur Arifin, ibarat telah mencapai maqam tertinggi dalam hidup.
Sedikit banyak, saya bisa turut bangga pada keterkenalan ambassador kabupaten kecil saya.
Kembali pada kantor BRI.
Satu hal paling menarik bagi pria bujang pelajar seperti saya, setiap kali datang ke kantor bank adalah berlama-lama menyaksikan satu persatu nasabah dilayani oleh teller dan costumer service bank yang hampir semuanya perempuan. Perempuan yang semuanya rapih serta tentu saja cantik untuk ukuran perempuan pada umumnya.
Ibarat memadukan Messi dan Ronaldo, mereka yang diberkati oleh Tuhan kemenarikan secara fisik dipadukan dengan penguasaan kemampuan komunikasi yang ramah, tanggap dan tidak membosankan. Yang tentu saja perlu dilatih khusus. Bahkan sejak mereka kuliah.
Ketika mulai bagian saya untuk maju dan menyampaikan keeluhan, sebagai nasabah bank bukan kekasih mbak costumer service, kami memulai obrolan dengan pertanyaan ramah ‘selamat sore mas, ada yang bisa saya bantu?’
Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk costumer service tersebut menyelesaikan semua proses pembaruan kartu, termasuk sekali saya ditinggalkan sendiri ketika dia memohon ‘saya izin fotokopi dulu mas.’
Oiya silakan, dek. Eh, mbak.
Selebihnya kami membunuh waktu dengan melakukan obrolan-obrolan ringan. Tentang studi saya, tentang asal daerah dan kali ini (mungkin sebab dia perempuan) pertanyaan yang muncul jadi:
‘Trenggalek yang bupatinya masih muda, Emil Dardak itu ya, yang istrinya artis itu.’
Lalu:
‘Trenggalek itu di dekatnya Madura ya mas?’
Seluruh dialog tersebut benar-benar terjadi. Dan dengan harapan setelah saya keluar si costumer service tiba-tiba dalam kapasitas personalnya, menghubungi saya melalui Whatsapp, saya jawab santai semua pertanyaan dengan tenang, walaupun harapan-harapan kosong itu membuat saya cukup berdebar.
Bank memang luar biasa, bisa mempekerjakan putri-putri terbaik negeri ini dan semuanya berlaku begitu santun.
Disisi lain, bahwa memang menyenangkan bagi nasabah seperti saya untuk berinteraksi dengan teller dan costumer service bank, saya ingin tahu bagaimana jika dari perspektif mereka, perempuan yang bekerja di bagian front office bank.
Saya menghubungi teman kuliah yang juga teman organisasi dulu di Malang, yang pasca wisuda langsung di rekrut salah satu bank syariah disana juga. Pasca saya ajukan beberapa pertanyaan, maka berikut adalah jawaban darinya:
(Q) adalah pertanyaan dan (A) adalah jawaban dari teman saya.
Q : “Sebagai orang yang kerja di bank, bagaimana menurutmu kalau ada yang bilang perempuan yang kerja di bank itu cantik-cantik dan cenderung seksi?”
A : “Secara fisik memang penting, hanya saja kalau sampai kata seksi (yang konotasinya negatif) saya nggak sepakat. Yang penting ‘good looking’ dan ‘attitude’ atau sikap sih.”
Q : “Pas kamu melamar kerja dulu, ada gak proses seleksi khusus yang menekankan seleksi pada penampilan fisik?”
A : “Ada. Pernah ditimbang tinggi dan berat badan. Kemudian dilihat cara berjalannya. Yang jelas ada tes performance.”
Q : “Dengan jam kerja yang mulai pagi sampai sore, kira-kira ideal nggak untuk perempuan yang notabene ada keperluan jadi ibu? Atau bagaimana menurutmu tentang cuti khusus yang disediakan bank?”
A : “Kerja di bank itu sebenarnya wasting time (banyak ngabisin waktu), Sebenarnya dengan waktu yang begitu gak cocok menurutku untuk perempuan. Cuma kalau masih muda dan belum berkeluarga bagus juga untuk pengalaman. Tapi kalau sudah menikah dan ada resiko konflik dengan suami, mending gak usah. Kalau urusannya dengan jadi ibu, beberapa teman di bank ada yang resign pas sudah mau nikah atau pas hampir mau punya anak. Cuti untuk lahiran juga cuma tiga bulan.
Tapi tergantung pilihan masing-masing juga lah intinya.”
Q : ”Dari kesemuanya, apa yang paling diperlukan perempuan buat punya karir bagus di bank?”
A : “Banyak aspek kalau di urusan karir. Kalau di marketing yaa bagaimana target bisa tercapai. Kalau di operasional, harus teliti pada kelengkapan data dan jangan ada kesalahan. Terus juga cara pelayanan nasabah.”
Intinya adalah, ternyata walaupun cukup membuat nasabah merasa nyaman dengan mempekerjakan pegawai perempuan, ada banyak sisi personal dari pegawai perempuan tersebut yang perlu kita tetap hargai sehingga kita perlu jaga etika ketika sedang transaksi.
Atau anda punya kesimpulan lain?